Jumat, 21 Mei 2010

Apakah flu burung gagal menjadi pandemi?

Oleh: Tri Satya Putri Naipospos*)

Pada April 2009, perhatian dunia beralih dari flu burung H5N1 dan terfokus kepada pandemi flu H1N1. Meskipun dalam perjalanannya ternyata dampak pandemi influenza H1N1 2009 tidak separah sebagaimana dikhawatirkan dan tidak sehebat seperti skenario pandemi H5N1 yang menarik perhatian dunia sejak 6 tahun terakhir. Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana dunia ke depan menafsirkan ancaman pandemi flu burung?

Sebagian masyarakat dunia mempertanyakan apakah ancaman pandemi memang dianggap terlalu berlebihan atau sebagian lagi memperkirakan pandemi hanyalah soal waktu tetapi akan terjadi dalam kadar lebih ringan. Tidak seorang ahlipun dapat menjawab pertanyaan ini dengan mudah dan gamblang.

Namun sebelum bisa bernafas lega, adalah jauh lebih bijak apabila masyarakat dunia tetap mengingat bahwa sumber ancaman pandemi H5N1 belumlah bisa dikatakan berakhir meskipun dibayangi oleh pandemi H1N1.


Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa meningkatnya kasus flu burung baru yang dilaporkan baik pada manusia maupun unggas di awal 2010 ini sebagai suatu peringatan bahwa secara nyata virus masih terus mengancam kesehatan manusia dan hewan.

Penurunan kasus

Sejak 2003, WHO mengonfirmasikan 489 kasus H5N1 pada manusia di 15 negara di dunia dengan kematian mencapai 292 orang (60%). Sampai dengan saat ini, pandemi H5N1 pada unggas dan unggas liar secara global telah menyerang 64 negara di hampir seluruh negara di Asia dan Eropa serta banyak negara di Afrika.

Tidak bisa dilupakan bagaimana penyakit ini telah menimbulkan secara global penyembelihan terhadap 260 juta ekor unggas, kerugian ekonomi sebesar 180 trilyun rupiah dan menghancurkan kehidupan masyarakat di tingkat peternakan dan keluarga.

Sejak awal tahun ini telah dilaporkan 21 kasus flu burung pada manusia termasuk 7 orang meninggal dunia. Enam belas orang di Mesir (5 orang meninggal), 4 di Vietnam (seorang meninggal) dan satu orang di Indonesia (meninggal).

Reaksi internasional terpadu dianggap telah berhasil mengatasi ancaman virus flu burung H5N1 yang mematikan tersebut, dibuktikan dengan menurunnya kasus secara nyata di semua negara. Akan tetapi sejak wabah dunia mencapai puncaknya 2006 lalu, virus ini masih bermukim di lima negara dan tetap menjadi ancaman bagi kesehatan hewan dan manusia yaitu di Mesir, Indonesia, Bangladesh, Vietnam dan China.

Di awal 2010, laporan wabah pada unggas maupun unggas liar terjadi di Bangladesh, Mesir, Bhutan, Kamboja, India, Israel, Myanmar, Nepal, Indonesia dan Vietnam. Suatu kenyataan yang mengindikasikan bahwa manusia tetap bisa jatuh sakit atau meninggal dunia di wilayah-wilayah dimana virus H5N1 secara persisten berada di lingkungan.

Sebaran virus di Asia

Sepanjang sejarah flu burung pada unggas di Asia sejak 1996 sampai saat ini, secara genetik virus telah berevolusi secara cepat menjadi 10 kelompok (clade) yaitu kelompok virus 0 s/d 9 yang sifat antigenisitasnya berbeda satu sama lain. Berbagai kelompok (multiple clade) saling menyebar pada satuan waktu tertentu terutama di daratan China, dengan pola yang sama sekali berbeda dengan virus flu manusia musiman (seasonal flu).

Para ahli menyatakan, setidaknya telah terjadi dua kali perubahan nyata unsur haemaglutinin (HA) dari virus-virus yang awalnya ditemukan pada 1996–1999 di China. Perubahan dari kelompok 0 menjadi 1 pada 2002–2003 dan dari kelompok 1 menjadi 2 pada 2003–2005.

Kelompok 2 sendiri terbagi menjadi 5 kelompok yaitu 2.1, 2.2, 2.3, 2.4 dan 2.5. Masing-masing kelompok masih terbagi lagi menjadi beberapa sub-kelompok.

Sejak 2005, kelompok 2 saat ini mendominasi Asia Tenggara, begitu juga di seluruh dunia. Hanya kelompok 2.2 yang dijumpai di luar Asia Tenggara, sedangkan di wilayah ini kelompok 2.2 tidak umum dijumpai. Para ahli belum bisa menjawab pertanyaan mengapa hal demikian terjadi.

Evolusi virus di Indonesia

Kelompok virus yang bersirkulasi di Indonesia, awal mulanya adalah kelompok 2.1 yang berasal dari China pada tahun 2003. Dalam perjalanannya virus ini terus berevolusi, sehingga menghasilkan 3 sub-kelompok yaitu 2.1.1, 2.1.2 dan 2.1.3.

Kelompok 2.1.1 secara umum bersirkulasi pada populasi unggas di pulau Jawa sejak 2003. Kelompok 2.1.2 menulari unggas dan manusia di pulau Sumatera sejak 2004. Kelompok 2.1.3 berdiversifikasi sangat tinggi, sehingga dapat digolongkan menjadi yang hanya menulari unggas dan yang bisa menulari keduanya.

Seperti dikatakan oleh para ahli, Indonesia hanya mengalami satu kali introduksi pada 2003. Ini mengindikasikan bahwa Indonesia selama ini berhasil mempertahankan diri dari masuknya kelompok virus lain dari luar melalui kebijakan importasi unggas dan produk unggas yang ketat.

Dari analisa genetik, dapat disimpulkan pula bahwa virus menyebar dari pulau Jawa ke pulau-pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi dalam berbagai kesempatan sepanjang tahun 2003-2007. Suatu analisa membuktikan bahwa pulau Jawa dianggap sebagai pusat penyebaran virus flu burung di Indonesia.

Meskipun demikian, penelitian paling akhir menyatakan bahwa ada kelompok virus baru yang kemungkinan bisa membentuk kelompok 2.1.4. Hal ini mengindikasikan bahwa mutasi virus di Indonesia akan terus berlanjut dan menghasilkan berbagai variasi kelompok yang berbeda patogenisitas maupun antigenisitasnya.

Ancaman H5N1

Sekarang ini kita berada di tengah pandemi H1N1, jutaan manusia telah tertular dan ribuan orang meninggal dunia. Sebagaimana halnya dengan pandemi H1N1 2009, tidak seorangpun dapat memprediksi dimana dan kapan pandemi sebenarnya akan muncul. Begitu juga dalam kasus H5N1, tidak seorangpun dapat memprediksi apakah atau kapan virus ini menjadi efisien untuk menular dari manusia ke manusia. Akan tetapi yang pasti kecenderungan kejadian kasus belum berubah dari tahun lalu.

AIDS telah membunuh jutaan manusia, tetapi dianggap hanya dapat tertular melalui cairan (seksual). Begitu juga jutaan korban meninggal akibat Malaria, akan tetapi relatif terbatas di wilayah ekuator. Virus flu jauh lebih dahsyat karena dikenal mampu menulari milyaran manusia dalam jangka waktu beberapa bulan saja.

Paradoksal pandemi influenza yaitu virus flu harus merupakan virus yang sama sekali baru bagi sistem kekebalan manusia dan di saat yang sama virus flu beradaptasi terhadap reseptor manusia. Virus H5N1 dianggap tidak mampu menjadi virus penyebab pandemi karena tidak dapat bertahan dalam temperatur hidung manusia.

Suatu penemuan baru mengatakan bahwa virus H5N1 dan virus pandemi H1N1 dapat bertukar material genetik apabila individu terekspos ke-dua virus tersebut sekaligus dan menghasilkan strain virus H5N1 baru yang sangat virulen dan memiliki daya penularan tinggi. Meskipun masih dalam uji laboratorium, namun penemuan ini dijadikan satu peringatan bagi dunia bahwa virus pandemi H1N1 mungkin menyediakan lingkungan alamiah yang kondusif bagi virus H5N1 untuk bermutasi menjadi bentuk lebih ganas.

Deklarasi Hanoi

Inti deklarasi konferensi internasional di Hanoi bulan April 2010 adalah visi dunia untuk memperkuat kemampuan negara-negara dalam mencegah, mendeteksi, mengendalikan, menghilangkan dan merespon terhadap timbulnya risiko penyakit zoonosis dan penyakit hewan yang berdampak terhadap ketahanan pangan.

Pengalaman global terhadap flu burung H5N1 dan pandemi H1N1 2009 memberikan suatu pembelajaran sangat berharga bagi negara-negara di seluruh dunia, terutama tentang pentingnya melakukan kerjasama internasional dan regional dengan komitmen politik yang kuat di tingkat nasional.

Pengalaman nasional menangani flu burung seharusnya memperkuat kesinambungan dan koordinasi multi-sektor, multi disiplin dan pendekatan berbasis masyarakat dalam menghadapi ancaman kesehatan hewan dan manusia yang muncul dari lingkungan keterkaitan hewan dan manusia.

Apabila Pemerintah dan masyarakat Indonesia tidak melakukan respon tepat dalam menjawab himbauan untuk memperkuat sistem kesehatan dan kesehatan hewan nasionalnya, maka upaya ini bukan hanya akan mempersulit pengendalian flu burung dan kesiapsiagaan menghadapi pandemi influenza ke depan, akan tetapi juga penyakit-penyakit zoonosis dan penyakit-penyakit hewan lain yang bakal muncul tanpa bisa diprediksi sebelumnya.

Pendekatan ‘satu kesehatan’ (one health) yang sudah beberapa kali diangkat, pertama di di New Delhi (2007), kemudian di Sharm el-Sheikh (2008) dan kembali ditekankan di Hanoi (2010). ‘Satu kesehatan’ dianggap sebagai langkah pertama menuju konsep penggabungan keluaran kesehatan dan kesehatan hewan yang lebih komprehensif dalam mendukung kebijakan multi sektoral.

*) Bekerja untuk Food and Agriculture Organization of the United Nation di Vientiane, Laos.

1 Komentar:

wahid [Reply] mengatakan...

betul tu dok..., tp semua memang masih gonjang-ganjing...