Minggu, 07 Maret 2010

Menuju Kesehatan Hewan Indonesia yang Tangguh melalui Peran Serta Lembaga Swadaya Masyarakat Bidang Veteriner

Peringatan Berdirinya Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS). Seminar Sehari Kesehatan Hewan dan Keamanan Pangan, Jakarta, 23 Februari 2006 dengan tema: "MENUJU KESEHATAN HEWAN INDONESIA YANG TANGGUH MELALUI PERAN SERTA LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT BIDANG VETERINER"

Oleh: Tri Satya Putri Naipospos

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah suatu fenomena sosial, budaya, ekonomi, politik yang tidak bisa dipisahkan dari perkembangan suatu bangsa. Dalam sistem demokrasi, paham ‘non-governmentalism’ telah menjadi bagian dari sistem pemerintah secara utuh, artinya dalam setiap pengambilan keputusan non-pemerintah harus dilibatkan. [1]

Dari kiri ke kanan: Prof Dr  F.G. Winarno (President, International Dairy Federation), Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD (CIVAS) dan Dr Drh Soehadji (mantan Dirjen Peternakan, Deptan)


Dorongan untuk membentuk LSM yang menjadi mitra pemerintah di bidang veteriner [1] dipicu oleh situasi dan kondisi kesehatan hewan di Indonesia yang semakin menghadapi banyak tantangan dan peluang, terutama dengan timbulnya berbagai ancaman penyakit hewan menular yang dapat menular ke manusia baik yang baru muncul maupun muncul kembali (emerging and re-emerging zoonosis) dan berbagai masalah keamanan pangan yang berasal dari hewan.

Ciri seperti umumnya LSM yang berjuang dari bawah adalah tanpa papan nama dan bahkan tanpa kantor. Meskipun proses berdirinya suatu LSM di suatu tempat atau suatu daerah memang memiliki latar belakang berbeda-beda, yang pasti LSM bidang veteriner muncul sebagai hasil sebuah proses pergulatan dengan persoalan aktual tertentu dan kehendak mengabdi pada kepentingan yang lebih luas.

Peran, fungsi, hak dan kewajiban LSM bidang veteriner tidak hanya perlu diletakkan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, akan tetapi juga dalam konteks hubungan internasional dan situasi global. Kesadaran bahwa LSM dilandasi oleh satu misi positif, mengembangkan kemandirian dan membangun keswadayaan, dan tidak semata-mata "bukan pemerintah".

Seperti LSM pada umumnya, maka LSM bidang veteriner juga mempunyai ciri-ciri yang relevan untuk diterapkan sebagai berikut: (1) formal, artinya secara organisasi berlandaskan hukum dengan seperangkat aturan dan prosedur; (2) swasta, artinya kelembagaan yang berada di luar atau terpisah dari pemerintah; (3) tidak berorientasi semata-mata keuntungan (profit), yaitu tidak mengedepankan keuntungan berlebihan bagi pengurus maupun pelaksana; (4) menjalankan organisasinya sendiri (self-governing), yaitu tidak dikontrol oleh pihak luar; (5) sukarela (voluntary), yaitu menjalankan derajat kesukarelaan tertentu. [2]

Di banyak negara peran LSM bidang veteriner mendapat tempat di tingkat nasional dan dunia, bahkan beberapa LSM terkemuka diakreditasi untuk dapat mengikuti berbagai kegiatan pemerintah, dengan semakin banyaknya diperlukan pelayanan dasar kesehatan hewan, surveilans dan epidemiologi partisipatif dan upaya penyelamatan satwa, terutama di negara-negara Afrika dan Asia.

Reformasi Pelayanan Kesehatan Hewan

Dampak dari keterbatasan anggaran dan luasnya tanggung jawab pelayanan yang harus menjadi beban Dinas Peternakan atau dinas yang membidangi fungsi kesehatan hewan, menyebabkan pemerintah seringkali tidak dapat memenuhi kewajibannya dan berhadapan dengan pendapat masyarakat bahwa mereka tidak efektif dan tidak efisien. [3, 4]

Tuntutan perlunya dilaksanakan privatisasi terhadap berbagai peran pemerintah dalam pelayanan kesehatan hewan dianggap dapat mengurangi kesulitan anggaran pemerintah dan sekaligus memperbaiki efisiensi pelayanan kesehatan hewan sesuai permintaan pasar. [5, 6]

Upaya untuk mereformasi pelayanan kesehatan hewan hanya berlaku untuk yang sifatnya “private good” dan mendelegasikan penyediaannya kepada organisasi non-pemerintah daripada pemerintah. Suatu pemikiran yang berkembang belakangan adalah bahwa peran potensial dapat dimainkan oleh organisasi non-pemerintah yang secara kolektif sering disebut sebagai “sektor ketiga” (third sector)[2] dan termasuk didalamnya asosiasi produsen, LSM dan koperasi yang mampu memberikan pelayanan kesehatan hewan yang sifatnya “public good”. [7]

Keinginan untuk memberikan peran yang lebih besar kepada swasta tentunya disertai dengan memperhatikan pelayanan mana yang harus menjadi tanggung jawab pemerintah dan pelayanan mana yang kurang penting untuk disediakan oleh pemerintah. Dari hasil survei terhadap para pejabat otoritas veteriner di beberapa negara ditunjukkan bahwa dengan menggunakan konsep ekonomi dapat dikategorikan pelayanan mana yang lebih cocok untuk diprivatisasi. Besarnya tanggung jawab pemerintah diukur dengan skala 1 sampai 5 mulai dari tidak ada tanggung jawab pemerintah sama sekali sampai kepada pemerintah memberikan prioritas tinggi. Berikut ini digambarkan hasil survei tersebut sebagaimana terlihat dalam Gambar 1.

Dari hasil survei tersebut, dapat diperoleh bahwa kategori menurut para pejabat otoritas veteriner tersebut berkorelasi secara baik dengan landasan teori mengenai pelayanan kesehatan hewan, terutama dikaitkan dengan isu-isu public and private goods, skala ekonomi (economies of scale), moral hazards dan externalities.

Kesepahaman yang luas antar negara mengenai prioritas tinggi yang harus diberikan pemerintah adalah menyangkut aspek sanitary pelayanan kesehatan hewan, termasuk pengendalian penyakit dan regulasi obat, serta promosi perdagangan internasional yang aman, kesemuanya dalam istilah ekonomi diklasifikasikan sebagai public goods.

Prioritas sedang dari kacamata pemerintah adalah penyuluhan dan pelatihan, penelitian dan promosi perdagangan domestik, yang memiliki karakteristik baik public atau private good dan terletak dalam “grey area”. Sedangkan pelayanan kesehatan hewan yang mendapatkan prioritas rendah dari pemerintah adalah produksi obat dan vaksin dan pelayanan therapeutik, umumnya dianggap sebagai private goods. [8]

Gambar 1: Tanggung jawab pemerintah dalam kesehatan hewan
Skala: 0 = tidak ada tanggung jawab pemerintah, 5 = prioritas tinggi



Gagasan LSM Veteriner

Gagasan mendirikan suatu LSM di bidang veteriner ditangkap dari keinginan mereformasi pelayanan kesehatan hewan yang berubah secara perlahan seiring dengan penguatan kelembagaan swasta. Orientasi LSM yang dibangun seharusnya dapat dilihat dari: (1) peran; (2) visi organisasi; (3) misi dan tujuan; (4) bidang kegiatan; (5) pandangan tentang pelayanan kesehatan hewan; (6) hubungannya dengan kelompok sasaran; dan (7) hubungannya dengan pemerintah.

Kehadiran LSM dimanapun di dunia maupun di bidang apapun termasuk bidang veteriner, baik yang bersifat pembangunan maupun gerakan, tetap diperlukan. Dua alasan dapat dikemukakan mengenai perlunya suatu LSM bidang veteriner.

Pertama, meningkatnya kebutuhan pelayanan dasar kesehatan hewan maupun kegiatan pengendalian wabah penyakit hewan menular, terutama di daerah-daerah dengan infrastruktur dan tenaga kesehatan hewan yang minim. Sebagai konsekuensi pelaksanaan kebijakan penyesuaian struktural yang timbul dalam era otonomi daerah telah mengakibatkan terjadinya pengurangan jumlah dokter hewan pemerintah di propinsi/kabupaten/kota, ketidak jelasan posisi otoritas veteriner di propinsi/kabupaten/kota, dan terkendalanya sistem pelaporan dan informasi penyakit hewan.

Kedua, meningkatnya peran pengawasan keamanan pangan asal hewan dan bahan asal hewan terutama untuk kepentingan promosi perdagangan domestik dan internasional telah menyebabkan kurangnya pemahaman mengenai aspek kesehatan masyarakat veteriner oleh pemerintah daerah dan para stakeholder yang mempunyai implikasi sangat luas terhadap kesehatan publik dan perlindungan konsumen.

Sebagaimana halnya LSM di bidang lainnya, LSM bidang veteriner perlu secara periodik mengadakan evaluasi dan reposisi dari dalam secara terus menerus. Untuk memperkuat kapasitas LSM, maka spesialisasi bidang veteriner yang dikuasai harus beragam dan dengan keahlian (kompetensi) yang memadai dan cukup diakui oleh pihak-pihak lain, baik pemerintah maupun badan asing. Dengan demikian pemberdayaan anggota maupun kelompok sasaran menjadi satu hal yang tidak bisa dilepaskan dari gagasan berdirinya suatu LSM.

LSM bidang veteriner sebagai wadah dimana orang-orang didalamnya memiliki profesi yang sama meskipun dengan generasi yang berbeda dan dengan berbagai macam karakter, dapat menjadi suatu kekuatan sepanjang masing-masing individu berpegang pada visi dan misi organisasi dan bahkan mempunyai idealisme yang sama. Dengan keberadaan LSM bidang veteriner, diharapkan mampu membuat sikap ketika suatu kebijakan pemerintah di bidang veteriner dianggap tidak sejalan dengan kehendak rakyat atau tidak berpihak kepada rakyat.

Dalam kehidupan LSM seterusnya, meskipun anggotanya cukup eksklusif yaitu orang-orang yang berkecimpung di bidang kesehatan hewan, akan tetapi justru mendapat penekanan dalam hubungan internal maupun eksternal organisasi adalah membuka diri dengan siapapun dan melakukan kerjasama tanpa membeda-bedakan kalangan, aliran maupun ideologi. Sikap tersebut adalah sesuatu kewajiban yang harus dijalani oleh LSM yang berdiri pada semua golongan dan berpegang teguh pada cita-cita luhur.

Peran Serta LSM Veteriner

Sejak tahun 2001, perkembangan situasi kesehatan hewan di Indonesia mengalami banyak perubahan dan kendala terutama setelah diterapkan desentralisasi pelayanan kesehatan hewan. Permasalahan penyakit hewan menular di dalam negeri difokuskan kepada beberapa penyakit-penyakit strategis yang menimbulkan kerugian ekonomi cukup besar dan terutama yang menular ke manusia (zoonosis) seperti rabies, brucellosis, anthrax dan avian influenza (H5N1).

Tingkat kewaspadaan yang perlu diwujudkan terutama menghadapi ancaman penyakit hewan eksotik seperti penyakit mulut dan kuku (PMK), penyakit sapi gila (Bovine spongiform encephalopathy), Nipah virus, rinderpest, dlsbnya ditentukan oleh sejauh mana sistem tanggap darurat (emergency response system) berjalan. Kapasitas pemerintah didukung oleh swasta dalam mempersiapkan sistem ini menjadi sangat kritikal dengan timbulnya berbagai ancaman penyakit zoonosis dan salah satunya yang berjangkit di Indonesia saat ini dan mempunyai potensi untuk menjadi pandemi influenza yaitu Highly Pathogenic Avian Influenza H5N1.

Program pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular yang berhasil menuntaskan masalah kesehatan hewan memerlukan suatu keadaan dimana sosio-politik stabil, kepemimpinan yang efektif dan tegas, kelembagaan yang terstruktur dan mempunyai jalur komando dan koordinasi yang jelas, semua ternak dapat diakses oleh petugas kesehatan hewan, sumberdaya untuk mensuplai dan menyalurkan vaksin cukup memadai, kesinambungan sistem surveilans yang efektif untuk mendeteksi kasus dan gejala awal, penyediaan tenaga dan sumberdaya kesehatan hewan yang optimal untuk menjalankan strategi pengendalian penyakit dan dalam situasi wabah.

Begitu juga dalam peran kesehatan masyarakat veteriner, ada beberapa masalah dan tantangan yang harus mendapatkan perhatian, seperti: rendahnya kesadaran terhadap isu keamanan pangan dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen, tidak terintegrasinya keamanan pangan ke dalam sistem pelayanan dasar kesehatan hewan, kurang memadainya informasi dan kapasitas diagnosa terhadap luasnya permasalahan kontaminasi pangan asal hewan, kurang memadainya legislasi tentang pangan asal hewan, dan kurangnya evaluasi memadai terhadap kegiatan keamanan pangan asal hewan.

Struktur pelayanan kesehatan hewan dapat dibagi menjadi lima komponen utama yaitu: (1) pelayanan kuratif; (2) program pencegahan dan peraturan pelarangan; (3) suplai farmasetikal; (4) kesehatan masyarakat veteriner; (5) penyuluhan/pendidikan; dan (6) penelitian dan pengembangan (lihat Gambar 2).

Gambar 2: Komponen pelayanan kesehatan hewan (adaptasi dari Ahuja et al., 2000)



Aplikasi teori ekonomi untuk mengarahkan proses privatisasi sistem kesehatan hewan bervariasi dalam kaitan dengan sejumlah faktor, dan proses privatisasi itu sendiri tidak dapat diterapkan dengan cara yang homogen. Faktor-faktor yang berpengaruh seperti dalam konteks fisik, politik dan institusional perlu diperhitungkan. Tidak ada standar model yang aplikatif untuk proses privatisasi. [8]

Beberapa kegiatan yang diklasifikasikan sebagai private goods, seperti penyuluhan, penelitian dan pelayanan dasar kesehatan hewan merupakan sesuatu yang dapat dikerjakan oleh LSM atau bersama-sama dengan pemerintah maupun pihak lain. Pembiayaan dapat dilakukan sendiri atau mencari sponsor dari organisasi internasional maupun nasional atau pembiayaan bersama (co-financing).

LSM bidang veteriner dapat berpartisipasi dan mempunyai komitmen dalam pendekatan yang berorientasi kepada masyarakat (people-oriented approaches) dalam upaya membangun pelayanan kesehatan hewan yang berpihak kepada rakyat miskin (pro-poor veterinary services). Kecenderungan LSM untuk mengadopsi pendekatan yang lebih bersifat partisipatif (participatory approach) sangat membantu dalam menyelesaikan permasalahan yang ada di lapangan, oleh karena dapat disesuaikan dengan orientasi pelanggan (client-oriented approach).

Tantangan dan peluang bidang veteriner yang bersama-sama dihadapi pemerintah, swasta dan masyarakat (dalam hal ini dapat diperankan oleh LSM) terutama di negara-negara berkembang selalu berubah seiring dengan perubahan lingkungan kebijakan, kelembagaan dan komersial. Tantangan dan peluang akan semakin mengikuti perubahan tersebut, oleh karena dipengaruhi oleh skenario kebijakan masa depan dan proyeksi permintaan, perdagangan, dan perubahan struktural rantai komoditi produk asal hewan. Dengan demikian diperlukan proses adaptasi yang berkesinambungan dan bahkan diperkuat dalam operasi, anggaran dan manajemen kesehatan hewan. [9]

Berikut ini diuraikan bagaimana LSM bidang veteriner harus selalu dinamis sejalan dengan perubahan tersebut diatas dengan mengikuti kecenderungan sebagai berikut:

1.Perubahan kebijakan dan prioritas (changing policies and priorities) dari pengambil keputusan di tingkat nasional mengenai peran pemerintah dan swasta, telah mampu mengurangi anggaran dan banyaknya kegiatan pelayanan kesehatan hewan yang dahulu secara tradisionil dijalankan oleh pemerintah, sehingga menimbulkan tekanan bagi para pengambil keputusan untuk memfokuskan diri hanya pada kegiatan pelayanan kesehatan hewan yang benar-benar dapat dilakukan dengan baik oleh pemerintah.

2. Pengurangan kemiskinan (poverty reduction) yang digunakan sebagai salah satu kriteria utama yang menentukan dalam alokasi anggaran pembangunan dan bantuan luar negeri, sehingga memiliki implikasi yang besar dalam menentukan target pelanggan utama (main target clientele) pelayanan kesehatan hewan.

3. Pertumbuhan penduduk, peningkatan pendapatan, dan urbanisasi (population growth, increasing income and urbanization) telah meningkatkan permintaan pasar terhadap produk asal hewan dan perubahan struktural seluruh mata rantai komoditi ternak, sehingga implikasinya sangat nyata terhadap definisi dan pengawasan standar keamanan pangan asal hewan.

4. Globalisasi, peningkatan perdagangan dan lalu lintas (globalization, increasing trade and travel) telah meningkatkan risiko penularan penyakit antar negara dan antar kontinen.

Sepanjang dekade terakhir, model pemberdayaan masyarakat (community-based models) telah mendapatkan perhatian cukup besar dan penyediaan pelayanan semacam ini umumnya banyak disediakan oleh LSM, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama dengan pemerintah. Jejaring antar dokter hewan swasta, paramedis veteriner dan para-profesional (tenaga kesehatan hewan berbasis masyarakat) akan menjadi potensi yang luar biasa dalam merubah secara drastis kelemahan-kelemahan dalam pelayanan kesehatan hewan yang pada umumnya kompleks, memiliki banyak tujuan (multi-tasks), dan banyak pihak yang harus dilayani (multi stakeholders).

Penutup

Samuel Huntington dalam bukunya “The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century”, menyatakan bahwa sejak akhir abad ke dua puluh telah terjadi ekspansi demokratik secara global dengan menyebarnya tuntutan populer akan kebebasan politik, representasi, partisipasi, dan akuntabilitas. Hal ini mendorong munculnya teori "masyarakat sipil" (civil society) dan "gerakan sosial" (social movement) dimana fenomena LSM menjadi sesuatu yang diperhitungkan.

Berdirinya suatu LSM yang mengkhususkan diri dalam bidang veteriner tentunya tetap tidak bisa meninggalkan dimensi kesukarelaan (voluntary), yang terletak di wilayah yang merupakan irisan dari dunia birokratik dengan dunia swasta. Akan tetapi, dalam upaya mendekatkan pelayanan kesehatan hewan, dan pengawasan keamanan pangan ke masyarakat, maka LSM dapat berperan sebagai agen-agen utama dalam hubungan negara dan masyarakat dan menjadi suatu "kekuatan sosial" (social forces) tertentu menuju kesehatan hewan nasional yang tangguh.

Dengan demikian LSM bidang veteriner adalah salah satu kekuatan sosial tersebut, yang lahir karena respons yang spontan dari berbagai kelompok di masyarakat yang peduli dengan adanya berbagai permasalahan di bidang kesehatan hewan dan keamanan pangan dan menekan kemungkinan timbulnya stagnasi akibat kekurangpercayaan masyarakat terhadap upaya pemerintah dalam menjalankan tindakan-tindakan darurat masal yang diperlukan dalam pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular yang memiliki dampak politik, ekonomi, sosial, dan budaya, maupun juga lintas sektoral dan lintas negara.

Referensi:
1. Bambang Bider, Edi Petebang (2005). Berdaya Lewat Ornop. Kalimantan Utama.
2. Bonnie Setiawan (2003). LSM sebagai Kekuatan Sosial Baru. Direktur Institute for Global Justice (IGJ), Jakarta.
3. C. de Haan and N. J. Nissen (1985). Animal Health Services in Sub-Saharan African: Alternative Approaches. World Bank Technical Paper 44. The World Bank, Washington DC.
4. CTA (1987). Primary Animal Health Care in Africa. Synopsis of a Seminar Held at Blantyre, 25-28 September 1985.
5. Leonard, D.K. (1985). African Practice and the Theory of User Fees. Agricultural Administration 18, 137-157.
6. C. de Haan and S. Bekure (1991). Animal Health in Sub-Saharan Africa: Initial Experiences with Alternative Approaches. World Bank Technical Paper 134. The World Bank, Washington DC.
7. Ashley, S.D., S.J. Holden, and P.B.S. Bazeley (1996). The Changing Role of Veterinary Services: A Report of a Survey of Chief Veterinary Officer’s Opinions. Livestock in Development. A Report to the OIE April 1996.
8. Anna Riviere-Cinnamond (2004). A Public Choice Approach to the Economic Analysis of Animal Healthcare Systems. Pro-Poor Livestock Policy (PPLPI) Initiative Working Paper No. 11.
9. C. de Haan (2004). Introduction: the provision of animal health services in a changing world. Rev. sci. tech. Off. int. Epiz. 23(1), 15-19.

[1] Sebuah cita-cita kadang-kadang dianggap sebagai mimpi, akan tetapi seharusnya cita-cita dapat dijadikan perwujudan dari suatu idealisme. Idealisme yang disinergikan oleh se gelintir dokter hewan dan juga didorong oleh keinginan untuk turut berperan serta dalam menyumbangkan keahlian dan tenaganya bagi pembangunan kesehatan hewan dan keamanan pangan di negara Indonesia tercinta, sehingga terbentuklah suatu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bidang veteriner dengan nama “Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies” (CIVAS).

[2] LSM telah menjadi sektor ketiga, yaitu sektor publik yang mengedepankan kepedulian sosial atau personal. Sektor pertama adalah sektor negara atau pemerintah yang berkewajiban menjamin pelayanan bagi warga negaranya dan menyediakan kebutuhan sosial dasar, sedangkan sektor kedua adalah sektor swasta yang terdiri dari kalangan bisnis dan industrial yang bertujuan mencari penghidupan dan menciptakan kekayaan. Sebagai sektor ketiga, maka LSM beroperasi di luar pemerintah dan pasar.

0 Komentar: