Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan
Oleh:Tri Satya Putri Naipospos
Setelah mengalami perjalanan panjang lebih dari 10 tahun, akhirnya Undang-undang Peternakan dan Kesehatan Hewan nomor 18 tahun 2009 terbit menjelang akhir lima tahun pertama masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menandakan satu babak baru sejarah peternakan dan kesehatan hewan di Indonesia untuk lebih mampu mengeksplorasi dan memanfaatkan sebesar-besarnya kekayaan fauna dan ekosistemnya untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Di zaman dahulu kala dimana kesehatan ternak masih mengandalkan obat-obatan tradisionil seperti jamu atau jenis tumbuhan lain yang diracik pemilik ternak, pentingya pengaturan tentang obat hewan maupun pengendalian penyakit hewan menular tidaklah sekompleks seperti apa yang dialami sekarang. Intensifikasi ternak sebagai konsekuensi dari pertumbuhan populasi manusia yang cepat dan meningkatnya permintaan akan protein hewani menyebabkan ternak tidak lagi hanya sekedar menjadi tabungan rumah tangga, akan tetapi sudah menjadi tumpuan kehidupan ekonomi masyarakat. Bahkan secara nyata memberikan kontribusi kepada Produk Domestik Bruto suatu negara.
Salah satu contoh negara kaya Australia, jumlah ternak pangan setiap tahunnya mencapai setengah milyar. Di tahun 2007, pemanfaatan ternak untuk daging menyumbang 72 trilyun rupiah bagi perekonomian nasional, sedangkan hasil samping ternak seperti wol, susu dan telur sekitar 36 trilyun rupiah. Pentingnya perundangan tentang kesehatan hewan menjadi sedemikian kritisnya untuk melindungi dan sekaligus mempertahankan besarnya aset negara. Dapat dibayangkan besarnya kerugian yang dialami seandainya Australia mengalami serangan penyakit hewan menular seperti penyakit mulut dan kuku atau sapi gila.
Ternak Indonesia
Jumlah kekayaan ternak Indonesia memang tidak sebesar Australia, juga kemampuan kita untuk memberdayakan perlindungan kesehatan hewan dan pengamanan produk hewan masih sangat jauh dari yang diharapkan. Kita baru merevisi total undang-undang lama yang sudah berumur 40 tahun dan mencoba menyesuaikannya dengan perkembangan saat ini dan tantangan ke depan.
Dengan sasaran sektor peternakan sebagai sumber pertumbuhan ekonomi baru, kebijakan pemerintah dalam 20 tahun terakhir ditujukan untuk mendorong pertumbuhan populasi dan produksi ternak. Namun demikian laju pertumbuhan populasi ternak besar seperti sapi dan kerbau yang asetnya hanya sekitar 10,5 juta ekor tidak pernah beranjak naik, menyebabkan greget program swasembada daging yang sejak awal ditargetkan pemerintah tidak terlihat wujudnya. Dalam perjalanannya program tersebut harus direvisi dua kali dan setelahnyapun tersisa banyak keraguan apakah pencapaian target baru 2014 cukup realistis.
Begitu juga pertumbuhan industri unggas dalam 40 tahun terakhir memiliki nilai aset 60 trilyun rupiah, tidak juga berhasil memiliki tiang pondasi kokoh mengingat mulai dari bibit, pakan dan obat-obatan bergantung kepada negara kaya. Kerugian ekonomi yang besar bisa menerpa industri ini mengulang apa yang terjadi tahun 1997 atau saat serangan wabah flu burung tahun 2003 lalu.
Orientasi ekonomi
Peternakan adalah bagian integral dari pertanian, sehingga kesehatan hewan yang menjadi bagian dari peternakan dalam tata pemerintahan lebih ditujukan untuk kepentingan mengamankan ternak dari serangan penyakit di hulu, di tingkat budidaya maupun di hilir. Dalam pengaturan kabinet, bidang ini dikoordinasikan dibawah Menteri Koordinasi Ekonomi dan Keuangan, bukan Menteri Koordinasi Kesejahteraan Rakyat, seperti halnya bidang kesehatan.
Pada kenyataannya kesehatan hewan terkait dengan kesehatan masyarakat, ketahanan dan keamanan pangan, kesehatan lingkungan dan keamanan negara. Orientasi kesehatan hewan seharusnya tidak dipandang semata-mata dari aspek ekonomi, akan tetapi juga dari aspek sosial, lingkungan dan kemasyarakatan.
Daya saing industri peternakan bukan hanya bergantung kepada kemampuan menekan ongkos produksi, akan tetapi juga bagaimana memenuhi persyaratan kesehatan hewan, keamanan pangan dan kesejahteraan hewan.
Biaya pakan memang merupakan bagian terbesar 70-75 persen dari keseluruhan biaya produksi, dibandingkan dengan biaya kesehatan hewan yang hanya 10-15 persen. Akan tetapi totalitas dampak kesehatan hewan tidak bisa dibendung apabila kita berhadapan dengan serangan penyakit hewan menular dan bahkan cakupan dampak akan semakin melebar apabila sifatnya menular ke manusia (zoonosis).
Veteriner
Kesehatan hewan tidak bisa dilepaskan dari apa yang dikenal dengan istilah ‘veteriner’. Veteriner berarti segala sesuatu yang menyangkut hewan dan penyakit-penyakitnya. Masyarakat awam kurang mengenal istilah ini, oleh karena sejak Indonesia merdeka profesi dokter hewan dan ruang lingkup pekerjaannya tidak banyak diketahui masyarakat. Kemunculan flu burung di akhir tahun 2003 dan kemudian diikuti sekarang ini dengan flu babi, meskipun namanya diubah menjadi flu pandemi H1N1 – merupakan satu babak tersendiri dalam sejarah kesehatan hewan.
Flu burung memberikan pelajaran kepada kita bahwa dunia kesehatan hewan atau veteriner tidak lagi hanya sekedar praktek mengobati hewan-hewan kesayangan anjing dan kucing di kota-kota besar atau hewan produksi seperti kambing-domba atau sapi-kerbau, akan tetapi memiliki ruang lingkup luas. Definisi hewan menurut veteriner bukan hanya mencakup ternak, tetapi seluruh hewan yang hidup di darat, air dan udara.
Penyakit yang muncul dalam dekade belakangan di berbagai belahan dunia, seperti sapi gila, SARS, Nipah, Ebola, Rift Valley Fever, West Nile dan lainnya, kesemuanya memiliki potensi zoonosis, seharusnya menimbulkan pemahaman masyarakat yang lebih baik akan pentingnya aplikasi kebijakan dan program kesehatan hewan yang mampu melindungi kesehatan masyarakat, menciptakan ketahanan pangan dan mengurangi kemiskinan.
Azas "public good"
Segala sesuatu yang berhubungan dengan penyakit hewan menular dan zoonosis tidak dapat dianggap sebagai urusan masyarakat, akan tetapi menyangkut urusan negara dengan tanggung jawab yang wajib dijalankan oleh pemerintah atau bersifat "public good". Kompensasi adalah alat yang digunakan untuk mendorong pemilik ternak melaporkan kejadian penyakit dan sekaligus memberikan jaminan bahwa yang bersangkutan mendapatkan ganti rugi apabila keseluruhan ternak yang dimiliki dalam radius tertentu harus dimusnahkan.
Hampir semua negara yang peternakannya bersifat subsisten dengan 70-80% tradisional skala kecil seperti Indonesia, tidak mempunyai kemampuan untuk mengalokasikan anggaran untuk kompensasi. Sebagai akibatnya, contohnya flu burung, banyak negara tidak berhasil mengatasi wabah dan situasi penyakit cenderung menjadi endemis atau sporadis.
UU Peternakan dan Kesehatan Hewan (UU PKH) menyebutkan tentang kompensasi, tetapi ambigu dalam menetapkan status ternak terserang wabah yang akan dikompensasi pemerintah. Azas keadilan berlaku apabila kompensasi digunakan oleh negara untuk membantu rakyatnya pada saat dampak penyakit hewan menular berbahaya tidak lagi dapat ditanggung oleh publik dan negara wajib menyelamatkan ekonomi rakyat.
Otoritas veteriner
Dengan posisi kesehatan hewan yang berada dibawah satu ruang lingkup kedinasan yang disebut pertanian, menyebabkan cara pandang masing-masing pemerintah daerah beragam. Nama dinas yang berbeda-beda di propinsi ataupun di kabupaten merefleksikan cara pandang tersebut. Kewenangan medis dokter hewan tidak ada bedanya dengan kewenangan medis dokter. Suatu diagnosa penyakit maupun sertifikasi veteriner harus dibuat dan sah apabila ditandatangani oleh seorang dokter hewan.
Begitu juga kebijakan teknis medis terkait isu nasional, contohnya menyangkut keputusan pembukaan atau penolakan impor hewan dan produk hewan serta turunannya atau pembunuhan masal ternak untuk meredam wabah penyakit hewan menular seharusnya ditetapkan oleh otoritas veteriner, bukan politis. Ketidakmampuan menyatukan teknis dalam politik pemerintahan akan menyebabkan gagalnya perwujudan good governance yang bisa menimbulkan gangguan rasa aman dan terlindungi masyarakat terhadap ancaman serangan wabah penyakit.
UU PKH mengatur tentang kewenangan pemerintah di tingkat nasional maupun propinsi/kabupaten untuk dapat mengambil keputusan teknis medis. Dengan posisi kesehatan hewan yang seringkali berada di bawah naungan sektor lain, menyebabkan kewenangan tersebut seringkali ditransfer ke pihak non medis. Banyak praktek di lapangan dimana keputusan teknis ditentukan atau sertifikasi veteriner ditandatangani oleh Kepala Dinas yang bukan berprofesi dokter hewan, meskipun ada dokter hewan yang menjadi bawahannya.
Timbulnya gugatan terhadap pasal otoritas veteriner dalam UU PKH yang baru saja terbit ini harus dilihat sebagai upaya meluruskan persepsi ketidakseimbangan dalam hubungan antara pemerintah dan profesi.
Pengertian otoritas veteriner harus konsisten dengan standar Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) dalam upaya memastikan pengambilan keputusan berbasis ilmiah, adanya rantai komando yang efisien dan kelayakan sertifikasi veteriner. Sayangnya seperti halnya pembuatan undang-undang lain, masuknya pengaruh komersialisasi, finansial, hierarhikal dan politik menyebabkan posisi otoritas veteriner terbelenggu struktur dan birokrasi.
Gugatan ini seharusnya dipandang sebagai sinyal kepada masyarakat bahwa kemampuan negara menghadapi penyakit hewan menular yang membahayakan kehidupan manusia bergantung kepada kekuatan otoritas veteriner dalam menjalankan fungsinya sesuai kewenangan yang diatur dalam perundangan.
*) Penulis bekerja untuk Food and Agriculture Organization of the United Nation (FAO).
0 Komentar:
Posting Komentar