Oleh: Tri Satya Putri Naipospos
Keterlambatan Indonesia mengetahui dan mengakui sejak awal tentang berjangkitnya penyakit Avian Influenza (AI) pada unggas menunjukkan bahwa kemampuan pemerintah Indonesia dalam melakukan sistem peringatan dini (early warning system) dan respon cepat (rapid response) masih sangat lemah. Avian influenza (AI) kini terlanjur menyebar dan sulit dikendalikan, bahkan Indonesia juga dituding sebagai sumbu pemicu pandemi global.
Secara umum diketahui bahwa penyakit hewan menular yang mampu melintasi batas wilayah atau benua yang disebut penyakit hewan ‘transboundary’ (salah satunya adalah Avian Influenza) merupakan ancaman global yang harus diantisipasi oleh setiap negara termasuk Indonesia.
Begitu juga secara global penyakit-penyakit yang baru muncul dan yang muncul kembali (emerging and re-emerging diseases) yang terjadi pada dekade terakhir ini sebagian besar adalah penyakit hewan yang dapat menular ke manusia (zoonotic diseases), seperti SARS, Nipah virus, rabies, anthrax, West Nile, Avian Influenza (AI) dlsbnya.
Pada kenyataannya sistem kesehatan hewan nasional (siskeswannas) harus diakui belum mampu berjalan secara efektif untuk mendeteksi secara dini penyakit baru yang setiap saat bisa muncul. Lemahnya infrastuktur, sumberdaya manusia dan perangkat hukum yang mendukung siskeswannas, menunjukkan bahwa penguatan kelembagaan (institutional building capacity) di bidang kesehatan hewan belum mendapatkan prioritas yang memadai oleh pemerintah.
Menghadapi situasi global sebagaimana diuraikan diatas, sudah seharusnya kebijakan pemerintah yang menyangkut deteksi dini dan respon cepat dalam pengendalian AI pada unggas dilakukan sepenuhnya dibawah kendali pemegang kebijakan teknis (otoritas veteriner) di Departemen Pertanian.
Kebijakan penanggulangan
Pertimbangan kebijakan pemerintah Indonesia dalam hal ini Departemen Pertanian sejak awal menerapkan sembilan langkah strategi dalam menanggulangi AI pada unggas adalah dengan memperhatikan berbagai aspek mulai dari politik, ekonomi, sosial budaya dan teknis.
Penekanan kebijakan pada kombinasi vaksinasi dan depopulasi berdasarkan kepada luasnya cakupan daerah tertular, keragaman spesies unggas tertular, sumber infeksi yang dimulai pada ayam petelur. Kemudian juga konsentrasi infeksi terjadi di daerah-daerah sentra industri perunggasan di Pulau Jawa, dan tumpang tindihnya sistem produksi unggas skala besar, menengah dan kecil, sampai kepada banyaknya jumlah ayam kampung belakang rumah (backyard chicken) yang berkeliaran di pedesaan.
Dari aspek politik dan ekonomi, pemusnahan secara besar-besaran (stamping out) tidak mungkin lagi dilakukan pada saat itu, karena implikasinya akan sangat luas dan kerugian ekonomi bisa saja akan menyebabkan industri perunggasan Indonesia mengalami kebangkrutan dibarengi dengan dampak berantai (multiplier effect) terhadap sektor-sektor lainnya, seperti industri makanan, industri pariwisata dlsbnya.
Berbagai faktor yang turut mempengaruhi hal diatas, antara lain penurunan tingkat konsumsi masyarakat terhadap produk unggas, karena masyarakat perunggasan belum dipersiapkan dengan mendapatkan pemahaman yang jelas dan benar tentang penyakit ini. Di samping itu, dana kompensasi yang disediakan pemerintah sebagai insentif bagi peternak untuk melaporkan kasus wabah tidak memadai. Malahan yang terburuk masyarakat pedesaan akan kehilangan sumber protein hewani paling murah yang bisa didapatkan dari unggas.
Dana besar
Program penanggulangan penyakit hewan seperti AI memerlukan dana besar, tenaga terlatih dan infrastruktur yang memadai. Secara mendasar, dapat dikatakan bahwa pada awalnya sembilan langkah strategi yang ditetapkan pemerintah dengan penekanan pada kombinasi vaksinasi dan depopulasi berhasil menurunkan tingkat kematian unggas secara drastis setelah puncak kejadian wabah dicapai pada bulan Januari-April 2004.
Keberhasilan terlihat terutama di sektor 1 (peternakan unggas komersial skala besar dan terintegrasi) dan sektor 2 (peternakan unggas komersial skala menengah) dan sebagian kecil sektor 3 (peternakan unggas komersial skala kecil). Hampir seluruh industri perunggasan mengandalkan upaya vaksinasi dengan pembiayaan sendiri, tanpa campur tangan pemerintah.
Pemerintah menerapkan program vaksinasi masal secara gratis hanya terhadap sebagian unggas sektor 3 dan sektor 4 (ayam kampung belakang rumah). Titik lemah dalam pelaksanaan program vaksinasi masal ini adalah sebaran ayam dan itik kampung yang sangat luas, sistem pemeliharaan yang ekstensif, biaya operasional vaksinasi per ekor sangat rendah, rendahnya kualitas rantai dingin dan kurangnya tenaga vaksinator di pedesaan. Kewajiban vaksinasi terhadap penyakit hewan menular juga belum diatur dalam peraturan perundangan yang berlaku.
Vaksinasi unggas
Pendapat para ahli kesehatan hewan di dunia mengenai vaksin dan vaksinasi terhadap AI pada unggas masih beragam. Pengetahuan dan teknologi mengenai vaksin juga berkembang dari waktu ke waktu. Kebijakan vaksinasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia secara teknis tidak salah. Persyaratan utama yang harus dipenuhi adalah kualitas vaksin AI harus memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE).
Sejak awal berjangkitnya wabah AI di Indonesia, pemerintah telah memberikan izin kepada perusahaan lokal untuk memproduksi vaksin H5N1 yang bibit vaksin diambil dari isolat lapangan. Begitu juga impor vaksin H5N2 dan H5N9 dilakukan dari beberapa perusahaan di luar negeri (Amerika Serikat, Belanda, Meksiko, Jerman, Perancis dan China).
Baik vaksin H5N1 dan H5N2 dapat digunakan dalam program vaksinasi AI. Para ahli berpendapat bahwa unsur haemagglutinin (H) menentukan patogenisitas virus sedangkan neuraminidase (N) tidak. Keuntungan vaksin H5N2 atau H5N9 adalah dapat digunakan untuk membedakan antara strain virus dari lapangan (N1) dengan strain virus yang berasal dari vaksin (N2 atau N9). Prinsip ini disebut ”Differentiating Infected from Vaccinated Animals” (DIVA).
Pro kontra terhadap vaksinasi AI pada unggas lebih disebabkan karena pandangan yang menyatakan bahwa unggas yang divaksin masih mampu mengeluarkan virus (shedding virus) dan operasionalisasi vaksinasi masal pada sektor 4 sangat sulit dilakukan dengan tingkat keberhasilan yang tinggi.
Beberapa studi lapangan yang dilakukan berhasil membuktikan bahwa vaksinasi mampu menghentikan pengeluaran virus secara total. Hal ini membuktikan bahwa apabila vaksin yang digunakan mempunyai kualitas yang baik dan pelaksanaan vaksinasi dilakukan secara benar, maka kekhawatiran tentang ’shedding virus’ tidak perlu dipertimbangkan lagi.
Negara tetangga
Sebagaimana diketahui bersama, pendekatan yang dilakukan Indonesia sangat berbeda dengan Thailand, Vietnam maupun Malaysia. Ke-tiga negara tersebut melakukan upaya pengendalian dengan pemusnahan unggas menyeluruh (stamping out) dengan kondisi bahwa sistem deteksi dan respons dini harus diupayakan berjalan dengan baik. Komitmen pemerintah terhadap besaran dana kompensasi cukup memuaskan peternak (Thailand 70% dari harga pasar, Malaysia 100% harga pasar). Kapasitas kelembagaan pemerintah dan swasta sangat kuat dan dengan infrastruktur kesehatan hewan yang terus diperbaiki.
Kebijakan yang diambil pemerintah Thailand didorong oleh tuntutan pasar yang mengharuskan negara pengekspor tidak melakukan vaksinasi terhadap AI. Seperti diketahui, hampir 50% dari produksi unggas Thailand diekspor terutama ke negara-negara Uni Eropa dan Jepang. Mengingat sistem produksi unggas dengan sektor 1, 2, 3 dan 4 yang saling tumpah tindih dan banyaknya pengemar ayam aduan (fighting cock), maka letupan kecil wabah AI muncul kembali meskipun sporadik akhir-akhir ini di Thailand, yang menunjukkan bahwa pelaksanaan ‘stamping out’ belum sepenuhnya berhasil menghilangkan virus AI dari lingkungan.
Kebijakan pemerintah Vietnam berubah setelah ‘stamping out’ dinilai sampai dengan akhir tahun 2005 tidak berhasil sepenuhnya mengeliminasi virus AI pada populasi unggas. Vietnam melakukan pemusnahan terhadap hampir 50% populasi unggasnya, terutama itik yang dianggap bertindak sebagai ’reservoir’ virus AI. Kemudian vaksinasi terhadap AI diizinkan untuk diterapkan dan program vaksinasi massal sedang berlangsung saat ini di Vietnam.
Pengendalian pada sumbernya
Kunci pencegahan menularnya AI ke manusia adalah menghilangkan sumber infeksinya pada unggas. Jadi apabila pemerintah Indonesia ingin berhasil menghentikan penularan ke manusia, maka fokus penanggulangan harus diarahkan kepada peternakan.
Sembilan langkah strategi secara teknis sudah sangat relevan dengan tujuan penanggulangan AI yaitu menghilangkan sumber infeksi pada unggas, mengurangi kematian unggas dan mencegah penyebaran penyakit melalui pengawasan lalu lintas unggas, produk unggas dan hasil sampingan.
Pemerintah juga harus memberikan perhatian penuh kepada upaya edukasi publik untuk meningkatkan kesadaran masyarakat (public awareness) akan pentingnya pelaporan kasus kematian unggas secara dini ke pihak berwenang dan kesediaan memvaksin unggasnya. Juga perlu menyiapkan dana kompensasi dengan mekanisme yang lebih terdesentralisasi, cepat dan langsung diterima peternak.
Disamping itu, pemerintah perlu sesegera mungkin mempersiapkan landasan peraturan perundangan yang mempunyai kekuatan hukum untuk dapat mendukung pelaksanaan tindakan darurat terhadap munculnya wabah penyakit hewan menular.
Strategi jangka panjang harus diarahkan kepada upaya restrukturisasi industri perunggasan dengan mempersiapkan terlebih dahulu peraturan perundangan yang diperlukan yang akan menjadi acuan bagi daerah dalam pelaksanaannya di lapangan. Restrukturisasi diarahkan kepada upaya penataan kawasan peternakan, penerapan izin usaha peternakan, penataan pasar dan rumah/tempat pemotongan unggas. Suatu kajian mengenai rantai pemasaran unggas sangat diperlukan untuk mendukung pelaksanaan restrukturisasi industri perunggasan.
Drh TRI SATYA PUTRI NAIPOSPOS MPhil PhD
Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan menghadapi Pandemi Influenza (Komnas FBPI)
0 Komentar:
Posting Komentar