Senin, 05 April 2010

Bendung penularan ke manusia

Oleh: Tri Satya Putri Naipospos

Tidak terkendalinya wabah flu burung di Indonesia, dikatakan karena pemerintah salah dalam melakukan penilaian dan respon sejak awal, sehingga kini wabah sudah terlanjur menyebar sedemikian rupa dan sudah tak bisa dikendalikan lagi. Pernyataan yang cukup menyudutkan setelah Indonesia menjadi negara dengan jumlah kasus flu burung pada manusia tertinggi di dunia.

Dengan kecenderungan peningkatan kasus flu burung pada manusia dan sebagian besar memiliki riwayat terpapar dengan unggas yang sakit atau mati, maka dapat dikatakan bahwa virus flu burung masih bersirkulasi pada populasi unggas dan sangat mungkin mencemari lingkungan sekitarnya baik itu melalui kotoran maupun air.

Penyebaran virus diasumsikan lebih disebabkan oleh perdagangan unggas hidup antar daerah/pulau. Unggas yang dilalu lintaskan sebagian besar berasal dari peternakan komersial baik skala besar dan menengah. Begitu virus flu burung dijumpai pada ayam kampung, para ahli mengatakan bahwa virus tersebut akan bertahan lama di lingkungan dan tetap menjadi sumber penularan bagi hewan lainnya.

Flu burung pada unggas tidak ada obatnya dan vaksin hanya digunakan setelah wabah terjadi untuk mengurangi gejala klinis dan kematian, sehingga satu-satunya metoda yang paling efektif sampai saat ini adalah melakukan pemusnahan unggas, baik terhadap unggas yang terpapar maupun yang kontak.

Dalam menanggulangi flu burung, tidak dikenal satu strategi saja (no single strategy), sehingga pemusnahanpun harus dibarengi dengan metoda-metoda lainnya yang diterapkan secara simultan dan berkesinambungan.

Pemerintah Indonesia berupaya untuk membendung penyebaran flu burung termasuk ke manusia dengan menerapkan strategi nasional yang sifatnya terpadu dan multi-sektoral, dengan penekanan pada vaksinasi dan depopulasi pada unggas dan penyiapan rumah-rumah sakit rujukan bagi pasien flu burung. Di sektor perungggasan, respon pemerintah bersama-sama industri diusahakan konsisten dan berkesinambungan dengan penekanan pada peningkatan biosekuriti, depopulasi, vaksinasi dan pengendalian lalu lintas unggas dan produknya.

Transparansi

Satu persyaratan yang kritikal dalam mendorong terjadinya perdagangan hewan dan produk hewan yang aman dan adil antar negara adalah tersedianya informasi yang jujur dan transparan mengenai kejadian penyakit hewan menular yang terjadi di suatu negara terutama apabila menyangkut penyakit ‘transboundary’, termasuk diantaranya adalah flu burung.

Prinsip-prinsip internasional mengenai penyakit hewan menular antara lain adalah kesetaraan, harmonisasi dan transparansi serta memiliki dasar ilmiah. Apabila Indonesia tidak ingin dikatakan sebagai negara yang berusaha menutupi apa yang sebenarnya terjadi, maka pemerintah mau tidak mau harus memperkuat sistem deteksi, pelaporan dan respon dini (early detection, reporting and response) wabah penyakit hewan menular.

Kegagalan pemerintah Indonesia harus dilihat sebagai suatu hal yang tidak bisa dilepaskan dari kelemahan mendasar yang terjadi dan dilakukan Departemen Pertanian dalam aspek sistem dan kelembagaan, jaringan laboratorium dan kapasitas teknis kesehatan hewan serta dalam membangun suatu aliansi yang kuat dengan industri peternakan.

Sangat sulit melakukan program pemberantasan atau eradikasi pada unggas tanpa memiliki dana, tenaga dan infrastruktur yang memadai. Perkembangan wabah flu burung sudah menjadi kompleks dan berkaitan erat dengan kemampuan pemerintah dan industri peternakan mengantisipasi setiap kasus wabah baru.

Sikap industri peternakan terutama sektor 1 dan 2 yang belum sepenuhnya siap melakukan kerjasama dengan pemerintah dalam keterbukaan melaporkan penyakit. Ke depan akan tetap mempersulit upaya Indonesia dalam mencapai situasi yang kondusif untuk melakukan hal-hal yang dipersyaratkan dalam perdagangan internasional.

Pemadam kebakaran

Kadangkala pemerintah bertindak kurang tepat dalam menjalankan strategi yang sudah ditetapkan. Kebijakan yang pernah diambil Departemen Pertanian menyangkut pembantaian babi di Tangerang tahun 2005 dan juga pemusnahan unggas dengan menggunakan uji antigen cepat (rapid antigen test) di wilayah DKI Jakarta pada awal tahun 2006 yang lalu, pada dasarnya memperlihatkan bagaimana suatu proses pengambilan keputusan teknis tidak dilakukan dengan baik.

Mekanisme pengambilan keputusan teknis harus berlandaskan kepada informasi ilmiah yang disajikan peneliti dan dibahas diantara para ahli berdasarkan masukan yang diperoleh dari kajian analisa risiko, epidemiologi, surveilans dan laboratorium. Penetapan kebijakan politis seharusnya dilakukan setelah melalui penetapan kebijakan teknis yang benar dan tepat yang dilakukan oleh pemegang otoritas veteriner (veterinary authority).

Penterjemahan kebijakan teknis menjadi kebijakan politis seringkali menimbulkan kesan bahwa tindakan pemerintah bersifat hanya sebagai pemadam kebakaran atau seremonial tanpa menyentuh secara substansial permasalahan yang sebenarnya di lapangan. Pelaksanaan tanpa mengakomodir muatan yang diberikan oleh para ahli akan menyebabkan Departemen Pertanian tidak mampu menetapkan prioritas yang jelas, terutama dalam kaitannya dengan upaya memotong mata rantai penularan dari hewan ke manusia.

Secara jujur harus dikatakan pula bahwa penekanan Departemen Pertanian kemudian pada program TUMPAS flu burung menunjukkan bahwa arah pengendalian dikelola dengan kurang memperhatikan masukan dari sudut pandang teknis kesehatan hewan. Disamping itu Departemen Pertanian harus secara tegas menyatakan bahwa program TUMPAS flu burung sesungguhnya merupakan salah satu upaya kampanye peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness campaign) tentang flu burung dan sebagai komplemen dari penerapan sembilan langkah strategi.

Kendala

Bisa dikatakan bahwa kegagalan Indonesia mengatasi penyebaran AI pada unggas dan membendung penularan ke manusia, disebabkan kendala mendasar yang menyangkut sistem dan kelembagaan.

Perlu diketahui dengan jelas bahwa konteks penanggulangan penyakit hewan menular yang mampu menular ke manusia (zoonosis) bukanlah semata-mata urusan Departemen Pertanian dan Departemen Kesehatan, akan tetapi lintas departemen, bahkan diperlukan integrasi yang sinergis antara pemerintah dengan pihak swasta dan masyarakat luas.

Kendala sistem lebih kepada tidak tersedianya kemampuan untuk melakukan jejaring yang mengikutsertakan semua komponen dalam pemerintahan yang diperlukan dalam upaya penanggulangan, serta garis komando yang sifatnya ’hirarhikal’ dari pusat sampai ke daerah. Dengan berlakunya otonomi daerah, maka Departemen Pertanian tidak lagi mempunyai kendali terhadap kelembagaan yang memegang otoritas veteriner di daerah.

Begitu juga koordinasi terpusat yang sangat esensial diperlukan dalam mekanisme penanggulangan wabah harus dipegang oleh paling tidak eselon satu yang memiliki seluruh kewenangan untuk melaksanakan suatu tindakan darurat yang diperlukan. Oleh karenanya penguasaan teknis yang didukung oleh peraturan perundangan yang tegas, tetap menjadi suatu landasan yang diperlukan untuk mendukung kemampuan pengendalian situasi wabah di lapangan.

Fase ke-tiga

Dengan Indonesia kini memasuki fase ke-tiga yaitu penularan dari unggas ke manusia, maka pendekatan atau strategi Departemen Pertanian perlu diubah sesuai dengan landasan ilmiah yang digunakan. Dahulu pada saat awal wabah, sembilan langkah strategi diperkenalkan dengan lebih menggunakan alasan ekonomi yaitu menyelamatkan industri perunggasan.

Penekanan pada saat itu adalah dengan melakukan kombinasi vaksinasi dan depopulasi (focal culling). Saat ini dengan kecenderungan kenaikan kasus pada manusia, maka strategi harus disesuaikan dengan kepentingan yang menyangkut keselamatan jiwa manusia.

Pada kondisi dimana jumlah kasus kematian unggas rendah dan secara epidemiologis flu burung sudah dikatakan menjadi endemis, maka strategi perlu ditekankan kepada upaya depopulasi dan ring vaksinasi. Artinya apabila muncul kasus flu burung baru, maka pemusnahan unggas harus dilakukan dengan standar prosedur operasional yaitu semua unggas dalam radius 1 km, diikuti dengan vaksinasi dalam radius 3 km dari munculnya kasus. Tindakan pemusnahan unggas pada kondisi penyakit sudah menjadi endemis merupakan suatu upaya yang secara drastis dapat mengurangi jumlah virus yang bersirkulasi di lingkungan.

Pada saat ini Departemen Pertanian tidak memiliki prioritas dalam mengimplementasikan strategi yang harus dilakukan dengan dukungan dana, tenaga dan infrastruktur yang memadai di daerah-daerah untuk memerangi virus AI yang tingkat sirkulasinya di lingkungan diperkirakan masih tetap tinggi.

Pencegahan pandemi

Dalam berbagai forum global atau regional, termasuk Asia Pacific Economic Cooperation (APEC), pernah ada komitmen bantuan dari sejumlah negara untuk menanggulangi flu burung di Indonesia. Kebutuhan untuk penanggulangan flu burung dan kesiapsiagaan menghadapi pandemi influenza di Indonesia seluruhnya adalah 900 juta dollar sampai dengan tahun 2008. Jumlah yang bisa dicakup oleh APBN paling tinggi mencapai 500 milyar rupiah setahun. Untuk tahun 2006-2007, bantuan internasional yang sudah menjadi komitmen donor berjumlah sekitar 73 juta dollar. Artinya masih ada gap besar yang perlu difikirkan untuk mengatasi hal ini dan menjadi pekerjaan rumah pemerintah yang harus dilaksanakan segera.

Saat ini yang paling penting dilakukan adalah membendung penyebaran flu burung pada unggas dan mencegah sedini mungkin penularan dari hewan ke manusia. Tingkat kemungkinan terjadinya pandemi sangat sulit diprediksi, sehingga secara garis besar harus ada 2 komponen penting yang harus dilakukan pemerintah yaitu mengendalikan flu burung pada sumbernya, sehingga tidak lagi menjadi sumber penularan ke manusia dan membangun jejaring antar kelembagaan pemerintah dan swasta untuk mempersiapkan mekanisme kesiapsiagaan untuk menghadapi kemungkinan terburuk yaitu terjadinya pandemi influenza.

Drh TRI SATYA PUTRI NAIPOSPOS MPhil PhD
Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan menghadapi Pandemi Influenza (Komnas FBPI)

0 Komentar: