Minggu, 07 Maret 2010

Risiko Impor dari Negara Terjangkit Penyakit Sapi Gila

K O M P A S, SENIN, 18 SEPTEMBER 2006 (HALAMAN 7) – OPINI

O l e h  T R I  S A T Y A  P U T R I  N A I P O S P O S

Prinsip kehati-hatian (precautionary principles) dalam menentukan kebijakan importasi hewan maupun produk hewan harus selalu dikedepankan, terutama apabila ada kaitannya dengan penyakit hewan yang memiliki dampak merugikan terhadap kehidupan dan kesehatan masyarakat. Implementasi kebijakan tersebut merupakan wujud mekanisme pertahanan hayati (biodefense mechanism) suatu negara.

Sesuai dengan kaidah internasional, analisis kebijakan importasi hewan dan produk hewan yang dibuat suatu negara pengimpor akan sangat bergantung pada sejauh mana negara tersebut mempercayai kredibilitas negara pengekspor dalam melaksanakan sistem kesehatan hewan, termasuk pengawasan rantai pangan dan pakan (food and feed chain). Begitu juga sejauh mana negara pengimpor tersebut meyakini kapasitas internalnya untuk mampu melakukan pengawasan terhadap mata rantai distribusi dan konsumsi.

Rencana Pemerintah Indonesia untuk melakukan importasi daging beku tanpa tulang (frozen deboned meat) dan tepung daging-dan-tulang (meat-and-bone meal/MBM) dari negara yang belum bebas penyakit sapi gila atau Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) sangat terkait dengan tingkat kepercayaan dan kemampuan pemerintah dalam menilai kapasitas negara pengekspor dalam memberikan jaminan keamanan pangan (food safety assurance).

Analisis risiko

Apabila rencana importasi akan dilaksanakan, maka titik berat langkah penanganan BSE terletak pada jaminan keamanan terhadap produk daging dan MBM yang dilaksanakan di negara asal. Untuk mendapatkan jaminan itu, Pemerintah Indonesia harus mampu mengkaji sejauh mana negara asal tersebut memenuhi dan telah melaksanakan semua persyaratan kesehatan hewan terkait dengan BSE yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE).

Upaya yang ditempuh pemerintah dapat dilakukan dengan cara menerapkan metoda analisis risiko (risk analysis) sebagai suatu landasan kebijakan untuk memutuskan aman tidaknya suatu importasi dilakukan.

Tidak kalah pentingnya dari bagian rencana itu adalah mengomunikasikan risiko (risk communication) secara transparan dan berkelanjutan kepada berbagai pihak terkait di masyarakat. Hal ini termasuk juga bagaimana upaya pemerintah dalam melakukan tindakan-tindakan pengawasan pada titik-titik kritis untuk mengurangi risiko (risk management).

Penilaian risiko (risk assessment) BSE dimulai dengan mempelajari seluruh skenario mulai dari pihak produsen di negara asal sampai ke pihak pengguna di negara penerima. Perlu diingat bahwa pemerintah sebagai penentu kebijakan harus mampu menilai setiap risiko yang mungkin terjadi dalam setiap skenario tersebut.

Kunjungan tim on-site review yang dikirim Pemerintah Indonesia ke negara asal merupakan tahap pertama untuk mengevaluasi serta menilai kemungkinan dan kecenderungan skenario masuknya dan berkembangnya agen penyebab BSE ke dalam populasi hewan di negara tersebut.

Sangat penting untuk diketahui skenario di negara asal mulai dari sumber dan umur hewan yang akan dipotong, pengangkutan ke rumah pemotongan hewan, pemeriksaan kesehatan sebelum dan sesudah dipotong (ante dan post mortem), perlakuan sebelum dikemas, sampai saat pengangkutan ke kapal. Begitu daging atau MBM masuk ke Indonesia, maka skenario dari saat tiba di karantina pintu masuk, diangkut ke tempat penyimpanan, dikemas dalam bentuk yang lebih kecil, sampai didistribusikan ke konsumen.

Kategori negara atau zona

OIE melakukan perubahan yang cukup drastis terhadap penggolongan status BSE suatu negara atau zona sejak tahun 2005. Ketentuan OIE yang baru menyatakan bahwa penetapan status negara atau zona atau kompartemen didasarkan atas risiko terhadap BSE, yaitu tergolong negligible risk (risiko dapat diabaikan), atau controlled risk (risiko dapat dikendalikan), atau undetermined risk (risiko tidak dapat ditentukan).

Perlu diingat bahwa perubahan yang justru menjadi jauh lebih ringan ini lebih banyak disebabkan lobi-lobi negara maju, terutama Kanada dan Amerika Serikat, yang mengalami hambatan perdagangan yang sangat memberatkan negaranya akibat dampak timbulnya BSE. Sebelumnya, OIE menggolongkan negara atau zona menjadi free (bebas), provisionally free (bebas dengan persyaratan) atau with a minimal risk (risiko minimal).

Dengan perubahan ini, tidak lagi dikenal istilah negara atau zona bebas BSE, tetapi semua negara harus mengikuti kriteria baru yang ditentukan OIE untuk dapat menetapkan status negaranya. Mengingat sapi baru dapat tertular BSE apabila sapi tersebut mengonsumsi MBM ruminansia, maka dalam kenyataannya sampai dengan saat ini tak ada satu negara pun di dunia yang mengklaim wilayah negaranya (zona) memiliki status yang bebas BSE atau dengan istilah yang baru tergolong negligible risk.

Untuk menilai dan mengevaluasi risiko BSE di negara asal, sebagai acuan dapat dilakukan dengan mengidentifikasi seluruh faktor yang berpotensi untuk memicu terjadinya BSE di negara tersebut, termasuk sejarah kapan dimulainya importasi MBM, hewan hidup, pakan ternak, dan bahan baku ternak. Pengamatan juga perlu dilakukan terhadap kapan dimulainya praktik pemberian MBM ruminansia ke ruminansia dipraktikkan di negara tersebut dan kapan pemberlakuan pelarangan MBM ruminansia ke ruminansia (feed ban) diberlakukan.

Surveilans menjadi kriteria kunci bagi suatu negara untuk menyatakan status BSE-nya, terutama dengan memerhatikan struktur populasi sapi dan besaran masing-masing strata. Suatu kriteria yang harus dicermati juga adalah apakah negara tersebut telah melaksanakan sekurang-kurangnya sejak tujuh tahun yang lalu program peningkatan kesadaran berkelanjutan bagi dokter hewan, peternak, dan para pekerja yang berkecimpung dalam pengangkutan, pemasaran, serta pemotongan ternak sapi. Begitu juga notifikasi wajib sapi dengan gejala mirip BSE dan pemeriksaan wajib terhadap sampel otak serta jaringan lainnya pada laboratorium yang telah terakreditasi.

Faktor risiko

Khusus importasi MBM dari AS perlu dipertimbangkan masak-masak dengan memerhatikan seluruh faktor risiko yang berpotensi membahayakan. Dari dua kasus sapi terjangkit BSE yang lahir di AS (indigenous case) yang terjadi pada tahun 2005 dan 2006, paling tidak menunjukkan negara itu masih berpotensi memiliki kasus BSE baru. Aturan OIE mengatakan bahwa sapi-sapi tersebut harus paling tidak berumur lebih dari 11 tahun agar bisa dianggap cukup aman dalam mempertimbangkan masa inkubasi penyakit BSE terlama yang mencapai 18 tahun.

Kemudian perlu dipelajari secara teliti apakah AS benar-benar telah menerapkan persyaratan OIE yang menetapkan hanya sapi-sapi berumur di bawah 30 bulan diizinkan untuk dipotong di Rumah Pemotongan Hewan, baik yang akan masuk ke rantai pangan maupun ke rantai pakan. Untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat AS sendiri melalui kampanye publik “US Beef Is Safe”, terutama setelah munculnya kasus pertama BSE pada tahun 2004, dapat dikatakan secara pasti bahwa persyaratan yang masuk ke rantai pangan telah dilaksanakan dengan baik.

Akan tetapi, lain halnya dengan rantai pakan, Pemerintah Indonesia harus mampu mendapatkan jaminan dari otoritas veteriner setempat di AS bahwa persyaratan tersebut telah dijalankan bukan hanya berdasarkan sukarela dan imbauan, tetapi melalui regulasi. Ada alasan ekonomi yang masih dapat dimengerti mengapa sisa-sisa dari bagian tubuh sapi di atas umur 30 bulan sedapat mungkin masih ingin dimanfaatkan oleh pabrik pengolah dan pembuat MBM.

Pelarangan bagian-bagian tubuh sapi yang paling berisiko yang disebut specifed risk material (SRM) pada prosedur pemotongan telah diberlakukan sejak tahun 2004 di AS. Dengan penghilangan tersebut, risiko infeksi dapat dikurangi 100 persen, tetapi perlu diingat bahwa pelarangan pemberian pakan MBM ruminansia ke ruminasia (feed ban) baru berlaku sejak tahun 1997. Meskipun OIE mengatakan bahwa pemberlakuan pelarangan paling tidak sekurang-kurangnya sudah dilaksanakan delapan tahun, tetapi masih banyak situasi ketidakpastian yang bisa diprediksi mengingat harus dipelajari bagaimana cara evaluasi yang dilakukan Pemerintah AS terhadap sejauh mana pabrik pakan pengolah dan pembuat MBM telah melaksanakan praktik pembuatan yang baik (good manufacturing practices).

Dengan alasan tertentu, sebagian besar pabrik MBM di AS tak menjalankan sepenuhnya ketentuan OIE, terutama mengenai tidak digunakannya tekanan absolut 3 bar pada pemanasan bahan baku MBM sekurang-kurangnya pada suhu 133 derajat Celsius selama 20 menit.

Sampai dengan bulan September 2006, AS telah menyelesaikan pemeriksaan terhadap 21.216 sapi dewasa. Secara kumulatif telah diperiksa 785.638 sapi sejak Juni 2004. Meskipun secara ilmiah, AS telah melakukan surveilans melampaui ketentuan jumlah sampel yang dipersyaratkan OIE, tetapi perlu diingat bahwa rentang masa inkubasi BSE yang begitu panjang dan belum ada uji yang benar-benar akurat pada kenyataannya memperlemah kemampuan deteksi BSE pada sapi hidup.

Pengawasan rantai distribusi

Apabila Pemerintah Indonesia beranggapan bahwa meskipun negara pengekspor memiliki kasus BSE, pemenuhan persyaratan OIE dinilai cukup memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan kesehatan manusia dan hewan, maka titik berat jaminan keamanan benar-benar beralih kepada pengawasan rantai distribusi di dalam negeri.

Sistim kesehatan hewan nasional harus mampu memberikan jaminan keamanan yang dibutuhkan, terutama dalam menjalankan pengawasan di titik-titik kritis sepanjang mata rantai distribusi mulai dari karantina pemasukan sampai ke industri pengolah/pengecer untuk daging atau industri pakan ternak untuk MBM.

Faktor yang mempersulit pengawasan dalam negeri adalah diagnosis BSE tidak bisa dikonfirmasi pada hewan hidup ataupun dalam bentuk daging atau MBM. Pemeriksaan mikroskopis terhadap jaringan otak merupakan satu-satunya cara saat ini untuk mendiagnosis BSE. Mengingat hal tersebut, uji terhadap hewan hidup sangat diperlukan karena uji akan mampu mengidentifikasi hewan yang terinfeksi jauh sebelum menjadi sakit.

Meskipun praktik pengolahan dan pembuatan MBM (rendering) sulit dilakukan di negara berkembang, seperti Indonesia, karena tidak ada sisa-sisa karkas (semua bagian tubuh sapi) dimanfaatkan, baik yang digolongkan dapat dimakan (edible offal) maupun yang tidak dapat dimakan (non-edible offal). Dengan demikian apabila MBM impor berisiko tidak dapat diawasi dengan baik dan menimbulkan potensi ancaman ke manusia, maka akan jauh lebih sulit bagi Indonesia menghindar dari kemungkinan timbulnya penyakit new variant Creutzfeldt Jacob Disease (nvCJD) sebagai bentuk BSE pada manusia.

DRH TRI SATYA PUTRI NAIPOSPOS MPHIL PHD
Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies

0 Komentar: