K O M P A S, SENIN, 14 NOVEMBER 2005 – TEROPONG – ILMU PENGETAHUAN
Tidak seperti SARS (severe acute respiratory syndrome), Avian Influenza H5N1 telah menjadi ancaman global, baik terhadap hewan dan manusia. Maka diperlukan kerjasama yang erat dengan aksi terkoordinir dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE), serta Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO).
Oleh TRI SATYA PUTRI NAIPOSPOS
Sejak dulu dunia percaya bahwa intervensi paling utama untuk melindungi kesehatan manusia di negara yang dilanda serangan flu burung adalah pemusnahan flok unggas secara menyeluruh (stamping out). Suatu intervensi yang tentu sangat memerlukan mobilisasi seluruh aset kesehatan hewan dan pertanian, baik tenaga, alat transportasi maupun logistik.
Keputusan Indonesia untuk tidak melakukan stamping out dianggap sebagai contoh mengkhawatirkan tentang pemisahan antara kesehatan masyarakat dan kepentingan ekonomi pertanian. Bahkan, suatu pendekatan yang belum banyak disentuh sampai saat ini adalah bagaimana meyakinkan negara-negara berkembang di Asia untuk mengubah secara drastis struktur dan sistem peternakan.
Diperkirakan telah dimusnahkan hampir 120 juta ekor unggas sepanjang kejadian wabah flu burung di Asia. Jumlah unggas yang dimusnahkan di Indonesia diduga 7 juta ekor karena tidak pernah diperoleh data akurat. Pemusnahan flok dan pembatasan perdagangan terhadap negara-negara tertular flu burung telah melemahkan industri perunggasan di Asia. Kegagalan suatu pemerintahan berinteraksi secara transparan dengan negara lain menyangkut penanganan wabah dapat membuka peluang penyebaran wabah lebih lanjut.
Skala penyebaran di Asia pun yang melampaui perkiraan dan menimbulkan dua kemungkinan ancaman terhadap kesehatan manusia. Pertama keberadaan sebaran virus pada unggas dan burung meningkatkan peluang untuk terjadinya infeksi pada manusia, dan kedua meningkatnya peluang infeksi manusia menimbulkan prospek bahwa manusia akan bertindak sebagai mixing vessels untuk munculnya virus influenza baru yang dapat menular dari manusia ke manusia, yang dapat memicu pandemi global.
Ancaman pandemi global tersebut telah memotivasi ke tiga organisasi dunia, yaitu WHO, OIE, dan FAO untuk mengimbau negara-negara bekerja sama menghimpun bantuan dana internasional untuk memerangi flu burung.
Strategi global
FAO dan OIE bekerjasama dengan WHO memprakarsai penyusunan suatu konsep dokumen strategi untuk penanggulangan flu burung secara global (Global Strategy for the Progressive Control of Highly Pathogenic Avian Influenza). Dokumen tersebut dipersiapkan sebagai upaya meletakkan visi global bagi rencana aksi terkoordinir yang akan dikonsolidasikan oleh masing-masing negara.
Kerangka konsepsi pengendalian yang dirancang untuk Asia seperti terlihat pada Gambar 1. Rencana aksi akan memuat peta arah prioritas kegiatan yang akan dijalankan dan kerangka waktu yang dibagi menjadi jangka pendek, menengah, dan panjang.
Detail rencana aksi untuk masing-masing negara diformulasikan dalam bentuk proyek yang diorganisasikan oleh FAO. Strategi tersebut penting dalam membantu negara tertular maupun negara yang belum tertular flu burung dalam menghargai prakarsa global menghadapi penyakit hewan transboundary (mampu melewati batas negara) dan bersifat zoonosis, memperbaiki atau memperkuat kegiatan penanggulangan yang dilakukan, dan juga penting bagi negara atau organisasi donor untuk mempertimbangkan bantuan finansial yang diperlukan.
Pengendalian
Untuk membuka diri secara transparan terhadap perbaikan strategi penanggulangan ke depan, sangat penting bagi Pemerintah Indonesia meletakkan dasar-dasar kebijakan jangka menengah dan jangka panjang. Ini dengan pertimbangan bahwa perkembangan situasi umum penyakit cenderung telah menjadi endemik seperti Gambar 2.
Titik berat sembilan langkah strategi terletak pada empat hal pokok yang perlu direkonstruksi ulang, yaitu peningkatan biosekuriti, depopulasi (pemusnahan terbatas), vaksinasi, serta pengendalian lalu lintas unggas, produk unggas, dan limbah peternakan. Dukungan surveilans intensif digunakan untuk deteksi dini, memantau perkembangan epidemiologi penyakit dan hasil vaksinasi serta kemungkinan mutasi virus.
Gambar 2: Perkembangan situasi wabah ”Avian Influenza” (Agt 2003 s/d Sep 2005)
Sumber: Data Dinas Peternakan Propinsi (2004-2005)
Target strategi jangka menengah (5 tahun) dan jangka panjang (10 tahun) ditetapkan berdasarkan pada pengendalian penyebaran pada unggas mengikuti konsepsi FAO, dengan fokus tidak ada lagi kasus dalam jangka waktu 2 tahun pada unggas komersial dan jangka waktu 3 tahun pada jenis hewan lainnya.
Disamping itu, pengurangan penyebaran juga harus terjadi sehingga flu burung tidak lagi menjadi masalah pada unggas domestik, unggas air maupun burung migran dalam jangka waktu 3 tahun.
Dalam mengkaji kemampuan pemerintah melakukan prioritas kegiatan seperti yang digariskan dalam konsepsi FAO mengenai strategi global pengendalian flu burung, maka sangat esensial ditentukan terlebih dahulu kerangka kebijakan dan peraturan perundangan yang digunakan untuk mendukung upaya pengendalian.
Kebutuhan memiliki suatu undang-undang kehewanan baru sebagai suatu prakarsa dari Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) sudah dirasakan sangat mendesak dan kritikal, mengingat bahwa azas ketaatan hukum perlu diberlakukan dalam implementasi darurat wabah penyakit hewan menular. Begitu juga pengecualian terhadap pelanggaran hak-hak kepemilikan pribadi oleh pihak berwenang, dalam bentuk intervensi ke peternakan yang dicurigai muncul wabah.
Strategi jangka panjang lainnya adalah pembangunan kapasitas penelitian yang menekankan pada pengembangan vaksin untuk unggas, penelitian peran itik dan burung eksotik sebagai “reservoir” penyakit, dan dampak sosio-ekonomi flu burung. Kerja sama juga perlu dilakukan dengan ahli ornithology atau ahli konservasi satwa liar untuk meneliti seberapa jauh virus H5N1 terdapat pada burung migran.
Strategi jangka panjang juga perlu diarahkan pada pengembangan sistem manajemen unggas bebas penyakit (disease free poultry management system) dengan menekankan kepada sistem kawasan (zoning) dan sistem kompartemen yang secara tegas memisahkan industri peternakan dengan lingkungan unggas rakyat disekitarnya, juga memisahkan pemeliharaan ayam dengan babi atau itik.
Berbasis masyarakat
Pada dasarnya, untuk memperkuat implementasi strategi dan konsistensi operasional pengendalian sesuai dengan imbauan FAO, pemerintah secara formal perlu mendelegasikan kewenangan penuh kepada otoritas kesehatan hewan dan pejabat pemerintah daerah untuk menegakkan aturan menyangkut tindakan pengendalian penyakit.
Pejabat kesehatan hewan setempat harus diberdayakan untuk mampu menemukan wabah penyakit sedini mungkin dan sesegera mungkin mengembangkan komunikasi publik (public communication) dan melaksanakan tindakan pengendalian yang diperlukan, termasuk penutupan wilayah, desinfeksi lokasi tertular, dan pemberlakuan larangan keluar masuk ternak.
Untuk mewujudkan pola tersebut dalam skala massal dan berkesinambungan, maka perlu diterapkan suatu pendekatan berbasis masyarakat dengan penekanan pada tingkat desa. Pembentukan gugus tugas di setiap kecamatan dengan menggunakan tenaga-tenaga yang dilatih sebagai penyuluh untuk meningkatkan kesadaran peternak dan kewaspadaan dini di tingkat akar rumput.
Untuk membentuk kemampuan diagnosa dini (early diagnoses), pelaporan dini (early reporting) dan respon dini (early response), maka perlu dibangun jaringan surveilans lapangan secara proaktif di tingkat desa untuk memperlancar tindakan pengendalian yang diperlukan seperti pemusnahan unggas yang sakit/diduga sakit, penguburan karkas, serta target vaksinasi.
Dalam hal ini kelompok peternak dan tenaga pekerja kesehatan hewan akan dilatih untuk mengenal secara mudah gejala klinis penyakit, pengumpulan sampel, dan biosekuriti.
*) DRH. TRI SATYA PUTRI NAIPOSPOS, MPHIL, PHD, Praktisi Epidemiologi dan Ekonomi Veteriner, Departemen Pertanian
0 Komentar:
Posting Komentar