Minggu, 07 Maret 2010

Dampak Perubahan Iklim terhadap Penyakit Hewan

Peringatan Ulang Tahun ke-4 Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS). Seminar Setengah Hari dengan tema “Globalisasi, Perubahan Iklim, dan Penyakit Hewan” diselenggarakan di Bogor, 16 Januari 2010

Oleh: Tri Satya Putri Naipospos

Pendahuluan

Ancaman perubahan iklim menjadi salah satu isu penting di abad ke-21 ini. Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim 2009 di Copenhagen, Denmark menunjukkan bahwa negara-negara di seluruh dunia dengan serius memikirkan masa depan planet bumi dengan berupaya menjawab tantangan dampak perubahan iklim.

Bukti ilmiah yang sudah diketahui secara luas menyatakan bahwa iklim global bertambah panas pada tingkat yang lebih cepat dari sebelumnya (Intergovernmental Panel on Climate Change, 2001), dengan perubahan secara bersamaan dalam bentuk pengendapan, banjir, badai dan frekuensi peristiwa ekstrim seperti El Nino.

Sejumlah penelitian berhasil mendemonstrasikan adanya hubungan antara penyakit hewan menular dengan iklim, meskipun sebelumnya tidak terfikirkan bahwa perubahan iklim yang signifikan selama dekade ini berdampak nyata terhadap sebagian dari penyakit-penyakit tersebut (Baylis and Githeko, 2006).

Dari kiri ke kanan: Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD (CIVAS), Drh Agus Lelana SpMP MSi (FKH IPB), Prof Dr Drh Bambang Purwantara MSc (Direktur Seameo Biotrop IPB) dan Drs Haneda Sri Mulyanto MAS (Asisten Deputi Urusan Pengendalian Dampak Perubahan Iklim Kemenneg LH)

Selama ini literatur ilmiah tentang dampak perubahan iklim terhadap kesehatan dan penyakit cukup banyak dapat ditemukan, akan tetapi terfokus lebih kepada kesehatan manusia dan penyakit yang ditularkan melalui vektor (vector-borne disease).

Sebaliknya, dampak perubahan iklim terhadap kesehatan hewan atau penyakit-penyakit yang bukan ditularkan melalui vektor (non vector-borne disease) kurang mendapatkan perhatian. Mengingat masalah global penyakit saat ini lebih kepada penyakit-penyakit yang bukan ditularkan melalui vektor dan dampaknya terhadap kemiskinan di negara-negara berkembang, menyebabkan perhatian dunia lebih terfokus kepada masalah ini (Perry et al., 2002).

Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) dalam Sidang Tahunannya yang ke-77 tahun 2009 menyatakan sebagai akibat dari globalisasi dan perubahan iklim, dunia menghadapi munculnya penyakit-penyakit hewan yang baru muncul dan yang muncul kembali (emerging and re-emerging animal diseases). Merebaknya penyakit-penyakit pada beberapa hewan domestik maupun hewan liar belakangan ini, seperti blue tongue, Rift Valley fever, West Nile, avian influenza atau juga penyakit-penyakit yang disebarkan oleh vektor diyakini berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan perubahan iklim.

Kompleksitas dari keterkaitan antara berbagai faktor yang mempengaruhi munculnya penyakit-penyakit hewan baru dan yang muncul kembali tersebut mengindikasikan bahwa ketidakpastian akan terus membayangi masa depan kehidupan manusia dan hewan (Black and Nunn, 2009). Perubahan iklim hanyalah salah satu diantara berbagai faktor dari perubahan ekosistem yang memunculkan penyakit-penyakit hewan tersebut.

Seperti sudah dikatakan diatas, kaitan antara penyakit-penyakit hewan dengan iklim dan cuaca dapat bersifat ‘spatial’ dimana iklim mempengaruhi penyebaran penyakit atau juga dapat bersifat ‘temporal’ dimana cuaca mempengaruhi waktu terjadinya wabah atau berkaitan dengan intensitas wabah (Baylis and Githeko, 2006).

Sebagian besar negara-negara anggota OIE mengkhawatirkan masalah tentang perubahan iklim dan dampaknya terhadap penyakit-penyakit hewan yang baru muncul dan yang muncul kembali. Namun banyak juga negara-negara anggota yang tidak meyakini bahwa sistem kesehatan hewan nasional yang berjalan sekarang akan bisa secara efektif mengatasi dampak tersebut apabila tidak dipersiapkan dengan baik. Oleh karenanya OIE menganggap perlu untuk merancang strategi global dalam membantu negara-negara anggota agar mampu mencegah atau mengurangi dampak perubahan iklim terhadap penyakit hewan.

Indonesia sebagai negara kepulauan di wilayah tropis merupakan negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Meskipun kita belum banyak memiliki data yang komprehensif tentang dampak perubahan iklim terhadap penyakit hewan di Indonesia, akan tetapi isu ini sudah menjadi isu global yang tidak dapat diabaikan begitu saja.

Secara geografis, negara kita memiliki berbagai habitat mulai dari dataran rendah, hutan, padang rumput, perbukitan, pegunungan, serta lautan yang begitu luas. Keragaman habitat ini mendukung kekayaan flora dan fauna yang begitu besar. Indonesia memiliki 10% dari tumbuh-tumbuhan bunga dunia, 12% mamalia dunia, 16% reptilia dan amphibia dunia, 17% dari keseluruhan jenis burung-burung serta lebih dari 25% ikan laut dan ikan air tawar dunia. Indonesia juga memiliki jumlah terbesar spesies yang dilindungi (endangered species) di dunia.

Pada kenyataannya, Indonesia masih terus memiliki permasalahan penyakit hewan menular dan zoonosis seperti avian influenza, brucellosis, rabies, anthrax dan berbagai penyakit yang ditularkan melalui vektor (seperti trypanosomiasis, anaplasmosis, babesiosis) dan penyakit parasit lainnya (seperti fascioliasis, haemonchiasis, cysticercosis).

Keterkaitan antara sektor peternakan dan perubahan lingkungan global

Menurut dokumen yang dikeluarkan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) tahun 2006 berjudul Livestock ‘s Long Shadow yang menekankan peranan sektor peternakan dalam mendorong terjadinya perubahan lingkungan global. Laporan yang cukup memberikan gambaran rinci tentang keterkaitan antara perubahan iklim dengan sektor peternakan, meskipun tidak memfokuskan kepada dampak perubahan iklim terhadap penyakit hewan.

Menurut dokumen ini, industri peternakan adalah penghasil emisi gas rumah kaca terbesar (18%) dibandingkan dengan gabungan emisi rumah kaca seluruh transportasi di seluruh dunia (13%). Seperti diketahui, beberapa jenis gas rumah kaca bertanggung jawab langsung terhadap pemanasan global yang dialami dunia. Sektor peternakan telah menyumbang 9% karbon dioksida, 37% gas metan, 65% dinitrogen oksida dan 64% ammonia. Sektor ini juga dianggap telah menjadi penyebab utama dari kerusakan tanah dan polusi air (Steinfeld et al., 2006).

Meskipun sistem iklim di Indonesia belum dimengerti secara sepenuhnya, namun perubahan iklim yang relatif lebih cepat dapat terjadi apabila sistem iklim memperlihatkan respon yang non-liniar terhadap kenaikan konsentrasi gas rumah kaca.

Meskipun belum banyak studi dilakukan untuk mengetahui pengaruh industri peternakan terhadap perubahan iklim di Indonesia, akan tetapi sejumlah skenario yang dirancang para ahli memperlihatkan timbulnya respon iklim yang berbeda di sejumlah wilayah terhadap tekanan gas rumah kaca yang sama besarnya. Persoalan ini diprediksi akan semakin menimbulkan ketidakpastian terhadap perubahan iklim di masa depan.

Adanya pertambahan konsentrasi karbon dioksida dan kenaikan tingkat permukaan air laut bisa menunjukkan pula bahwa perubahan iklim semakin mungkin dipercayai terjadi di Indonesia. Begitu juga iklim di Indonesia yang bertambah panas selama periode abad ke dua puluh. Rata-rata temperatur tahunan meningkat sekitar 0,3oC sejak tahun 1900, dimana tahun 1990-an merupakan periode terpanas sepanjang dekade dan 1998 merupakan tahun terpanas dengan kenaikan hampir 1oC diatas rata-rata tahun 1961–1990.

Begitu juga curah hujan tahunan dalam dekade ini menurun 2–3 persen di seluruh Indonesia. Sedangkan curah hujan di banyak tempat di Indonesia dipengaruhi sangat kuat oleh peristiwa El Nino (Hume and Sheerd, 1999).

Meskipun keberadaan industri peternakan di Indonesia yang masih belum berkembang sebagaimana halnya di negara-negara maju, akan tetapi dorongan untuk melakukan penelitian terhadap dampak sektor peternakan terhadap lingkungan dan ekosistem sudah saatnya dilakukan. Para ahli di Indonesia perlu mempelajari seberapa jauh besarnya emisi gas dari masing-masing tahapan proses produksi ternak seperti pembuatan pakan ternak, sistem pencernaan hewan, serta pengolahan dan pengangkutan daging hewan ke konsumen.

Keterkaitan antara perubahan iklim dan penyakit hewan

Perubahan iklim[1] dan perubahan lingkungan[2] adalah sebagian kecil dari perubahan ekosistem yang lebih besar yang mampu mempengaruhi munculnya penyakit hewan baru dan yang muncul kembali (Black and Nunn, 2008).

Sebagaimana disampaikan diatas, perubahan iklim memiliki dampak nyata terhadap ternak dan jenis hewan lainnya melalui penyakit. Belakangan ini banyak laporan studi yang disusun oleh para ahli yang menerangkan secara detil pengetahuan tentang perubahan eksosistem, termasuk perubahan iklim dan perubahan lingkungan yang pada kenyataannya berlangsung lebih cepat dari yang diharapkan.

Kesehatan hewan dapat dipengaruhi oleh perubahan iklim melalui empat cara yaitu penyakit-penyakit dan stres yang berkaitan dengan cuaca panas, kejadian-kejadian cuaca yang ekstrim, adaptasi sistem produksi ternak terhadap lingkungan baru, dan penyakit hewan yang muncul baru dan yang muncul kembali (Forman et al., 2008).

Sebelum isu perubahan iklim muncul sekarang ini, sudah diketahui dengan baik bahwa banyak penyakit menular yang menjangkiti hewan maupun manusia mengikuti pola musim dan banyak diantara keragaman musim tersebut berakibat langsung atau tidak langsung terhadap keragaman cuaca dan iklim.

Keterkaitan antara iklim dan penyakit relatif mudah untuk diidentifikasi. Dinamika penularan dan penyebaran geografis sebagian besar penyakit-penyakit yang ditularkan melalui insekta dan rodensia sangat sensitif terhadap iklim. Kebanyakan penyakit yang ditularkan melalui vektor mencakup spesies arthropoda seperti nyamuk, lalat, caplak atau kutu.

Sebagian siklus hidup dari agen patogen berada dalam tubuh arthropoda yang mudah dipengaruhi perubahan lingkungan. Perubahan cuaca dan iklim yang dapat mempengaruhi penyakit-penyakit yang ditularkan melalui vektor meliputi temperatur, curah hujan, angin, banjir besar atau kekeringan dan kenaikan permukaan air laut.

Rodensia adalah penyebab sumber sejumlah penyakit zoonosis (termasuk Hantavirus, plague dan leptospirosis). Agen patogen yang ada dalam tubuh roden secara tidak langsung dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang menentukan besarnya populasi rodensia dan banjir, sehingga dapat mendorong roden-roden tersebut untuk mencari sumber makanan dan mengungsi ke tempat lain (Patz et al., 2008). Wabah Hantavirus di bagian barat selatan Amerika Serikat secara jelas berkaitan dengan dampak El Nino terhadap populasi rodensia.

Begitu juga penyakit-penyakit yang berkaitan dengan cuaca panas (heat-related diseases) dimana ternak bukan hanya mudah mengalami stress, akan tetapi juga menurunkan produktivitas dan fertilitas. Di bawah kondisi stres cuaca panas, siklus birahi sapi dapat menjadi lebih panjang, tanda-tanda birahi menjadi lemah dan terjadi peningkatan kematian fetus (Forman et al., 2008).

Dari survei yang dilakukan OIE, 71-72% dari jumlah negara anggota OIE menyatakan kekhawatirannya terhadap adanya kaitan antara penyakit yang baru muncul dan yang muncul kembali dengan perubahan iklim dan perubahan lingkungan. Diantaranya 58% menyatakan paling tidak satu penyakit yang baru muncul dan muncul kembali dipercaya memiliki hubungan langsung dengan perubahan iklim dan 30% menyatakan paling tidak satu penyakit memiliki hubungan dengan perubahan lingkungan.

Sebanyak 24% tidak yakin bahwa penyakit baru dan muncul kembali berhubungan langsung dengan perubahan lingkungan dan hanya 6% dengan perubahan iklim. Penyakit-penyakit yang paling banyak disebutkan berhubungan dengan perubahan iklim atau perubahan lingkungan dapat dilihat dalam Tabel 1.

Tabel 1. Daftar penyakit hewan yang diperkirakan berkaitan dengan perubahan iklim atau lingkungan


Sumber: Black and Nunn (2009)

Pengaruh perubahan iklim terhadap penyakit-penyakit hewan

Dalam literatur ilmiah dijelaskan berbagai proses perubahan iklim dapat mempengaruhi penyakit-penyakit hewan. Proses ini mulai dari yang gambarannya jelas sampai kepada yang masih hipotesis. Namun diyakini bahwa proses tersebut dapat berdampak langsung atau tidak langsung terhadap agen patogen atau parasit, induk semang, vektor (atau jika ada induk semang perantara), dinamika epidemiologi penyakit atau lingkungan alamiahnya. Hanya beberapa dari proses tersebut diharapkan dapat diterapkan terhadap setiap penyakit (Baylis and Githeko, 2006).

Bluetongue

Antara tahun 1998 dan 2005, satu setengah sampai dua juta ekor domba mati di Eropa akibat bluetongue, suatu penyakit infeksi viral ruminansia yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Culicoides (Purse et al., 2005). Penyebaran vektor sangat bergantung kepada variabel lingkungan seperti suhu, kelembaban dan angin (Melor et al., 2000). Virus bluetongue dapat terbawa sampai sejauh ratusan kilometer ke laut oleh angin yang menerbangkan vektor Culicoides yang terinfeksi virus.

Rift Valley fever

Rift Valley fever (RVF) adalah penyakit viral bersifat zoonosis yang menyerang domba dan sapi yang ditularkan oleh nyamuk jenis Aedes dan Culex. Wabah RVF dihubungkan dengan periode curah hujan tinggi dan banjir (Davies et al., 1985: Linthicum et al., 1987; Linthicum et al., 1999).

Di Afrika Timur, wabah dikaitkan dengan curah hujan tinggi setelah terjadi kekeringan yang dikaitkan dengan El Nino. Wabah RVF yang terjadi di wilayah perbatasan Kenya dan Somalia menyebabkan dua ribu orang meninggal dan kematian dua pertiga populasi ternak ruminansia kecil di wilayah tersebut (Little et al. 2001).

West Nile

Keragaman iklim mempunyai dampak terhadap virus West Nile, suatu penyakit yang menyebar di bagian barat belahan bumi. Pengamatan terhadap penyakit ini menunjukkan bahwa virus ini memerlukan temperatur yang lebih panas untuk menghasilkan penularan yang efektif. Seperti dibuktikan di Amerika Serikat dimana wabah yang berlangsung selama musim panas pada tahun 2002 dan 2004 dihubungkan dengan temperatur yang diatas rata-rata.

Suhu juga mempengaruhi tingkat pertumbuhan dan kemampuan hidup dari nyamuk jenis Aedes dan Culex serta tingkat gigitan dan daya tahan nyamuk dewasa betina (Madder et al., 1983; Buth et al., 1990; Rueda et al., 1990; Turell et al., 2001; Dohm et al., 2002). Begitu juga temperatur musim panas dikaitkan dengan wabah-wabah West Nile di Afrika Selatan dan Rusia (McIntosh et al., 1976; Jupp et al., 1986; Platonov et al., 2001).

African horse sickness

African horse sickness (AHS) adalah penyakit menular mematikan yang menyerang kuda. Disebabkan oleh suatu virus yang ditularkan oleh gigitan nyamuk Culicoides. Wabah besar AHS di Republik Afrika Selatan sepanjang 200 tahun terakhir dihubungkan dengan kombinasi kekeringan dan curah hujan tinggi yang dibawa hawa panas El Nino (Baylis et al., 1999).

Leishmaniasis

Leishmaniasis adalah penyakit protozoa yang manifestasi klinisnya bergantung kepada spesies Leishmania dan respon imunologis dari induk semang. Penyakit ini ditularkan oleh lalat dan ditemukan di 88 negara, baik negara tropis maupun non-tropis dan juga di Eropa bagian selatan (Ashford, 1997).

Kejadian leishmaniasis sebanyak 12 juta kasus di seluruh dunia dan insidens bentuk klinis secara global mencapai 2 juta kasus baru per tahun. Penelitian belakangan ini mengamati bahwa kondisi lingkungan yang berubah disebabkan oleh praktek-praktek baru di sektor pertanian dan irigasi berkaitan dengan kenaikan kasus leishmaniasis kutaneus pada manusia (Alten et al., 1999; Toprak, 2003; Svobodova et al., 2003).

Pasteurellosis

Pasteurella multocida sebagai penyebab harmorrhagic septicaemia (pasteurellosis) pada sapi, dapat bertahan baik di luar tubuh induk semang dalam lingkungan yang lembab. Penyakit ini juga berhubungan dengan area yang kelembabannya tinggi dan terjadi selama musim hujan (Hall, 1988).

Avian influenza

Meskipun kaitan antara perubahan iklim dan avian influenza (AI) belum banyak digali secara lebih mendalam, akan tetapi sulit untuk dibantahkan bahwa virus AI bersirkulasi secara alamiah dalam bentuk ‘pool gen’ pada unggas air liar, terutama itik dan angsa migran (Gilbert et al., 2008).

Penyakit AI adalah penyakit unggas yang berevolusi dari virus yang berpatogenisitas rendah yang bersirkulasi pada populasi unggas liar dan diintrodusir ke populasi unggas daratan dengan ukuran kelompok atau kepadatan tertentu. Infeksi virus AI H5N1 merupakan hasil pelimpahan dari unggas domestik ke unggas liar. Panzootik AI yang diawali sejak 2003 sampai sekarang sudah mencakup 61 negara tertular. Perubahan iklim mempengaruhi migrasi burung, siklus penularan virus AI dan berdampak secara langsung terhadap daya tahan virus di luar tubuh induk semang.

Meskipun dampak perubahan iklim agak sulit untuk diprediksi, akan tetapi sangat besar kemungkinannya bahwa sirkulasi virus AI dalam populasi unggas air akan terus beradaptasi dan berevolusi tanpa akhir. Pada unggas domestik, sedikit sekali yang diketahui tentang dampak langsung perubahan lingkungan terhadap penularan dan persistensi virus untuk menarik kesimpulan bahwa ada kemungkinan dampak perubahan iklim. Namun tidak dapat diabaikan adanya kemungkinan kaitan tidak langsung dengan perubahan dalam penyebaran integrasi budidaya itik dengan tanaman.

Kesinambungan penularan AI hanya terjadi pada populasi spesies unggas domestik yang padat seperti misalnya pasar becek, perusahaan komersial besar dan flok itik yang bebas berkeliaran (Gilbert et al, 2006). Kondisi ini dapat menjadi berlebihan sebagai dampak perubahan lingkungan termasuk perubahan iklim jangka panjang, berkaitan dengan pola curah hujan dan perubahan suhu yang mempengaruhi persistensi virus AI di lingkungan, ekologi induk semang dan lain sebagainya (Olsen et al., 2006; Kapan et al., 2006).

Anthrax

Anthrax adalah suatu penyakit menular akut yang menyerang kebanyakan hewan-hewan berdarah panas maupun manusia dengan penyebaran seluruh dunia. Organisme penyebab adalah bakteri Bacillus anthracis, mampu membentuk spora yang tetap infektif selama 10-20 tahun di padang rumput. Temperatur dan kelembaban relatif serta kelembaban tanah semuanya mempengaruhi spora anthrax, bahkan curah hujan yang tinggi dapat membongkar spora anthrax yang sedang tidur (dormant). Wabah anthrax seringkali berkaitan bergantian antara curah hujan tinggi dan kekeringan, serta suhu tinggi (Parker et al., 2002).

Blackleg

Blackleg adalah suatu penyakit clostridial menular akut yang kebanyakan menyerang sapi muda dan juga mampu membentuk spora. Wabah penyakit selalu dikaitkan dengan area dengan kelembaban tinggi dan terjadi selama musim hujan (Hall, 1988).

Dampak Perubahan Iklim

Konsekuensi dari perubahan iklim baik dalam bentuk pemanasan global maupun bentuk-bentuk perubahan iklim lainnya akan bervariasi bergantung kepada cara-cara bagaimana rancangan lingkungan geografis bereaksi terhadap kenaikan ataupun penurunan temperatur, kelembaban, curah hujan, lapisan salju dan lain sebagainya. Mengingat pengaruh perubahan tersebut terhadap sistem biologik, maka akan selalu terjadi dampak terhadap penularan agen patogen.

Dengan demikian, perubahan temperatur dan kelembaban akan berdampak kepada penyebaran dan ekologi penyakit hewan menular, sedangkan frekuensi dan perluasan dampak dari wabah penyakit akan berubah sesuai dengan cuaca, seperti misalnya banjir dan kekeringan.

Dampak biologik perubahan iklim baik terhadap agen patogen maupun vektornya dapat dikategorikan sebagai berikut:
- Dampak terhadap dinamika populasi, siklus pertumbuhan dan penularan penyakit;
- Dampak terhadap luasan penyebaran dan ekologik; serta
- Dampak terhadap waktu kejadian dan siklus hidup (de La Rocgue et al. 2008).

Temperatur berdampak secara langsung terhadap ekologi, siklus pertumbuhan, kelakuan dan daya tahan vektor arthropoda, sehingga mempengaruhi pula dinamika populasi dan penularan penyakit (Rogers, 2006).

Musim merupakan komponen penting dari iklim. Di banyak wilayah beriklim sedang dimana temperatur musim panas hampir sama dengan tropis, terdapat perbedaan yang nyata dengan temperatur di musim dingin. Agen patogen yang ditularkan melalui nyamuk tropis akan dapat bertahan dalam temperatur musim yang sesuai, akan tetapi penyakit segera hilang begitu musim dingin tiba. Begitu juga profil curah hujan musiman berdampak nyata terhadap siklus hidup agen patogen (de La Rocgue et al. 2008).

Meskipun Indonesia belum banyak memiliki data yang komprehensif tentang dampak perubahan iklim terhadap penyakit hewan, tetapi sudah saatnya pemerintah, perguruan tinggi, badan penelitian serta lembaga swadaya masyarakat untuk secara bersama-sama mulai mempelajari, memantau, mengumpulkan data dan menyusun strategi nasional yang efektif dalam mengatasi dampak perubahan iklim terhadap penyakit hewan serta perlunya pemahaman baru tentang keterkaitan yang semakin berkembang antara penyakit hewan dan ekosistemnya serta perlunya isu kebijakan yang adaptif terhadap keterkaitan tersebut.

Langkah ke depan

Mengingat interaksi berbagai variabel antara penyakit yang baru muncul dan yang muncul kembali, perubahan iklim, perubahan lingkungan dan produksi ternak berlangsung cepat mengikuti skala waktu dan ruang, maka dampaknya juga akan sangat bervariasi. Dunia menyadari bahwa dampak perubahan iklim secara global tidak akan menyebar secara merata (Stern, 2006). Disamping itu, hubungan antar variabel akan terus berubah dan bersifat konstan yang membuat kecepatan, penyebaran dan skala perluasan penyakit hewan yang baru muncul dan yang muncul kembali sulit diprediksi secara akurat (Black and Nunn, 2009).

Secara umum diperlukan peningkatan pemahaman tentang kompleksitas sistem dan peningkatan kepentingan pola fikir dan rencana jangka panjang tentang bagaimana menangani dampak perubahan iklim terhadap penyakit hewan bagi negara berkembang seperti Indonesia. Keperluan ini menunjukkan bahwa tinjauan atau pendekatan ke masa depan harus dicakup sepenuhnya oleh para pengambil kebijakan di bidang kesehatan hewan. Pendekatan semacam ini akan membantu pemerintah Indonesia untuk membangun kerangka dan sistem kebijakan yang dirancang untuk mengantisipasi, mencegah dan mengendalikan penyakit-penyakit yang baru muncul dan yang muncul kembali.

Indonesia perlu membangun kemitraan dan kerjasama di tingkat global dengan mengadopsi kerangka ‘one world, one health’ yang mendapatkan dukungan dari organisasi-organisasi internasional seperti Office International des Epizooties (OIE), Food and Agriculture Organisation (FAO), World Health Organisation (WHO), United Nations Systems for Influenza Coordination (UNSIC), United Nations Children’s Fund (UNICEF) dan World Bank (Bank Dunia).

Sebagai bagian dari peningkatan pemahaman dari sistem perubahan eksosistem yang lebih besar dan jangka waktu yang diperlukan, maka pengambil kebijakan di bidang kesehatan hewan perlu memperluas jejaring dengan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dan organisasi internasional non-pemerintah seperti Wildlife Conservation Society (WCS) dan Consortium for Conservation Medicine.

Kemitraan dan kerjasama tersebut sangat esensial untuk membangun pandangan yang lebih logis mengenai bentangan dampak perubahan iklim terhadap penyakit hewan ke depan dan membantu merencanakan berbagai opsi kebijakan strategis tentang apa yang harus diperbuat dan kemudian bagaimana mengimplementasikannya.

Referensi:
Alten, B., Caglar, S.S., Kaynas, S., Simsek, F.M. et al. (2003). Evaluation of protective efficacy of K-OTAB impregnated bednets for cutaneous leishmaniasis control in southeast Anatolia – Turkey. J. Vector Ecology, June, 53–64.

Ashford, R.W. (1997). Contrasting Ecology of the Vectors of Kala Azar. 2nd International Congress of Vector Ecology. Orlando, Florida. 19-24 October 1997.

Baylis, M., Mellor, P.S. and Meiswinkel, R. (1999). Horse sickness and El Nino Southern Oscillation (ENSO) in South Africa. Nature 397: 574.

Baylis, M. and Githeko, A.K. (2006). The Effects of Climate Change on Infectious Diseases of Animals. Report within the project ‘Infectious Diseases: preparing for the future’. Foresight website (www.foresight.gov.uk).

Black, P. and Nunn, M. (2009). Impact of Climate Change and Environmental Changes on Emerging and Re-emerging Animal Disease and Animal Production. 77th General Session International Committee World Organization for Animal Health (OIE), Paris, 24-29 May 2009.

Buth, J.L., Brust, R.A. and Ellis, R.A. (1990). Development time, oviposition activity and onset of diapauses in Culex tarsalis, Culex restuans and Culiseta inornata in southern Manitoba. J. Am. Mosq. Control Assoc. 6(1): 55–63.

Davis, F.G., Linthicum, K.J. and James, A.D. (1985). Rainfall and Epizootic Rift Valley Fever. Bulletin of the World Health Organization 63: 941–943.

de La Rocque, S., Rioux, J.A. and Slingenbergh, J. (2008). Climate Change: effects on animal disease systems and implications for surveillance and control. Rev. sci. tech. Off. int. Epiz., 27(2): 339–354.

Dohm, D.J., O’Guinn, M.L. and Turell, M.J. (2002). Effect of environmental temperature on the ability of Culex pipiens (Diptera: Culicidae) to transmit West Nile virus. J. Med. Entomol. 39(1): 221–225.

Forman, S., Hungerford, N., Yamakawa, M., Yanase, T., Tsai, H.-J., Joo, Y.-S, Yang, D.-K. and Nha, J.-J. (2008). Climate change impacts and risks for animal health in Asia. Rev. sci. tech. Off. int. Epiz., 27(2): 581–597.

Gilbert, M., Chaitaweesub, P., Parakamawongsa, J., Premashthira, S., Tiensin, T., Kalpravidh, W. et al (2006). Free-grazing ducks and highly pathogenic avian influenza, Thailand. Emerg. Inf. Dis. 2: 227–234.

Gilbert, M., Slingenbergh, J. and Xiao, X. (2008). Climate change and avian influenza. Rev. Sci. Tech. Off. int. Epiz., 27(2): 459–466.

Hall, H.T.B. (1988). Diseases and Parasites of Livestock in the Tropics. Longman Scientific and Technical: Harlow, Essex.

Hume, M. and Sheerd, N. (1999). Climate Change Scenarios for Indonesia. Climatic Research Unit, Norwich, UK, 6pp.

Intergovernmental Panel on Climate Change (2001). Climate Change 2001: The Scientific Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge University Press: Cambridge, UK.

Jupp, P.G., McIntosh, B.M. and Blackburn, N.K. (1986). Experimental assessment of the vector competence of Culex neavei Theobald with West Nile and Sindbis viruses in South Africa. Trans. R. Soc. Trop. Med. Hyg. 80(2): 226–230.

Kapan, D.D., Bennett, S.N., Ellis, B., Fox, J., Lewis, N.D., Spencer, J.H., Saksena, S. and Wilcox, B.A. (2006). Avian Influenza (H5N1) and the Evolutionary and Social Ecology of Infectious Disease Emergence. EcoHealth Journal Consortium. DOI: 10.1007/s10393-006-0044-6.

Linthicum, K.J., Anyamba, A., Tucker, C.J., Kelley, P.W., Myers, M.F. and Peters, C.J. (1999). Climate and satellite indicators to forecast Rift Valley fever epidemics in Kenya. Science 285: 397–400.

Linthicum, K.J., Bailey, C.L., Davies, F.G. and Tucker, C.J. (1987). Detection of Rift Valley fever Viral Activity in Kenya by Satellite Remote-Sensing Imagery. Science 235: 1656–1659.

Little, P.D., Mahmoud, H. and Coppock, D.L. (2001). When deserts flood: risk management and climate processes among east African pastoralists. Climate Research 19: 149–159.

Madder, D.J., Surgeoner, G.A. and Helson, B.V. (1983). Number of generations, egg production, and developmental time of Culex pipiens and Culex restauns (Diptera: Culicidae) in Southern Ontario. J. Med. Entomol. 43(2): 34–48.

McIntosh, B.M., Jupp, P.G., Dos Santos I. et al. (1976). Epidemics of West Nile and Sindbis viruses in South Africa with Culex univittatus Theobald as vector. S. Afr. J. Sci. 72: 295–300.

Mellor, P.S., Boorman, J. and Baylis, M. (2000). Culicoides biting midges: their role as arbovirus vectors. Annual Review of Entomology 45: 307–340.

Olsen, B., Munster, V.J., Wallensten, A., Waldenstorm, J., Osterhaus, A.D. and Fouchier, R.A. (2006). Global patterns of influenza A virus in wild birds. Science 5772: 384–388.

Parker, R., Mathis, C., Looper, M. and Sawyer, J. (2002). Hotspots in climate change and human health. British Medical Journal 325: 1094–1098.

Patz, J.A., Olson, S.H., Uejio, C.K. and Gibbs, H.K. (2008). Disease Emergence from Global Climate and Land Use Change. Med. Clin. N. Am. 92: 1473–1491.

Platonov, A.E., Shipulin, G.A., Shipulina, O.Y. et al. (2001). Outbreak of West Nile virus infection, Volvogrod Region, Russia, 1999. Emerg. Infect. Dis. 7(1): 128–132.

Perry, B.D., Randolph T.F., McDermott, J.J., Sones, K.R. and Thornton, P.K. (2002). Investing in Animal Health Research to Alleviate Poverty. ILRI (International Livestock Research Institute): Nairobi, Kenya.

Purse, B.V., Mellor, P.S., Rogers, D.J., Samuel, A.R., Mertens, P.P.C. and Baylis, M. (2005). Climate change and the recent emergence of bluetongue in Europe. Nature Reviews Microbiology 3: 171–181.

Rogers, D.J. (2006). Models for vectors and vector-borne diseases. Adv. Parasitol., 62: 1–35.

Rueda, L.M., Patel, K.J., Axtell, R.C. et al. Temperature-dependent development and survival rates of Culex quinquefasciatus and Aedes aegypti (Diptera: Culicidae). J. Med. Entomol. 27(5): 892–898.

Sbodova, M., Sadlova, J., Chang, K.P. et al. (2003). Short Report: Distribution and Feeding Preference of the Sandflies Phlebotomus sergenti and P. papatasi in a cutaneous leishmaniasis focus in Sanhurfa, Turkey. Am. J. Trop. Med. Hyg. 68: 6–9.

Steinfeld, H., Gerber, P., Wassenaar T., Castel, V., Rosales, M. and de Haan, C. (2006). Livestock’s long shadow: environmental issues and options. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome.

Stern, N. (2006). Stern Review: The Economics of Climate Change. Available at: http://www.occ.gov.uk/activities/stern.htm.

Toprak, S. (2003). Bio-ecological studies on sandfly species (Diptera: Phlebotomidae) and cutaneous leishmaniasis vectors in the vicinity of Sanhurfa. PhD thesis. Hacettepe University, Ankara, 185 pp.

Turell, M.J., O’Guinn, M.L., Dohm, D.J. et al. (2001). Vector competence of North American mosquitoes (Diptera: Culicidae) for West Nile virus. J. Med. Entomol. 38(2): 130–134.

[1] Perubahan iklim adalah iklim yang berubah yang berkontribusi secara langsung maupun tidak langsung terhadap kegiatan manusia yang dapat mempengaruhi komposisi atmosfir global dan merupakan bagian dari keragaman iklim alamiah yang diamati selama periode tertentu.

[2] Perubahan lingkungan adalah suatu perubahan sistem fisik dan biologik, baik disebabkan secara alamiah atau akibat kegiatan manusia. Ini mencakup perubahan dalam pemanfaatan tanah (misalnya deforestasi, pembersihan tanah, konversi lahan basah, degradasi tanah), kualitas dan kuantitas air (misalnya penyediaan air yang berlebihan dan polutif), dan kualitas udara (misalnya polusi udara), tetapi secara eksplisit tidak termasuk perubahan iklim.


0 Komentar: