Minggu, 14 Maret 2010

Haruskah hewan berkorban untuk manusia setelah penyakit SARS dan flu burung mewabah di Asia?

Tri Satya Putri Naipospos

Salah satu kebiasaan manusia yang hidup di dunia ini adalah melimpahkan tanggung jawab dan mengalihkan kesalahan kepada hewan yang ”voiceless” (tidak mampu bersuara apa-apa) apabila terjadi sesuatu yang buruk menimpa mereka. Hewan tidak akan protes, bahkan mereka juga tidak mampu mengajukan keberatan.

Pemusnahan terhadap musang dalam jumlah cukup besar di China untuk membasmi SARS (severe acute respiratory syndrome), yang secara paralel diikuti dengan pemusnahan besar-besaran terhadap ayam di sejumlah negara Asia untuk memberantas penyakit flu burung mengindikasikan bahwa memang binatang menjadi ’biang keladi’ daripada munculnya penyakit menular yang ditakuti manusia.

Musang saat ini telah dinyatakan sebagai musuh manusia nomor satu di China setelah kasus pertama SARS dikonfirmasi di Provinsi Guangdong pada tanggal 5 Januari 2004. Binatang ini diduga sebagai sumber dari virus yang mematikan ini. Pemerintah daerah Provinsi Guangdong telah memutuskan untuk memberlakukan hukuman mati terhadap binatang ini dan segera pembunuhan dijalankan secara besar-besaran. Puluhan ribu ekor musang telah dimusnahkan sejak jatuhnya vonis tersebut.

Chong Zi dalam artikelnya di China Daily yang terbit akhir minggu ke-tiga Januari 2004 lalu menulis bahwa tidak seperti halnya manusia yang melakukan perbuatan kriminal masih memiliki hak untuk mengajukan banding, hewan berkaki empat atau berkaki dua sebagai mahluk yang sama-sama ciptaan Tuhan tidak memiliki kesempatan seperti itu.

SARS (severe acute respiratory syndrome)

Wabah penyakit SARS sejak beberapa tahun terakhir ini telah merebak di Asia dan menimbulkan kekhawatiran dunia. Sejak itu penyidikan terus dilakukan untuk mencari tahu apakah SARS yang disebabkan oleh virus corona tersebut bersumber dari binatang. Pada akhirnya Badan Kesehatan Dunia (WHO) bersama-sama dengan Departemen Kesehatan China telah menemukan bukti yang kuat bahwa virus SARS memiliki kaitan sangat kuat dengan musang, setelah melakukan penelusuran ke pasar-pasar hewan dan restauran setempat yang menjual makanan hasil laut dan berbagai satwa liar.

Nasib anjing masih lebih beruntung daripada musang mengingat hewan kesayangan ini tidak termasuk dalam daftar yang harus dimusnahkan. Meskipun demikian hewan ini juga mengalami masa-masa sulit tahun 2003 yang lalu terutama pada musim gugur dan awal musim semi pada saat SARS mewabah di China. Beredarnya berita-berita miring bahwa virus ini bisa ditularkan dari hewan kesayangan di rumah tangga kepada manusia menyebabkan banyak pemilik anjing meninggalkan begitu saja hewan kesayangannya di jalan raya.

Masyarakat Provinsi Guangdong terkenal sebagai pemakan segala artinya hampir semua jenis binatang muncul di meja makan mereka. Satu lelucon yang sering diceritakan mengenai penduduk Guangdong adalah mereka makan “apa saja yang bersayap kecuali pesawat terbang, apa saja yang berkaki empat kecuali meja, dan apa saja yang bisa berenang kecuali kapal selam“. Setelah ditemukan virus SARS pada musang yang hampir identik dengan yang ditemukan pada manusia, maka seluruh jenis binatang liar termasuk musang dinyatakan dilarang masuk dalam menu makanan.

Apakah binatang merupakan sumber penyakit bagi manusia?

William H. McNeill pengarang buku ”Plagues and Peoples” menyatakan bahwa banyak dari penyakit menular pada manusia bermula pada hewan, terutama hewan peliharaan. Campak mungkin berkaitan dengan distamper pada anjing, radang otak pada manusia dengan Japanese encephalitis pada babi. Begitu juga penyakit Nipah pada babi, kemudian penyakit Ebola pada kera dan masih banyak lagi penyakit baru (emerging diseases) yang muncul di abad ini. Bukti klinis dan hasil eksperimen telah mendorong para ahli untuk menyatakan bahwa penyakit sapi gila atau bovine spongiform encephalopathy (BSE) juga telah menembus hambatan spesies dari sapi ke manusia.

Penyakit flu burung yang telah merebak di berbagai wilayah di Asia mulai dari China, Vietnam, Korea Selatan, Jepang, Taiwan, Thailand, Pakistan, Indonesia, Kambodya dan Laos oleh WHO pada awal tahun 2004, dinyatakan akan menimbulkan masalah jauh lebih besar daripada SARS. Sebagai reaksi atas timbulnya pandemi Asia tersebut, koordinator regional WHO di Manila - Philippina, Peter Cordingley mengatakan bahwa apabila penyakit flu burung ini bermutasi menjadi virus influenza yang berbahaya bagi manusia maka akan menimbulkan masalah internasional baru yang serius.

Gejala penyakit flu burung apabila menyerang manusia seperti demam dan batuk kemudian diikuti dengan radang paru-paru – sebagaimana halnya SARS – keduanya serupa dengan gejala influenza pada umumnya akan tetapi dampaknya lebih ganas dan fatal. Meskipun tidak pernah ditemukan bukti adanya penularan flu burung dari manusia ke manusia dan disebutkan pula bahwa orang hanya akan terinfeksi apabila kontak dengan kotoran dari ayam yang sakit, akan tetapi apabila virus ini berkembang kemampuannya untuk menyebar melalui kontak manusia maka akan menimbulkan krisis kesehatan global.

Pemusnahan massal (stamping-out)

Dalam keadaan dimana timbul wabah penyakit hewan menular, pemerintah suatu negara berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku berhak memerintahkan tindakan pemusnahan massal (stamping-out). Istilah ‘stamping out’ di dunia peternakan diartikan sebagai pemusnahan ternak secara besar-besaran di suatu daerah tertular tanpa menyisakan satu ekorpun. Luas daerah tertular dinyatakan dalam radius 5-10 km dari lokasi terjadinya wabah. Prosedur ini menekankan pada dilaksanakannya pembunuhan terhadap semua ternak tertular, diduga tertular maupun diduga tercemar.

Dengan demikian kerugian langsung yang akan terjadi akibat pemusnahan massal tersebut adalah besarnya biaya kompensasi atau ganti rugi untuk peternak yang harus disediakan oleh pemerintah. Sedangkan kerugian tidak langsung terjadi akibat negara tersebut tidak bisa melakukan ekspor, tidak memiliki pendapatan akibat kehilangan pasar domestik dan adanya biaya tambahan yang diperlukan untuk pelaksanaan biosekuriti peternakan yang ketat.

Ketika terjadi wabah flu burung di Hongkong pada tahun 1997 yang lalu dimana enam orang tewas, krisis kesehatan global bisa dicegah dengan memusnahkan sekitar 1,4 juta ekor unggas termasuk ayam dan itik. Seperti halnya dengan negara-negara maju di Eropa dan Amerika yang melakukan pemusnahan massal apabila mengalami wabah flu burung, Korea Selatan, Jepang dan Taiwan berhasil mengatasi wabah tersebut dengan cara sama.

Korea Selatan menyatakan setelah munculnya penyakit hewan yang sangat menular ini di 15 wilayah telah melakukan pemusnahan massal terhadap 1,8 juta ekor ayam dan itik. Di Jepang, hampir 35 ribu ekor ayam telah mati atau dipotong akibat flu burung di suatu peternakan di Yamaguchi prefecture. Sedangkan Taiwan menyatakan telah memotong 20 ribu ekor ayam sebagai tindakan pencegahan setelah strain virus flu burung ditemukan di salah satu peternakan disana.

Begitu juga untuk mengatasi flu burung yang berjangkit di negaranya, pembunuhan massal terhadap unggas masih terus dilaksanakan di Thailand dan Vietnam. Sebagian besar wilayah Vietnam (57 dari 64 propinsi) dinyatakan tertular flu burung. Lebih dari seribu peternakan ayam dan itik di Vietnam dinyatakan tertular dan telah menyebabkan kematian dan pemusnahan lebih dari 44 juta ekor. Paling tidak 27 orang dinyatakan telah terinfeksi flu burung dan 20 orang diantaranya meninggal dunia. Meskipun jumlah unggas yang dibunuh di Vietnam sudah cukup tinggi, akan tetapi tetap saja pada bulan Juli 2004 timbul wabah kedua (second epidemic) meskipun dalam skala yang jauh lebih kecil.

Walaupun sudah membunuh lebih dari 50 juta ekor unggas, sampai saat ini Thailand belum juga berhasil keluar dari krisis wabah yang berjangkit di 18 propinsi. Bahkan hal yang dikhawatirkan terjadi yaitu tumbulnya wabah ke-dua pada bulan Juli – Agustus 2004. Sampai saat ini sebanyak 16 orang dinyatakan telah terinfeksi flu burung di Thailand dan 11 orang diantaranya meninggal dunia. Sebagai dampak dari tindakan darurat penanggulangan wabah flu burung di Asia tersebut diperkirakan secara keseluruhan sekitar 100 juta ekor unggas telah menjadi korban.

Pandemi influenza dikaitkan dengan kepadatan populasi

Sebagian besar penyakit menular yang muncul dalam sepuluh tahun terakhir ini disinyalir timbulnya dari sumber hewan. Para ilmuwan mengkaitkan antara hubungan segitiga manusia, burung dan babi dalam penyebaran penyakit influenza. Bukti-bukti telah memberikan kenyataan bahwa sumber paling utama dari keberadaan virus flu burung di suatu wilayah adalah burung liar, biasanya itik air, but gulls dan shorebirds. Dengan demikian pemahaman secara benar mengenai potensi hewan sebagai ’reservoir’ penyakit sangatlah penting dalam setiap penyelidikan penyakit baru.

Para ahli percaya bahwa pola hubungan manusia dengan ternak dan kepadatan penduduk maupun unggas di beberapa negara Asia akan menjadi pemicu untuk bertambah merebaknya flu burung (lihat Gambar 1). Pandemi influenza berikutnya diprediksi akan mengulang kejadian seperti pada saat wabah ’Avian flu’ tahun 1957-1958 dan ’Hongkong flu’ tahun 1967-1968 yang apabila dijumlahkan menyebabkan kematian 4,5 juta orang.


Prospek timbulnya pandemi influenza baru dimulai dari suatu hipotesa yang dikaitkan dengan skenario ’pasar ayam’ (live bird marketing). Pasar ayam yaitu tempat jual beli ayam hidup yang umum didapatkan di pedesaan maupun di kota-kota kecil (lihat Gambar 2). Hipotesa ini didukung oleh studi yang dilakukan di Hongkong dan China daratan yang menunjukkan bahwa virus influenza berhasil diisolasi dari ayam-ayam hidup di pasar-pasar ayam tradisional.


Dengan demikian dianggap pasar ayam tradisional berfungsi sebagai ’amplifier’ virus flu burung. Skenario ini dianggap sangat relevan dengan kehidupan sosial budaya masyarakat di hampir semua negara di Asia yang terkena wabah flu burung saat ini.

Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD, Direktur Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian

0 Komentar: