Minggu, 14 Maret 2010

Peran Otoritas Kesehatan Hewan Dalam Menjamin Kesehatan Masyarakat

Tri Satya Putri Naipospos

Perkembangan yang begitu cepat di bidang teknologi dan perdagangan global telah menempatkan posisi otoritas kesehatan hewan atau disebut juga otoritas veteriner menjadi semakin penting dan strategis di negara manapun di dunia, termasuk juga Indonesia. Yang dimaksudkan dengan otoritas kesehatan hewan adalah suatu kelembagaan di pemerintahan yang bertanggung jawab terhadap kesehatan hewan (animal health) dan sekaligus kesehatan masyarakat (public health).

Tentunya otoritas kesehatan hewan dalam administrasi publik bukan hanya harus mampu menjawab persoalan yang dikemukakan oleh otoritas yang menangani pertanian, akan tetapi juga oleh otoritas yang menangani kesehatan masyarakat. Dalam setiap persoalan yang dikemukakan, otoritas kesehatan hewan harus mampu menerapkan seluruh ketrampilan, pengetahuan, dan sumberdaya yang dimiliki profesi kedokteran hewan untuk memberikan perlindungan dan perbaikan terhadap kesehatan masyarakat dan hewan.

Otoritas kesehatan hewan berkontribusi secara langsung dan nyata terhadap fisik, mental dan kesejahteraan sosio-ekonomi masyarakat, baik dengan cara melindungi kesehatan manusia melalui pencegahan penyakit zoonosis dan pengendalian higiene pangan hewani maupun dengan cara meningkatkan produksi ternak primer dan sekunder.

Dalam perjalanannya, otoritas kesehatan hewan telah menghadapi berbagai tantangan. Tantangan ini berkaitan dengan transformasi global dimana bidang kesehatan hewan dituntut untuk mampu memenuhi permintaan dan peluang yang timbul sebagai akibat pembangunan yang dilakukan masyarakat.

Sejarah di abad yang lalu telah mendorong perubahan nyata di bidang kesehatan hewan, dari peran tradisionalnya yang hanya mengobati hewan dan melindungi kesehatan manusia, ke peran modern yang lebih menekankan kepada keterkaitan antara bidang kesehatan hewan dengan manusia dan lingkungan.

Dalam meningkatkan perannya, otoritas kesehatan hewan harus mengikuti perubahan di bidang kesehatan hewan yang cenderung berubah dari terapi individual ke terapi massal, dari pencegahan individual ke implementasi rencana aksi menyeluruh untuk pemberantasan penyakit hewan. Begitu juga mampu untuk mengantisipasi munculnya penyakit sebagai akibat aplikasi teknologi di bidang produksi ternak, dan pengembangan nutrisi ternak. Selain itu terjadi pergeseran dari yang semula hanya pengamatan patologi ternak di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) ke arah konsep RPH sebagai tempat pengamatan epidemiologi dimana hasil kegiatan budidaya peternakan dapat diverifikasi.

Posisi dalam pemerintahan

Dalam konteks struktur pemerintahan nasional, otoritas kesehatan hewan harus memainkan peran sebagai ’penjamin’ (guarantor). Pelayanan yang diberikan otoritas kesehatan hewan harus mampu menjamin bahwa seluruh persoalan yang berhubungan dengan kegiatan dan kompetensi bidang kesehatan hewan dikelola secara efektif dan sedemikian rupa, sehingga mengedepankan hak dan standar perlindungan kesehatan bagi semua warga negara.

Istilah ’penjamin’ berarti otoritas kesehatan hewan bertindak sebagai pihak ketiga bagi pihak-pihak lain terkait, dan dalam menjalankan fungsi kebijakan harus bersifat independen dan transparan. Peran ’penjamin’ dari otoritas kesehatan hewan harus dianggap sebagai kewajiban institusional. Dengan demikian otoritas kesehatan hewan harus memiliki mandat yang diberikan oleh pemerintah di tingkat nasional untuk mencapai tujuan pembangunan kesehatan hewan dengan sumberdaya yang tersedia.

Untuk memenuhi fungsi kebijakan tersebut, otoritas kesehatan hewan harus mampu menggambarkan transparansi dan kompetensi yang dimiliki, begitu juga kemampuan melakukan intervensi dan tindakan yang memadai serta terukur melalui suatu sistem evaluasi. Sistem evaluasi meliputi organisasi dan manajemen pelayanan, dan harus didasarkan kepada kriteria akreditasi mutu yang mengacu kepada standar jaminan mutu pelayanan internasional.

Globalisasi perdagangan ternak dan hasil ternak

Perjanjian Sanitary and Phytosanitary (SPS) menetapkan bahwa pembatasan terhadap lalu lintas ternak dan hasil ternak dari suatu negara pengekspor yang dianggap tertular penyakit hewan menular tertentu harus dimotivasi oleh perlindungan kesehatan konsumen dan pengamanan kekayaan sumberdaya peternakan dari negara pengimpor.

Dengan perjanjian SPS, setiap negara berhak menerapkan tindakan perlindungan, apabila dianggap perlu untuk melindungi lingkungan dan kesehatan populasi manusia, hewan dan tumbuhan dari setiap bahaya (hazard) yang berasal dari impor. Sepanjang negara pengimpor tidak membuat diskriminasi antara hewan domestik dan impor. Meskipun begitu, tidak ada satu negarapun yang diperbolehkan menerapkan tindakan perlindungan tanpa alasan ilmiah yang sah.

Analisa risiko (risk analysis) digunakan menetapkan dan menjustifikasi suatu tindakan perlindungan tersebut. Analisa risiko menjadi suatu alat yang harus ada dan sangat dibutuhkan (indispensable), baik untuk melindungi publik maupun memastikan bahwa industri pangan agro nasional mempunyai akses ke pasar dunia, sehingga lebih diinginkan dan lebih menguntungkan.

Regulasi internasional menetapkan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (Office International des Epizooties/OIE) dan Codex Alimentarius Organisasi Pangan Dunia (Food and Agriculture Organization/FAO) sebagai kelembagaan teknis yang menerbitkan standar acuan internasional yang digunakan untuk mengevaluasi importasi ternak atau produk ternak dalam kaitannya dengan tingkat perlindungan yang diinginkan.

Namun demikian di sisi lain regulasi tersebut juga menimbulkan hambatan. Tanpa tindakan pengendalian resmi yang efektif oleh otoritas kesehatan hewan, tidak ada satu negarapun yang mampu memiliki akses ke pasar internasional ternak, hasil ternak dan bahan pangan asal ternak.

Kesehatan hewan dan lingkungan

Hubungan antara lingkungan pedesaan dan kegiatan pertanian termasuk peternakan menunjukkan bahwa bidang kesehatan hewan dan lingkungan saling berkaitan erat. Setiap kegiatan pertanian yang intensif akan selalu menghasilkan degradasi lingkungan yang umum (erosi, kebakaran dan sebagainya).

Di samping itu pengendalian yang efektif terhadap kondisi peternakan diperlukan untuk membatasi dan mencegah polusi lingkungan. Apabila konsep populasi diperluas mencakup bukan hanya polutan organik, akan tetapi juga obat-obatan, disinfektan, bakteri patogenik dlsbnya, maka peran otoritas kesehatan hewan akan menjadi semakin fundamental.

Disposal karkas dan sisa-sisa hewan mungkin juga berperan sebagai vektor dalam penularan penyakit dan berdampak terhadap lingkungan. Bentuk-bentuk polutan lain yang perlu diwaspadai, seperti organisme rekayasa genetika (Genetically modified organisms/GMO) dan residu zat-zat berbahaya dalam karkas hewan (logam berat, dioxin dan sebagainya).

Kesejahteraan hewan

Pendekatan etika menyangkut hubungan hewan dengan manusia sangat bervariasi menurut budaya setempat dan bahkan memiliki dimensi ekonomi dan politik. Liberalisasi perdagangan hewan menimbulkan kepentingan untuk menjamin ’tingkat minimum kesejahteraan hewan’ dalam perdagangan internasional, tanpa menimbulkan hambatan perdagangan.

Lima kriteria kesejahteraan hewan yang dianut yaitu bebas dari rasa lapar dan haus, bebas dari ketidaknyamanan, bebas dari rasa sakit, luka atau penyakit, bebas mengekpresikan kelakuan yang normal, bebas dari rasa takut dan tertekan. Dengan lima kriteria ini diharapkan dapat menjamin pengembangan ternak yang optimal.

Kesehatan hewan dan bioterorisme

Banyak senjata biologi yang sifatnya zoonotik, sangat patogen untuk hewan. Kegiatan bioterorisme selain berdampak kepada manusia, implikasinya juga dapat mempengaruhi ekonomi negara. Otoritas kesehatan hewan harus mengembangkan prosedur operasional khusus untuk intervensi cepat, dekontaminasi dan pembangunan kembali kondisi aman.

Kerjasama otoritas kesehatan hewan antar negara diperlukan untuk berbagi keahlian, peralatan dan sumberdaya dalam upaya untuk menahan penyebaran secara cepat dan mengurangi pengaruh dari bioterorisme tersebut.

Mandat di pemerintahan pusat dan daerah

Otoritas kesehatan hewan harus terdiri dari otoritas pusat (centralized agency) yang memiliki peran sentral yang bertanggung jawab dalam penetapan strategi umum, verifikasi dan hubungan internasional, dan otoritas daerah (peripheral agency) yang memiliki kontak langsung dengan pemerintahan daerah yang bertanggung jawab dalam implementasi kegiatan yang ditetapkan oleh otoritas pusat.

Dalam sistem otonomi, otoritas kesehatan hewan daerah dapat melakukan perencanaan kegiatannya masing-masing, tetapi tetap dalam kerangka sistem kesehatan hewan nasional (SISKESWANNAS). Otoritas daerah memiliki tingkat kewenangan tertentu dalam menetapkan lokasi dan struktur, dan bekerjasama dengan pemerintah daerah setempat.

Salah satu kelemahan dari sistem otonomi adalah apabila tidak ada penguatan kelembagaan otoritas pusat untuk melaksanakan pengecekan di tempat (spot checks), sehingga efisiensi daripada otoritas kesehatan hewan daerah dapat berbeda-beda di masing-masing wilayah. Dengan demikian rencana aksi hanya dapat diterapkan secara parsial atau tidak sepenuhnya efektif, dan bahkan tidak dapat diimplementasikan secara cepat.

Dengan demikian otoritas kesehatan hewan memegang posisi yang penting dalam struktur pemerintahan di Indonesia, dalam hal evaluasi dan pengendalian resiko keamanan pangan. Apabila tidak ada suatu kelembagaan khusus tertentu di tingkat nasional untuk hal tersebut, maka dipastikan akan terjadi kesimpangsiuran dalam menetapkan dan menginterpretasikan setiap kebijakan perlindungan dan kesehatan hewan dan manusia yang diperlukan bagi suatu negara. Pada gilirannya, hal ini akan berakibat gagalnya negara tersebut mencapai tingkat keamanan pangan yang diinginkan.

DRH. TRI SATYA PUTRI NAIPOSPOS, MPHIL, PHD
Direktur Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan
Departemen Pertanian

0 Komentar: