K O M P A S, SENIN, 14 NOVEMBER 2005 – TEROPONG – ILMU PENGETAHUAN
MENJELANG KONFERENSI APEC
Artikel di Washington Post 20 Oktober 2005 yang menyatakan pejabat Indonesia telah menutupi kasus flu burung (Avian Influenza) pada unggas selama dua tahun akibat tekanan industri perunggasan adalah tidak tepat, dan juga tidak relevan lagi diangkat sebagai isu nasional maupun internasional.
Oleh TRI SATYA PUTRI NAIPOSPOS
Pemerintah Indonesia dan masyarakat perunggasan kehilangan masa enam bulan–
Agustus 2003 sampai pengumuman resmi pemerintah akhir Januari 2004–untuk bertindak tegas dan nyata menghilangkan sumber kematian berjuta-juta ekor unggas. Lebih tepat kalau Pemerintah Indonesia mau menyatakan hal tersebut sebagai suatu pembelajaran pahit untuk tidak diulang.
Namun demikian, semua stakeholder perunggasan yang terkena dampak tentu sepakat mengatakan bahwa masa-masa kritis telah dilampaui dan sejumlah kemajuan berhasil dicapai meski situasinya kompleks. Kompleksitas menjadi tantangan karena ada keterbatasan infrastruktur dan sumber daya.
Kilas balik wabah flu burung menunjukkan ada faktor-faktor kesulitan teknis pada masa awal, seperti perlunya keahlian untuk mendiagnosis penyakit flu burung, memproduksi vaksin unggas, serta kelembagaan laboratorium untuk peningkatan kapasitas surveilans.
Ini masih ditambah dengan keterlambatan pengumuman, banyaknya vaksin ilegal dari China, tingginya frekuensi lalu lintas unggas hidup, sampai penurunan konsumsi produk unggas yang mempengaruhi efektivitas operasional pengendalian wabah di lapangan.
Penyebaran
Aspek yang paling mengkhawatirkan adalah perluasan wilayah tertular. Meskipun ada upaya kerjasama antara petugas teknis berwenang di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dan petugas karantina–khususnya di daerah-daerah yang menerima pasokan unggas hidup–tetap terasa sulit untuk menyimpulkan penyebab perluasan wabah.
Dari segi jumlah wilayah, perluasan wabah dalam waktu dua tahun meningkat hampir dua kali lipat. Dari yang semula hanya dilaporkan di 10 provinsi dengan 78 kabupaten/kota, kemudian menyebar ke 22 provinsi dengan 139 kabupaten/kota (Gambar).
Gambar: Distribusi geografis kasus ”Avian Influenza” pada unggas (kumulatif Agustus 2003 s/d Oktober 2005)
Minimnya informasi dari lapangan menyebabkan sumber infeksi di daerah tertular baru, seperti kejadian terakhir di Provinsi Sulawesi Selatan awal Maret 2005, tidak pernah dikonfirmasi lebih lanjut.
Migrasi burung liar, impor ayam aduan dari Thailand, sampai suplai bibit ayam ras dari Jawa Timur, semua dianggap teori penyebab. Petugas teknis tidak pernah berhasil mengembangkan data dan informasi akhir yang mengarah ke bukti ilmiah.
Dari penyebaran wabah yang meluas dapat ditarik pelajaran, betapa esensialnya perhatian yang harus diberikan pemerintah, terutama di provinsi dan kabupaten/kota. Aspek kepatuhan hukum harus dikembangkan untuk mendisiplinkan para pelaku perunggasan, terutama untuk persyaratan biosekuriti, pengamatan klinis, hasil monitoring pascavaksinasi, dan sistem sentinel.
Dilihat dari jumlah kasus, sesungguhnya penurunan kasus flu burung pada unggas sangat signifikan, terutama sejak pertengahan 2004. Usaha perunggasan komersial kembali normal sebagai dampak vaksinasi rutin yang diterapkan di sebagian besar peternakan ayam ras di Pulau Jawa, yang menjadi pusat produksi perunggasan wilayah-wilayah lain.
Setelah program vaksinasi, kasus kematian unggas hanya terjadi dalam jumlah kecil di kabupaten/kota di Pulau Jawa yang pernah dilaporkan tertular. Pengalaman belakangan ini menunjukkan bahwa lebih banyak laporan tentang serangan dengan intensitas sedang terhadap ayam kampung atau bukan ras (buras) dan burung puyuh.
Secara epidemiologi, sifat penyakit flu burung telah berubah dari epidemik (wabah) menjadi endemik dengan tingkat endemisitas yang bervariasi.
Status endemik ini tidak dapat dijadikan justifikasi bahwa suatu daerah tertular yang telah tidak ada lagi kasus bisa dinyatakan daerah bebas flu burung. Sirkulasi virus masih terus berlangsung di lingkungan peternakan unggas dan pasar ayam tradisional, bahkan kemungkinan mendorong perpindahan penularan dari jenis ayam dan burung puyuh ke unggas lain dan ternak babi meski tanpa gejala.
Hasil penelitian Balai Penelitian Veteriner (Balitvet) Bogor 2004 mempertegas status endemik ini dengan menemukan hasil positif isolasi virus pada berbagai spesies unggas di luar ayam seperti itik, entok, dan angsa, serta bangsa burung seperti puyuh, perkutut, merpati, dan merak putih. Sayang tidak ada informasi yang menggambarkan peranan itik dan burung dalam epidemiologinya.
Rencana aksi
Jika Indonesia ingin melihat ke depan, maka tidak pada tempatnya para pengambil keputusan di negeri ini berlaku panik dan mencari siapa yang salah dalam menghadapi krisis flu burung. Fokus harus diberikan lebih kepada apa yang sesungguhnya salah dalam implementasi strategi selama ini.
Kasus flu burung pada manusia yang dikhawatirkan sejak timbulnya wabah pada unggas sudah terjadi di Indonesia. Namun, tidak ada petunjuk yang secara rasional berhasil menggambarkan kerterkaitan antara infeksi pada unggas dan manusia. Kelompok risiko tinggi adalah para pekerja di sektor perunggasan yang jumlahnya sekitar 10 juta orang.
Setelah awalnya mendapat kritik organisasi internasional dengan tidak melakukan pemusnahan menyeluruh (stamping out) terhadap unggas, maka Indonesia akan terus mendapat kecaman dunia apabila tidak secara aktif melaksanakan penanggulangan wabah dalam bentuk rencana aksi yang tegas, serius dan tepat sasaran. Perlu prioritas pada rencana kesiagaan darurat penyakit hewan menular (animal disease emergency preparedness plan).
Ketegasan diperlukan dari Presiden sampai kepada pejabat menteri di bawah koordinasi bidang ekonomi dan kesejahteraan sosial untuk menetapkan penanggulangan penyakit hewan yang berpotensi menular ke manusia (zoonosis). Semua pemerintahan di dunia menyadari bahwa untuk memerangi pandemi flu saat ini diperlukan keterlibatan berbagai departemen dan badan yang dikoordinasikan di bawah satu komando.
Pemantapan strategi penanggulangan pada sektor perunggasan jangka menengah dan jangka panjang sangat ditentukan oleh dukungan perangkat keras dan perangkat lunak yang dimiliki Indonesia saat ini.
Satu hal yang secara pasti perlu diperkuat adalah memberikan kewenangan penuh kepada otoritas kesehatan hewan untuk memegang kendali penanggulangan pada hewan, terlepas dari kepentingan politik dan ekonomi.
Peran dokter hewan yang sudah sangat lama terpinggirkan harus dijabarkan lebih jelas dan transparan. Apabila keamanan dan ketahanan pangan serta kesehatan masyarakat menjadi standar kemajuan suatu bangsa, maka isu emerging and re-emerging zoonotic diseases harus membuat pemerintah ke depan lebih memberdayakan profesi dokter hewan. Sudah saatnya peran dokter hewan dalam rencana aksi difungsikan menjadi penghubung yang sangat istimewa antara pertanian dan kesehatan manusia.
*) DRH. TRI SATYA PUTRI NAIPOSPOS, MPHIL, PHD, Praktisi Epidemiologi dan Ekonomi Veteriner, Departemen Pertanian
0 Komentar:
Posting Komentar