Minggu, 07 Maret 2010

Perangi Flu Burung dengan Vaksinasi Unggas

K O M P A S, SENIN, 24 APRIL 2006 – TEROPONG – OPINI

Berlanjutnya wabah flu burung atau avian influenza di sejumlah negara Asia yang disebabkan oleh virus Influenza tipe A subtipe H5N1 jelas akan menimbulkan ancaman serius terhadap hewan dan manusia di seluruh dunia.

Oleh TRI SATYA PUTRI NAIPOSPOS

Satu-satunya cara untuk memerangi timbulnya virus influenza baru pada manusia adalah menghambat atau paling tidak mengurangi kemungkinan mata rantai penularan antarspesies. Vaksinasi unggas merupakan salah satu pilihan dalam memutus mata rantai tersebut.

Kekhawatiran yang sering kali disampaikan para ahli mengenai dampak penggunaan vaksin untuk mengendalikan avian influenza (AI) pada unggas sudah pernah disampaikan oleh penulis dalam harian ini (Kompas, 1/10/2005). Hal ini diangkat kembali oleh Santoso Soeroso sebagai suatu opini bahwa vaksinasi unggas berpotensi membahayakan manusia (Kompas, 3/4/2006).

Sejalan dengan upaya untuk meredam kekhawatiran tersebut, dirasa perlu menyampaikan pandangan para ahli melalui Aliansi Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) kepada pemerintah. Bahwa pada tahapan sudah terjadi penularan dari hewan ke manusia dan belum terbukti adanya penularan dari manusia ke manusia, maka fokus harus tetap diberikan kepada pengendalian AI pada sumbernya, yaitu hewan.

Harus diakui bersama bahwa isu vaksinasi pada unggas berkembang menjadi suatu kontroversi, yang pada gilirannya hanya akan melemahkan dan malahan bisa menghambat upaya-upaya yang telah dilakukan pemerintah bersama-sama masyarakat luas dalam memerangi wabah AI di negeri ini. Sementara penggunaan vaksin dianggap hanya akan melindungi unggas dari serangan penyakit dan menguntungkan industri perunggasan secara ekonomi, di sisi lain dianggap sirkulasi virus tanpa unggas yang divaksin menunjukkan gejala penyakit (masking effect) akan terus berlanjut dan menghasilkan penyebaran infeksi yang semakin meluas.

Kebijakan vaksinasi unggas

Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) dan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) dalam pernyataan bersama pada bulan September 2004 menyatakan bahwa kebijakan melakukan vaksinasi unggas dalam rangka mengendalikan AI ditetapkan oleh masing-masing negara berdasarkan penilaian terhadap situasi yang terjadi di negaranya.

Sesuai dengan rekomendasi OIE dan FAO tersebut, banyak faktor yang harus digunakan oleh suatu negara dalam mempertimbangkan kebijakan vaksinasi. Kebijakan vaksinasi yang ditempuh pemerintah Indonesia ditetapkan setelah melalui pertimbangan yang sangat matang dan komprehensif dengan menilai situasi sebenarnya di dalam negeri menyangkut skala penyebaran, intensitas penyakit, dampak ekonomi dan lingkungan, serta kemampuan keuangan negara.

Pada saat pengumuman resmi pemerintah pada akhir bulan Januari 2004, wabah AI sudah menyebar dan meluas ke seluruh kabupaten/kota di Pulau Jawa, Lampung dan Bali. Pulau Jawa sebagai pusat industri perunggasan dengan 25 persen berada di Provinsi Jawa Timur dan 35 persen di provinsi lainnya.

Pertimbangan utama adalah serangan penyakit ini dimulai dan menyebar sangat cepat pada peternakan ayam komersial skala besar dan menengah, yaitu peternakan unggas terintegrasi yang bertindak sebagai inti (sektor 1) dan sebagian besar menjalin kemitraan dengan peternak plasma (sektor 2).

Wabah juga telah menjangkiti unggas-unggas di peternakan skala kecil dan mandiri (sektor 3) dan ayam kampung, itik, entok dan burung puyuh yang dipelihara di lingkungan rumah tangga (sektor 4).

Pada situasi seperti ini, pemusnahan unggas secara total (stamping out) tidak mungkin atau tidak layak lagi dilakukan. Oleh karena akan menyebabkan hancurnya industri perunggasan dan dampaknya sangat mungkin menganggu perekonomian nasional, ketahanan pangan, dan keseimbangan ekologis. Apabila pemusnahan menyeluruh diputuskan, maka lebih dari 100 juta ekor unggas di daerah tertular harus dimusnahkan untuk mengatasi wabah.

Faktor penting lainnya yang juga harus masuk dalam pertimbangan kebijakan publik tersebut adalah kemampuan institusi kesehatan hewan untuk mendeteksi dan bereaksi terhadap penyakit sedini mungkin dan kebutuhan untuk pelaporan yang transparan dan tepat waktu. Ditunjang pula dengan pengorganisasian yang baik dan peraturan perundangan yang memiliki kekuatan hukum dalam pelaksanaannya. Pelaksanaan faktor tersebut pada kenyataannya memiliki banyak kelemahan di Indonesia.

Pemerintah menetapkan bahwa kebijakan vaksinasi unggas bukan merupakan satu strategi yang dapat berdiri sendiri, tetapi tetap berada dalam satu paket sembilan langkah strategi yang harus dijalankan secara simultan dengan strategi-strategi lainnya. Di antaranya yang paling penting adalah peningkatan biosekuriti peternakan, pemusnahan unggas sehat yang sekandang dengan yang sakit, surveilans dan monitoring, serta pengendalian lalu lintas unggas hidup dan produknya.

Aspek teknis vaksinasi

Rasional penerapan vaksinasi adalah karena vaksin mampu untuk mengurangi tingkat kepekaan terhadap infeksi dan mengurangi keluarnya virus dari tubuh unggas (shedding virus), baik dari segi waktu dan jumlah. Memang tidak dapat dimungkiri bahwa vaksinasi unggas tidak mencegah secara total terjadinya infeksi, sehingga para ahli menyatakan bahwa program vaksinasi harus dilakukan dengan memenuhi persyaratan yang ditetapkan OIE.

Di suatu negara dengan unggas air domestik, pasar unggas hidup dan burung liar merupakan reservoir virus, maka lebih tepat dipertimbangkan untuk melakukan vaksinasi. Pada situasi di mana tingkat biosekuriti di sektor 4 tidak dapat diperbaiki dan ada peluang nyata dari virus AI ditularkan dari wilayah lain, burung liar atau itik domestik, maka strategi vaksinasi dianggap dapat memperkecil propagasi virus di sektor ini, memproteksi unggas peka dari infeksi dan memperkecil risiko penularan ke manusia.

Kekebalan diperoleh setelah 7 hari dan bertahan pada tingkat pada 21 hari setelah vaksinasi. Meskipun demikian, virus masih tetap bereplikasi dalam tubuh unggas yang divaksin yang secara klinis terlihat sehat. Itu sebabnya, sangat ditekankan bahwa vaksinasi saja tidak akan berhasil untuk mencapai tahapan pemberantasan.

Apabila unggas yang divaksin terekspos terhadap virus lapangan, unggas tersebut dapat terinfeksi dan mengeluarkan virus. Sampai saat ini percobaan lapangan tidak berhasil menunjukkan bahwa vaksin meningkatkan risiko penularan yang tidak terdeteksi. Apabila flok unggas yang tidak divaksin terekspos virus lapangan, maka akan menghasilkan 100 sampai 10.000 kali lebih banyak virus dari flok yang telah divaksin AI.

Kelemahan vaksinasi dimana virus masih bereplikasi dan keluar dari tubuh unggas dapat dicegah dengan memastikan bahwa monitoring pasca vaksinasi menunjukkan titer antibodi hasil vaksinasi populasi mencapai tingkat kekebalan protektif dan pelaksanaan biosekuriti menunjukkan bahwa tingkat pencemaran virus AI di lingkungan sangat jauh berkurang.

Kualitas vaksin

Salah satu prasyarat penting, menurut OIE, untuk tercapainya tingkat perlindungan populasi yang memadai terhadap AI adalah kualitas vaksin yang baik. Meskipun kualitas vaksin sudah baik, tetap diperlukan suatu keterkaitan dan konsistensi dari mata rantai vaksin dan vaksinasi secara keseluruhan. Dimulai dari cara pembuatan vaksin di bagian hulunya sampai vaksin dimasukkan ke dalam tubuh unggas di bagian hilir.

Harus diakui bahwa pada awal wabah AI, pemerintah menghadapi banyak masalah dan kesulitan dalam mengendalikan beredarnya vaksin ilegal yang jelas tidak pernah diketahui kualitas, sumber dan distribusinya. Seiring dengan perjalanan wabah AI, otoritas kesehatan hewan pada waktu itu melakukan evaluasi terhadap seluruh pengadaan vaksin yang dibuat pada masa awal wabah dan kemudian menerapkan prosedur standar pembuatan vaksin sesuai dengan yang ditetapkan OIE. Dengan demikian setelah deklarasi pemerintah mengenai AI, pihak-pihak tertentu yang membuat vaksin tanpa mengikuti prosedur tersebut tidak lagi diizinkan untuk memproduksi vaksin AI.

Sampai saat ini, pemerintah telah mengizinkan secara resmi peredaran dua jenis vaksin AI produksi dalam negeri dan enam jenis vaksin impor yang kesemuanya telah dikaji secara teknis berdasarkan rekomendasi ahli dan setelah melalui pengujian oleh lembaga pemerintah yang mempunyai kompetensi untuk itu. Keberhasilan program vaksinasi juga sangat bergantung pada pelaksanaan operasional di lapangan–mulai dari mata rantai dingin vaksin, jenis unggas yang divaksin, sampai kepada cara penyuntikan ke dalam tubuh unggas.

Selama tahun 2004 sampai 2005, program vaksinasi secara rutin dengan monitoring pasca vaksinasi telah dilakukan di sektor 1 dan 2, dan secara terbatas pada sektor 3. Program vaksinasi yang dijalankan pemerintah secara massal dan gratis tahun 2004 hanya ditujukan pada sebagian sektor 3 dan seluruh jenis ternak unggas di sektor 4 seperti ayam kampung dan burung puyuh.

Pemerintah perlu mengevaluasi kembali dan meningkatkan program vaksinasi pada sektor 4. Oleh karena hanya dilaksanakan secara sangat terbatas dan hampir tidak pernah dilakukan vaksinasi ulang mengingat kelemahan sistem dan fasilitas distribusi vaksin, monitoring yang tidak sistematis, dan biaya operasional vaksinasi yang rendah.

Pengalaman negara lain

Vaksin digunakan di negara-negara lain untuk membantu mengendalikan AI, termasuk Italia, Amerika Serikat, Meksiko, Pakistan, dan Hongkong. Negara Guatemala dan Puerto Riko juga dilaporkan melakukan pengendalian dengan vaksinasi. Negara-negara yang masih mengalami letupan-letupan AI bentuk ringan maupun ganas tetap mejalankan vaksinasi sampai sekarang.

Sama seperti Indonesia, China menjalankan program vaksinasi massal dan malahan sudah berlangsung diam-diam sejak 8–10 tahun yang lalu. Beberapa waktu yang lalu Vietnam mulai menerapkan program vaksinasi massal, termasuk itik yang populasinya cukup tinggi, setelah pemusnahan masal unggas di negara tersebut dianggap tidak berhasil memberantas AI. Belakangan ini beberapa negara Eropa seperti Belanda dan Perancis yang semula menerapkan larangan vaksinasi sesuai dengan ketentuan bersama Uni Eropa juga sudah mempertimbangkan upaya vaksinasi sebagai salah satu pilihan bermanfaat.

Penerapan vaksinasi di Hongkong telah berhasil menunjukkan bahwa monitoring dan surveilans terhadap peternakan yang divaksin dengan vaksin inaktif H5N2 dan ditantang dengan virus H5N1 berhasil melindungi ayam dari penyakit dan menghentikan penularan. Penerapan pendekatan differentiation of infected from vaccinated animal (DIVA) telah membantu negara tersebut dalam mengkaji perbedaan antara virus lapangan dengan virus yang berasal dari vaksin.

Meskipun demikian, upaya mengendalikan AI pada unggas dengan vaksinasi tidak selalu berhasil mencapai tahapan pemberantasan seperti yang terjadi di Meksiko (H5N2) dan Pakistan (H3N3). Oleh karena, lemahnya upaya monitoring terhadap pendedahan lapangan yang seharusnya dilakukan.

Epidemiologi biomolekuler

Saat ini yang sangat penting untuk dilakukan oleh para ahli adalah pengamatan epidemiologi secara berkesinambungan untuk menentukan sejauh mana virus lapangan mengalami mutasi atau reassortment, baik terjadi secara alamiah maupun kemungkinan sebagai akibat dari tekanan vaksinasi. Pengamatan harus dilakukan melalui surveilans biomolekuler untuk mengamati dinamika perubahan karakteristik virus.

Sejauh ini penelitian tentang analisis genetika virus AI yang dilakukan terhadap isolat-isolat virus yang dikumpulkan dari waktu, lokasi, dan spesies yang berbeda belum berjalan memuaskan. Kegiatan ini malahan semakin tidak mampu ditelusuri mengingat lemahnya koordinasi dan komunikasi antarlembaga yang melakukan kegiatan ini di Indonesia, maupun juga dengan lembaga rujukan internasional.

Sejumlah isolat virus lapangan berhasil dikumpulkan dan dianalisis selama tahun 2003, 2004 dan 2005. Berdasarkan hasil karakteristik genetik dapat diketahui bahwa isolat yang ada di Indonesia dapat dibagi menjadi tiga, yaitu kelompok A, B dan C (lihat Gambar). Virus H5N1 yang ada di Pulau Sumatera mempunyai hubungan dengan virus yang ada di Provinsi Jawa Barat (kelompok C) yang menunjukkan terjadinya perdagangan unggas yang intensif di antara kedua wilayah ini.

Gabungan virus kelompok A, B, dan C ditemukan di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Penyebaran virus H5N1 sampai ke Pulau Bali dan Nusa Tenggara Timur (kelompok B) berasal dari Provinsi Jawa Timur. Begitu juga penyebaran virus ke Provinsi Sulawesi Selatan (kelompok A) berasal dari Provinsi Jawa Timur sebagai konsekuensi dari perdagangan unggas antarwilayah.

Penyebaran Virus H5N1 Menurut Hasil Analisis Genetika



DRH TRI SATYA PUTRI NAIPOSPOS, MPHIL, PHD
Praktisi Epidemiologi dan Ekonomi Veteriner
Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies

0 Komentar: