Minggu, 07 Maret 2010

TANTANGAN INTERNASIONAL TERHADAP SISTEM KESEHATAN HEWAN NASIONAL DI INDONESIA

Tulisan untuk merayakan ulang tahun Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) yang ke-57 dan Seabad Dokter Hewan Indonesia.

Oleh:
Drh Tri Satya Putri Naipospos, MPhil, PhD

Perubahan global yang mempengaruhi sistem kesehatan hewan nasional (siskeswannas) di Indonesia selama 30 tahun terakhir akan terus berlanjut yang berakibat lebih jauh pada swastanisasi layanan publik, desentralisasi kebijakan dan program-program pemerintah yang lebih terfokus. Pengaruh perubahan tersebut termasuk meningkatnya globalisasi, meningkatnya permintaan protein hewani, pola komsumsi pangan, intensifikasi produksi ternak dan pertumbuhan perdagangan ternak dan hasil ternak.

Pada era 1970-an, sebagian besar aspek pelayanan dalam siskeswannas di Indonesia menjadi tanggung jawab pemerintah. Hambatan dana dan infrastruktur menyebabkan negara tidak memiliki dana operasional memadai untuk memenuhi tanggung jawabnya dalam menyediakan pelayanan pemerintah berkualitas. Berbagai penyakit yang sejak dulu bersifat endemik maupun sporadik seperti septichaemia epizooticae, anthrax, rabies, brucellosis dan lain sebagainya belum berhasil diberantas dan masih menjadi tantangan siskeswannas sampai dengan saat ini.

Belakangan ini muncul penyakit-penyakit hewan lintas batas (transboundary animal diseases) yang belum pernah terjadi sebelumnya, seperti avian influenza. Dampak dari penyakit ini menimbulkan gangguan ekonomi dan sosial yang serius dalam skala nasional dan global serta mendapatkan liputan media yang luar biasa.

Begitu juga munculnya kembali dan menyebarnya penyakit-penyakit hewan menular di berbagai belahan dunia, seperti blue tongue, Rift Valley fever dan West Nile yang diindikasikan terjadi akibat dari pemanasan global dan globalisasi perdagangan, menggerakkan hampir semua negara di dunia untuk memastikan berfungsinya siskeswannas.

International public good

Tantangan internasional sesungguhnya mengarah kepada isu-isu yang terkait dengan siskeswannas itu sendiri dan kebijakan nasional yang ditetapkan suatu negara. Standar-standar Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) diciptakan agar negara-negara anggota dapat lebih memusatkan kebijakannya pada pemenuhan fungsi siskeswannas sebagai "international public good", artinya pelaksanaan siskeswannas secara benar dan utuh adalah tanggung jawab semua negara. Jika satu negara gagal melakukannya, dampaknya akan membahayakan seluruh dunia.

Dalam hal pemberantasan penyakit hewan menular terutama yang berpotensi pandemi, semua negara harus menyadari bahwa keuntungannya akan berdampak internasional dan juga antar generasi. Pada dasarnya negara-negara di dunia bergantung satu sama lain dan suatu tindakan yang tidak memadai dari satu negara dalam memerangi penyakit hewan menular dapat membahayakan semua negara yang lain.

Tanggung jawab pemerintah dalam menjalankan siskeswannas berkaitan dengan kapasitas teknis dan kewenangannya dalam mempersiapkan dan melaksanakan berbagai aspek yang ditetapkan dalam standar-standar OIE tersebut. Aspek tersebut termasuk menyiapkan rencana kesiapsiagaan darurat, kemampuan untuk melakukan konfirmasi diagnosa klinis dan laboratoris, mencegah masuknya dan menyebarnya penyakit ke wilayah negara, mendapatkan sumber keuangan yang diperlukan untuk mengompensasi pemilik ternak secara cepat dan melaksanakan kampanye vaksinasi masal (apabila diperlukan).

Selain itu juga berkaitan dengan bagaimana pemerintah menyesuaikan peraturan perundangan, rencana kesiapsiagaan darurat serta sistem pengendalian dan pemberantasannya dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang dan memverifikasi pelaksanaan semua kegiatan diatas. Dalam hal ini, pemerintah perlu mengikutsertakan sektor swasta dalam setiap kegiatan pencegahan.

Tantangan penguatan kapasitas

Pemerintah Indonesia melakukan restrukturisasi terhadap siskeswannas di era 1980-90an, sehingga program pemerintah hanya terfokus kepada urusan-urusan yang lebih bersifat public good. Berdasarkan analisa ekonomi terhadap keseluruhan penyakit-penyakit menular utama yang ada di Indonesia pada waktu itu, maka berhasil disusun suatu daftar penyakit strategis yang mendapatkan prioritas penanganannya. Dalam hal ini, aspek eksternalitas digunakan sebagai pertimbangan utama dari penetapan tersebut.

Titik berat urusan pemerintah yang hanya ditujukan kepada penanganan penyakit-penyakit yang bersifat strategis dimaksudkan untuk efisiensi dan mengoptimalkan kinerja. Implikasi dari perubahan kebijakan ini bukan hanya mempengaruhi secara struktural dan administratif, akan tetapi juga kepada fungsi-fungsi pemerintah seperti surveilans, diagnosa, pengendalian dan pemberantasan, pengujian laboratorium dan penelitian.

Tantangan yang timbul dari perampingan urusan tersebut dimaksudkan agar pemerintah lebih mampu untuk fokus kepada pencapaian standar-standar internasional yang ditetapkan oleh OIE dan menyerahkan sebagian urusannya kepada sektor swasta. Upaya pencapaian tersebut merupakan pelaksanaan good governance siskewannas yang didasarkan atas kemitraan yang erat antara pemerintah dan swasta.

Untuk penerapan good governance siskewannas bukan hanya diperlukan komitmen politik, tetapi juga investasi sumberdaya manusia dan keuangan yang memadai dan efektif. Ke depan diperlukan kemampuan pemerintah untuk menciptakan suatu lingkungan yang bisa memfasilitasi swasta dan kesediaan untuk mensub-kontrakkan sebagian pelayanannya. Cara ini akan berkontribusi terhadap efisiensi ekonomi dan terciptanya akses pelayanan kesehatan hewan yang lebih luas.

Untuk mendukung pencapaian itu, siskeswannas memerlukan landasan peraturan perundangan yang kuat untuk melakukan fungsinya. Pada prinsipnya siskeswannas dapat berfungsi dengan baik, apabila otoritas veteriner memiliki kewenangan untuk:
1. menerbitkan atau mencabut sertifikat atau lisensi resmi;
2. menolak, membatasi atau mengatur impor, ekspor dan pergerakan domestik hewan, produk hewan atau turunannya setelah melalui inspeksi veteriner;
3. menyita atau memusnahkan hewan atau produk hewan yang ilegal;
4. memerintahkan dan melaksanakan isolasi, karantina, pemeriksaan dan pengujian terhadap hewan atau lokasi dimana hewan dipelihara; dan
5. menyetujui, meregistrasi dan mensupervisi pengelolaan lokasi peternakan dan orang-orang yang terkait dan mencabut persetujuan tersebut apabila terjadi pelanggaran.

Penguatan kapasitas siskeswannas yang mengarah kepada pemenuhan standar internasional diharapkan dalam jangka panjang akan menyebabkan keuntungan ekonomi bagi negara melalui penguatan ekonomi peternakan, ketahanan pangan dan meningkatnya kemampuan perdagangan internasional serta perbaikan kesehatan masyarakat. Ini ditempuh dengan cara memperbaiki keamanan pangan dan pencegahan dan pemberantasan zoonosis pada sumbernya yaitu hewan.

Tantangan transparansi pelaporan penyakit

Tantangan yang kita hadapi sejak dulu adalah bagaimana kemampuan pengumpulan data di lapangan dan semua informasi yang berkaitan dengan itu didasarkan kepada kemampuan deteksi dini, penyidikan yang profesional serta kecepatan dan ketepatan diagnosa. Pada kenyataannya, pemerintah berulangkali gagal menentukan diagnosa, terlambat dan tidak transparan dalam melaporkan kejadian wabah penyakit hewan menular.

Salah satu persyaratan good governance adalah bagaimana pemerintah dapat mempersiapkan strategi kewaspadaan dini dan strategi surveilans epidemiologi yang baik dan melaksanakannya. Keberhasilan melakukan diagnosa penyakit di lapangan dan melaporkannya justru menunjukkan bahwa ke-dua sistem tersebut berfungsi dengan baik. Ke depan perlu difikirkan bagaimana sistem identifikasi ternak dan prosedur penelusuran balik (traceability) dapat dilakukan untuk memperkuat sistem surveilans epidemiologi.

Efisiensi sistem surveilans epidemiologi bergantung kepada tingkat pengetahuan dan keahlian dari dokter hewan yang melaksanakan siskeswannas dan diperlukan kerjasama yang baik antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat. Para dokter hewan swasta dan peternak adalah orang-orang yang paling memungkinkan untuk mendeteksi secara dini kejadian penyakit, oleh karenanya surveilans epidemiologi sangat bergantung kepada kontribusi mereka.

Peraturan perundangan harus mencakup penerapan yang efektif untuk memastikan bahwa siapapun harus melaporkan dugaan kasus penyakit hewan menular tanpa terlambat kepada otoritas veteriner. Kewajiban notifikasi juga berlaku bagi dokter hewan, pemilik ternak, pekerja dan orang lain yang oleh karena profesinya atau pekerjaannya berkaitan dengan hewan atau karkas yang diduga terserang penyakit hewan menular tersebut.

Kunci konsep siskeswannas ke depan adalah bagaimana kita dapat menjalankan surveilans epidemiologi dengan baik dan bagaimana membangun dan mempertahankan kesinambungan kerjasama dan aliansi antara dokter hewan pemerintah, dokter hewan swasta, peternak dan stakeholder lainnya. Pembinaan yang berkelanjutan terhadap setiap sektor, baik itu perunggasan, ternak perah, ternak potong, obat hewan, importir/eksportir dan lain sebagainya untuk memiliki pemahaman yang baik tentang perlunya transparansi dan notifikasi sangat esensial dalam mewujudkan kemampuan negara dalam mengatasi wabah penyakit hewan menular.

Para penentu kebijakan di tingkat nasional perlu diyakinkan bahwa biaya yang diperlukan untuk menyediakan suatu siskeswannas yang efektif termasuk sistem surveilans epidemiologi, kewaspadaan dini dan manajemen wabah tidak setara apabila dibandingkan dengan kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh wabah penyakit hewan menular atau zoonosis yang jauh lebih signifikan.

Disamping itu, tantangan ke depan menyangkut bagaimana memperbaiki komitmen Indonesia dalam melaporkan informasi mengenai status kesehatan menyangkut penyakit hewan dan zoonosis ke OIE secara berkala dan profesional. Seharusnya kita dapat lebih memanfaatkan jaringan internasional OIE terutama berkaitan dengan keberadaan pusat-pusat kerjasama (OIE Collaborating Centers) dan laboratorium referensi internasional untuk kepentingan Indonesia.

Begitu juga bagaimana Indonesia bisa bekerjasama dan memanfaatkan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) yang dalam kegiatannya lebih banyak berkontribusi kepada pelaksanaan pengendalian dan pemberantasan di tingkat nasional atau regional dalam bentuk proyek dan program. Fokus FAO adalah penguatan kapasitas siskeswannas suatu negara agar mampu memenuhi standar-standar OIE. Disamping menyediakan keahlian teknis, FAO juga mengkoordinasikan dan didukung oleh organisasi regional (seperti ASEAN), organisasi internasional lainnya dan negara-negara donor.

Tantangan perdagangan global

Standar OIE diakui secara resmi melalui perjanjian Sanitary and Phytosanitary (SPS) yang ditetapkan oleh Organisasi perdagangan Dunia (WTO) dan telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Perjanjian SPS dimaksudkan untuk mengharmonisasikan tindakan-tindakan SPS dan menghilangkan hambatan teknis yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sesuai dengan perjanjian ini, ke depan Indonesia harus sedapat mungkin menggunakan standar, pedoman dan rekomendasi internasional dalam menjalankan siskeswannas.

Perjanjian ini juga menekankan adalah hak kedaulatan suatu negara untuk memperoleh tingkat perlindungan kesehatan hewan dan manusia dalam wilayah negaranya. Meskipun demikian harus disadari bahwa suatu negara tidak dapat menyalahgunakan hak kedaulatan tersebut untuk tujuan proteksionistis. Suatu negara pengimpor hanya dapat mengaplikasikan tindakan SPS terhadap impor, jika tingkat proteksi yang sama juga diterapkan terhadap produk domestik.

Tantangan yang dihadapi ke depan adalah bagaimana Indonesia dapat memperkuat diri dengan justifikasi teknis melalui peningkatan kemampuan dalam menyusun analisa risiko yang berbasis ilmiah. Prasyarat ini diperlukan apabila kita ingin melindungi wilayah negara dari kemungkinan masuknya kembali penyakit mulut dan kuku (PMK) atau jika ingin memperkenalkan standar perlindungan lebih tinggi dari standar yang ditetapkan OIE.

Untuk itu sebagai negara bebas PMK dalam periode waktu yang cukup lama, harus difikirkan dengan serius bagaimana justifikasi penolakan impor dari negara-negara yang belum bebas PMK bukan sekedar menerapkan ‘country base’ untuk persyaratan impor, tetapi menekankan kepada perlunya penguatan aspek siskeswannas untuk mencegah masuknya PMK dan mempersiapkan diri untuk kemampuan bertindak cepat apabila wabah PMK terjadi. Kemungkinan untuk virus PMK masuk ke Indonesia tidak hanya melalui importasi legal ternak dan produk ternak, akan tetapi juga banyak cara lain.

Indonesia harus benar-benar menyadari bahwa untuk keamanan perdagangan ternak dan hasil ternak sangat bergantung kepada kemampuan dalam menerapkan sistem pelaporan penyakit dan surveilans epidemiologi sebagai bagian dari sistem kewaspadaan dini.

Meskipun saat ini Indonesia bukan negara eksportir ternak maupun hasil ternak yang signifikan, akan tetapi ke depan peluang perdagangan yang ingin kita raih akan bergantung kepada adanya populasi ternak yang produktif dan sehat, termasuk kemampuan untuk mengadopsi dan mengakreditasi zona atau kompartemen bebas untuk kepentingan perdagangan. Pada dasarnya kinerja peternakan tersebut bergantung kepada siskeswannas yang berfungsi dengan baik dan berkualitas.

Tantangan pengaturan obat hewan

Dengan peningkatan industri peternakan dalam 20 tahun terakhir terutama ekspansi yang cepat industri perunggasan, terjadi pula peningkatan yang signifikan dalam penggunaan dan distribusi obat hewan di Indonesia. Proses regulasi juga mengalami kemajuan yang signifikan, meskipun masih ada beberapa kelemahan dalam menerapkan peraturan perundangan baik secara administratif maupun di lapangan.

Di satu sisi, keharusan untuk menguji produk obat hewan sebelum dipasarkan menjadikan persaingan industri obat hewan semakin ketat, akan tetapi di sisi lain situasi pengaturan diperburuk dengan diangkatnya hambatan tarif sesuai perjanjian WTO. Dimensi internasional obat hewan menimbulkan banyak tantangan saat ini maupun ke depan, terutama menyangkut kepedulian terhadap kualitas, keamanan dan efektivitasnya.

Untuk mampu mengikuti perkembangan ini, siskeswannas harus berupaya untuk mengelaborasi atau memutakhirkan kerangka regulasi dan kebijakannya dalam melakukan kendali kualitas (quality control) dan registrasi obat hewan. Registrasi obat hewan adalah sepenuhnya public good. Termasuk memperkuat institusi pelaksana regulasi dengan prosedur formal yang tujuan utamanya adalah memastikan kualitas dari obat hewan yang beredar dan mengendalikan residu dalam bahan pangan hewani dan hasil produk ternak lainnya.

Begitu juga dalam menilai kebutuhan ke depan untuk lebih mampu memanfaatkan bahan biologik dan vaksin hasil teknologi rekayasa genetika. Cara ini wajib dilakukan untuk mengatasi ketidakteraturan berkaitan dengan distribusi dan penggunaan obat hewan di Indonesia.

Tantangan keamanan pangan

Meskipun tren kepedulian masyarakat Indonesia tentang isu-isu keamanan pangan dalam 20 tahun terakhir tidak setajam seperti halnya di negara-negara maju, akan tetapi telah mendorong pemerintah untuk mempromosikan apa yang disebut sebagai produk ternak yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH). Sebagai antisipasi dari tren itulah terjadi penyesuaian struktural dalam pelaksanaan siskeswannas beberapa tahun yang lalu dengan terbentuknya institusi yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kesehatan masyarakat veteriner (kesmavet) di tingkat nasional. Hal ini dimaksudkan untuk membuat agar pelaksanaan dan promosi program-program kesmavet dapat lebih terfokus dan efektif.

Namun pada kenyataannya, pemerintah bertindak lambat dalam merespon tantangan ini dan hambatan-hambatan sosial, ekonomi, politik dan budaya serta persepsi masyarakat membatasi kemampuan pemerintah untuk melaksanakan program-program kesmavet dengan baik. Sebagian besar pelayanan kesmavet bersifat public good, oleh karenanya dalam hal ini pemerintah dan pemerintah daerah seharusnya bisa mengambil peranan lebih aktif melalui pendekatan lintas sektoral dengan memberdayakan kewenangan administratifnya.

Tantangan ke depan adalah bagaimana program-program kesmavet bisa dilakukan dengan pendekatan “farm to fork continuum”, dimana keamanan dan kualitas pangan hewani ditetapkan dengan pendekatan terintegrasi dan multi disiplin dengan mempertimbangkan keseluruhan rantai pangan. Mengingat banyak profesional lain yang juga terlibat dalam urusan keamanan pangan seperti ahli mikrobiologi, ahli teknologi pangan, ahli toksikologi dan lain sebagainya, maka kerjasama erat dan dan komunikasi efektif dengan pihak lain baik yang berada di dalam maupun di luar siskewannas mau tidak mau harus dilakukan.

Eliminasi atau pengendalian ‘food hazard’ pada sumbernya adalah cara yang paling efektif untuk mengurangi atau menghilangkan risiko dampak kesehatan yang tidak diinginkan dibandingkan dengan pengendalian pada produk akhir. Untuk itu, titik berat siskeswannas dalam menjalankan program-program kesmavet seharusnya bergeser untuk lebih memperkuat fungsi inspeksi di rumah pemotongan hewan dengan peran ganda yaitu melakukan surveilans epidemiologi dan sekaligus memastikan keamanan dan kelayakan daging.

Indonesia perlu menyesuaikan diri dengan pendekatan keamanan pangan yang sudah sangat berkembang dalam dekade ini. Dari pengendalian yang masih tradisional dengan mengandalkan cara-cara praktek yang baik (good practices) seperti Good Husbandry Practices, Good Slaughtering Practices, Good Hygienic Practices dan lain sebagainya, ke arah target penerapan Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) sampai kepada pendekatan berbasis risiko menggunakan analisa risiko keamanan pangan (food safety risk analysis).

Siskeswannas memainkan peran yang esensial dalam proses analisa risiko dan bertanggung jawab dalam menerapkan rekomendasi berbasis risiko tersebut dalam peraturan perundangan untuk meningkatkan kesadaran tentang isu keamanan pangan baik di dalam negeri maupun untuk meyakinkan negara mitra dagang. Penguatan kapasitas siskeswannas yang diperlukan termasuk bagaimana cakupan dan bentuk campur tangan veteriner di sepanjang rantai pangan harus mampu dilakukan, termasuk konsultasi dengan berbagai stakeholder (produsen, prosesor dan konsumen).

Tantangan pengembangan profesi

Tantangan ke depan yang sama pentingnya dengan diatas adalah isu pengembangan profesi. Di tataran internasional disepakati bahwa hampir sebagian besar negara berkembang termasuk Indonesia, perlu memperbaiki sistem pendidikan kedokteran hewannya. Untuk mengatasi hal itu, OIE menyarankan agar negara-negara berkembang melakukan refokus kurikulum dan perbaikan standar kompetensi. Dengan demikian, profesi dokter hewan akan berada pada posisi yang lebih baik dalam melayani kebutuhan siskeswannas yang beragam.

Status profesi dokter hewan dan kemampuannya untuk memberikan pelayanan yang efektif dan sesuai dengan harapan pemilik ternak dan memenuhi standar nasional maupun internasional merupakan satu hal yang harus menjadi pusat perhatian dari pengembangan profesi ke depan.

Di satu sisi, perkembangan industri peternakan dan industri biologi lainnya telah memberikan banyak peluang bagi dokter hewan untuk berkiprah dan kebutuhannya akan semakin bertambah selaras dengan perkembangan industri ke depan. Di sisi lain, pemerintah dan pemerintah daerah menghadapi kekurangan dokter hewan berwenang dan tuntutan akan keahlian dalam menangani isu-isu kesehatan hewan secara teknis dan politis di lapangan semakin terasa. Sebaliknya terjadi peningkatan kebutuhan akan dokter hewan praktisi yang menunjukkan satu sisi positif dari perkembangan profesi di Indonesia.

Satu klaim bahwa kelemahan pendidikan kedokteran hewan di Indonesia adalah pada kurikulum dan pengalaman praktek yang tidak memadai sulit untuk dibantah. Hal ini terlihat dari dokter hewan yang baru lulus pada umumnya kurang terekspos dengan pekerjaan di lapangan dan belum melalui latihan praktek yang memadai. Akibatnya begitu memasuki pekerjaan baik di pemerintah maupun sektor swasta, timbul masalah profesionalisme dan belum ‘siap pakai’.

Untuk mengatasi masalah perlunya pendidikan kedokteran hewan lebih disesuaikan dengan situasi masa kini, perguruan tinggi harus mengembangkan strategi reformasi untuk menyesuaikan dan mengemas kurikulumnya sedemikian rupa untuk mempertahankan kualitas pendidikan dan memperkuat praktek-praktek kesehatan hewan yang relevan dengan sistem budidaya ternak, ekosistem hewan dan mengisi defisiensi yang terjadi dalam siskeswannas.

Dalam konteks tren baru dan masa depan industri peternakan, dibutuhkan kurikulum yang lebih terfokus pada kemampuan praktek dan mengembangkannya ke bidang-bidang seperti surveilans epidemiologi, kesehatan produksi, manajeman ekonomi dan bisnis. Sama pentingnya bahwa pendidikan kedokteran hewan harus bisa menjawab kebutuhan untuk menanggulangi masalah-masalah yang spesifik dalam siskeswannas terkait dengan sistem ternak dan sistem produksi yang berbeda-beda, termasuk peternak rakyat dan skala kecil.

Keberhasilan sektor swasta sangat bergantung kepada keberadaan otoritas veteriner yang kuat baik di tingkat nasional maupun propinsi/kabupaten. Kewenangan administratif tersebut harus didukung sumberdaya manusia yang kompeten dan berpengalaman dalam hal pengorganisasian, regulasi dan kendali. Untuk menuju ke sana, program-program training dan pendidikan berkelanjutan yang bertujuan untuk peningkatan profesionalisme bagi para pelaksana otoritas veteriner harus diperkuat. Konsekuensinya, perguruan tinggi perlu memperluas pengalaman akademiknya dengan pengenalan terhadap semua aspek siskeswannas dan permasalahannya.

Menuju good governance

Untuk menghadapi tantangan internasional sebagaimana diuraikan diatas, diperlukan good governance siskeswannas untuk menghadapi ancaman penyakit hewan yang muncul baru dan muncul kembali (emerging and re-emerging animal diseases). Kenyataan ini harus semakin mendorong timbulnya kesadaran pemerintah dan masyarakat akan pentingnya peranan siskeswannas dalam mencegah penyakit-penyakit hewan, terutama yang berpotensi menulari manusia. Penguatan kapasitas siskeswannas seharusnya merupakan respon terhadap tanggung jawab pemerintah sebagai regulator seperti yang dikehendaki dalam peraturan perundangan dan dunia internasional.

Good governance siskeswannas diukur dari sejauh mana kita memiliki kesadaran dan kemampuan memenuhi standar internasional, prosedur rekruitmen pekerja pemerintah dan sektor swasta termasuk training dan pendidikan berkelanjutannya, pembiayaan yang berkesinambungan dan akuntabilitas penggunaannya, kebijakan yang tidak tergantung dari pengaruh politik, konsultasi dan keterlibatan organisasi non-pemerintah (termasuk profesi, produsen, komoditi dan konsumen), partisipasi dalam organisasi internasional, kemampuan akreditasi terhadap pelayanan swasta dan implementasi program bekerjasama dengan sektor swasta.

Vientiane, 11 Desember 2009

0 Komentar: