Kamis, 21 Februari 2013

Urgensi Pendekatan Berbasis Masyarakat dalam Pengendalian Flu Burung dan Rabies

Peringatan Ulang Tahun ke-7 Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS). Seminar Setengah Hari dengan tema “Belajar dari Flu Burung dan Rabies: Perlunya Pengendalian Penyakit Berbasis Masyarakat", diselenggarakan di Bogor, 23 Februari 2013

Oleh: Tri Satya Putri Naipospos

Ki ke ka: Tubagus Arie Rukmantara (Konsultan Komunikasi),
Dr. Pudjiatmoko PhD (Direktur Kesehatan Hewan),
Dr. Luuk Schoonman MSc PhD (FAO), Dr. Mary Elizabeth
Miranda (Global Alliance for Rabies Control),
Drh. Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD (CIVAS)
Pelayanan kesehatan hewan di negara berkembang termasuk juga Indonesia dari dulu sampai sekarang merupakan tanggung jawab pemerintah. Namun selama tiga dekade belakangan ini, kendala ekonomi dan kebijakan penyesuaian struktural mengakibatkan terjadinya penurunan nyata investasi sektor publik. Penurunan yang kemudian menyebabkan rendahnya kualitas dan kuantitas pelayanan kesehatan hewan primer yang harus disediakan bagi para pemilik ternak [1], terutama di pedesaan dan wilayah-wilayah terpencil di luar Pulau Jawa. [5]

Efektivitas pelayanan kesehatan hewan pemerintah di Indonesia sangat terkendala oleh karena terbatasnya jumlah dokter hewan, miskin infrastruktur, dana operasional tidak memadai [2], sistem pemerintahan yang sangat birokratis dan tidak efisien [3], serta otonomi daerah yang kurang kondusif dan belum ideal bagi penyelenggaraan sistem kesehatan hewan nasional (siskeswannas).

Di semua negara berkembang, mayoritas produsen ternak (sekitar 80-90%) adalah skala kecil. Disamping sebagai kekayaan nasional, produksi ternak juga merupakan fungsi penting dalam menentukan tingkat kesejahteraan dan modal sosial bagi sebagian besar penduduk. Oleh karenanya investasi pengendalian penyakit hewan harus ditargetkan pada titik-titik kritis yang bakal menciptakan keuntungan paling besar bagi peningkatan kesejahteraan pihak-pihak terkait yang hidupnya bergantung pada ternak.

Dari pengalaman bertahun-tahun di banyak negara berkembang di Afrika dan Asia, pendekatan dengan menggunakan program-program surveilans penyakit partisipatif dan kesehatan hewan berbasis masyarakat telah dibuktikan efektif dan memenuhi standar internasional Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE). [4]

Tulisan ini bertujuan untuk membahas urgensi pendekatan berbasis masyarakat dalam pengendalian flu burung dan rabies. Definisi ‘urgensi’ dalam kamus diartikan sebagai keperluan yang mendesak atau hal sangat penting. Dengan demikian kunci dari tulisan ini adalah keperluan yang mendesak dan hal sangat penting untuk menjadikan masyarakat atau pihak swasta sebagai mitra kerja penuh dalam setiap intervensi kesehatan hewan. Mitra kerja berarti menjadikan anggota masyarakat bukan sebagai obyek belaka, akan tetapi sebagai subyek yang saling membutuhkan dan saling bergantung satu sama lain.

Jumlah dokter hewan terbatas

Sebagaimana disebutkan diatas, keterbatasan jumlah dokter hewan menjadi salah satu penyebab dari masih rendahnya status kesehatan hewan di Indonesia. Dokter hewan memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang secara kritis diperlukan oleh subsektor peternakan. Dokter hewan bukan hanya diperlukan untuk memastikan terkendalinya situasi kesehatan hewan dan mengawal keamanan produk asal hewan, akan tetapi juga mencegah penularan zoonosis.

Dokter hewan pemerintah memiliki tanggung jawab besar dalam menyediakan pelayanan kesehatan hewan sampai ke tingkat desa, terutama yang bekerja di tingkat kabupaten/kecamatan dan Pos Kesehatan Hewan (Poskeswan). Pada kenyataannya mereka seringkali mengalami keterbatasan dana operasional dalam menjalankan tugasnya dengan baik, sehingga mereka dianggap tidak efisien dan tidak efektif. Pemerintah dan pemerintah daerah tidak bisa mengabaikan pelayanan kesehatan hewan terus menerus, karena masalah penyakit hewan menular terus mengancam populasi ternak dan menimbulkan kerugian ekonomi yang besar. Dalam keadaan normal, biaya kesehatan hewan memang hanya berkisar 10-15% dari biaya produksi, akan tetapi apabila penyakit berjangkit sangat parah maka kerugian ekonomi yang ditimbulkannya bisa mencapai 100%.

Kalau kita melihat perbandingan dokter hewan pemerintah di 10 negara di dunia (lihat Gambar 1), maka posisi Indonesia dilihat dari jumlah dokter hewan per m2 maupun per 100.000 Unit Ternak masih berada di urutan atau peringkat yang lebih baik dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Australia dan juga negara berkembang lain seperti Brazil. Akan tetapi China, India dan negara-negara ASEAN lainnya seperti  Filipina, Thailand dan Vietnam memiliki peringkat yang lebih baik dari Indonesia.

Gambar 1: Perbandingan dokter hewan pemerintah di 10 negara di dunia (2011)
Sumber data: Office Internationale des Epizooties (OIE website;
diakses tanggal 20  Februari 2013)
 
Di masa lalu, peran dokter hewan pemerintah sangat dominan terutama di negara-negara berkembang, oleh karena sistem kesehatan hewan lebih dianggap sebagai ranah sektor publik. [5]  Pada umumnya di negara-negara berkembang seperti China, India, Filipina, Indonesia, Thailand dan Vietnam, jumlah dokter hewan pemerintah masih lebih banyak dibandingkan dengan jumlah dokter hewan swasta.

Di negara maju  yang sistem produksi ternaknya sangat intensif dan privatisasi sudah berlangsung sejak lama, dokter hewan swasta jumlahnya lebih besar daripada di negara berkembang (lihat Gambar 2). Rasio jumlah dokter hewan swasta dibandingkan dokter hewan pemerintah 40 kali lebih banyak di Amerika Serikat dan 20 kali lebih banyak di Australia. Meskipun Brazil masih termasuk negara berkembang tapi memiliki populasi ternak yang besar, jumlah dokter hewan swasta 1,6 kali lipat dari jumlah dokter hewan pemerintah.

Gambar 2: Rasio dokter hewan pemerintah dan dokter hewan swasta  di 10 negara di dunia (2011)
Sumber data: Office Internationale des Epizooties (OIE website;
diakses tanggal 20 Februari 2013)
 
Data yang disajikan dalam diagram lingkaran dibawah ini memberikan indikasi bahwa proporsi jumlah dokter hewan pemerintah dibandingkan dengan tenaga lainnya terkait dengan pelayanan kesehatan hewan di Pulau Jawa paling tidak mencapai sekitar separuh atau 50% (contoh: 47% di DI Yogyakarta dan 56% di Provinsi Banten). Di luar Pulau Jawa proporsi jumlah dokter hewan lebih sedikit dibandingkan di Pulau Jawa yaitu kurang lebih 30% (contoh: 33% di Provinsi Lampung, 27% di Provinsi Bengkulu, 30% di Provinsi Sumatera Barat, 22% di Provinsi Kalimantan Timur). Bahkan proporsi jumlah dokter hewan pemerintah yang tidak berimbang terindikasi di sejumlah wilayah yang jauh dari Pulau Jawa (contoh: 11% di Provinsi Sulawesi Utara).

Gambar 3: Presentase dokter hewan, SNAKMA, SPP di sejumlah Provinsi di Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa

Sumber data: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2013)

Belajar dari flu burung dan rabies

Jumlah dokter hewan dan proporsinya yang tidak memadai terutama di luar Pulau Jawa sesungguhnya dapat dikatakan menjadi salah satu faktor kendala yang membuat kurang berhasilnya penanggulangan flu burung dan rabies di Indonesia selama ini. Dengan melihat ke belakang, kita bisa banyak belajar dari 10 tahun bergumul dengan masalah flu burung dan lebih dari 30 tahun dengan masalah rabies. Disamping sejumlah kemajuan yang berhasil dicapai, harus diakui bahwa masih banyak kelemahan yang perlu diperbaiki ke depan.

Kementerian Pertanian yang mendapatkan bantuan teknis dari Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) dan pendanaan dari United States Agency for  International Development (USAID), telah membangun sistem ‘Participatory Disease Surveillance and Response’ (PDSR) yaitu program nasional pencegahan dan pengendalian flu burung di pedesaan. Program ini pertama kali dipilotkan pada awal 2006 dengan tujuan secara operasional membantu dokter hewan pemerintah dan petugas kesehatan hewan lainnya dalam melakukan deteksi dini dan respon cepat. Kegiatan PDSR dikoordinasikan melalui ‘Local Disease Control Centre’ (LDCC) di tingkat provinsi. [6]

Pembentukan PDSR ini diangkat dari pemikiran rasionil bahwa alat dan proses yang sifatnya partisipatif dapat digunakan sebagai suatu pengunggah untuk mobilisasi cepat dan koordinasi terpadu dalam program pencegahan dan pengendalian flu burung skala besar dan masif seperti di Indonesia. Sampai dengan tahun 2012, ada 30 LDCC yang berfungsi dan kurang lebih 2.500 petugas PDSR telah dilatih dan beroperasi penuh dengan dukungan LDCC di seluruh provinsi di Jawa, Bali, dan Sumatra, ditambah provinsi Sulawesi Selatan. Petugas PDSR dengan cakupan yang lebih terbatas didapatkan di provinsi lainnya di Sulawesi dan Kalimantan. [6]

Sistem PDSR telah meningkatkan kemampuan dokter hewan Indonesia dan petugas lainnya dalam melakukan deteksi dini, pelaporan dan respon cepat terhadap wabah, akan tetapi permasalahan mendasar yang perlu difikirkan adalah bagaimana kesinambungan sistem ini ke depan. Sejak tahun 2012, petugas PDSR juga didayagunakan untuk membantu penanggulangan rabies di Pulau Bali. Isu yang masih belum sepenuhnya tuntas adalah pengalihan tanggung jawab sistem PDSR ke pemerintah daerah dan adovakasi pemerintah daerah untuk kontribusi pembiayaan sistem PDSR.

Kesenjangan yang masih dirasakan sampai saat ini tanpa mengabaikan sejumlah kemajuan yang telah dicapai dari penerapan sistem PDSR diatas, secara umum bisa diidentifikasi sebagai berikut:
  • Deteksi dini (early detection) lemah – banyak kasus tidak terdeteksi tepat waktu.
  • Informasi dari tingkat bawah (bottom-up information) tidak memadai – pelaporan cepat seringkali gagal.
  • Respon di lapangan (early response) terlambat.
  • Masyarakat lebih meningkat kesadarannya, tapi kurang mengetahui apa yang harus diperbuat.
  • Sulit menjalankan tindakan pengendalian (seperti vaksinasi, pemusnahan, biosekuriti dan lain-lain) tanpa kerjasama masyarakat.

Mereka yang harus dilayani

Dalam melayani masyarakat miskin di pedesaan, tidak banyak yang menyadari dan bahkan seringkali tidak ingin menyadari bahwa setiap penyediaan layanan kesehatan hewan haruslah layak secara finansial dan bisa dipertahankan dalam jangka waktu lama. Pada sistem yang ekstensif dimana pemilik ternak tidak menanamkan modal yang besar untuk pemeliharaan ternaknya, maka biaya layanan seorang dokter hewan biasanya tidak sebanding dengan biaya yang dikeluarkan peternak. Studi yang dilakukan di Zimbabwe, Afrika dan juga di Indonesia menemukan bahwa dokter hewan tidak dapat mensuplai pelayanan kesehatan hewan primer di seluruh wilayah studi tanpa subsidi pemerintah yang substansial. [7]

Kenyataannya sikap santai yang ditunjukkan selama ini oleh banyak pemerintahan terutama di negara-negara berkembang, menyebabkan proses privatisasi berjalan secara pasif dan lambat. Sejak lama hal ini memberikan peluang bagi berlangsungnya sistem pelayanan informal dimana pemilik ternak mencari akses langsung terhadap obat-obatan yang tidak memerlukan resep dokter hewan atau mempertahankan cara-cara tradisional seperti meminta bantuan dukun ternak. Seringkali obat-obatan tersebut diaplikasikan kepada ternaknya tanpa informasi yang memadai menyangkut diagnosa penyakit atau regimen pengobatan yang benar. [1]

Di Indonesia, diperkirakan masih ada jutaan rumah tangga miskin yang menggantungkan hidupnya kepada ternak sebagai bahan pangan dan ketahanan ekonomi. Banyak yang kita tidak ketahui mengenai layanan kesehatan hewan yang bagaimana yang sesungguhnya dibutuhkan oleh mereka. Begitu juga hanya tersedia sedikit informasi tentang faktor-faktor apa yang diperlukan untuk meningkatkan kesinambungan kesejahteraan mereka yang hidupnya bergantung pada ternak.

Kehidupan peternak miskin diasumsikan sangat rentan dan seringkali kenyataannya kita tidak mudah memahami bagaimana dan dalam kondisi apa kesejahteraan mereka berada dalam risiko. Oleh karenanya untuk menyediakan teknologi dan layanan kesehatan hewan yang cocok bagi peternak miskin terlebih dahulu diperlukan pemahaman mendasar tentang kaitan antar berbagai faktor penting dalam pengelolaan ternak mereka. [8]

           Gambar 5: Aset segilima (Pentagon asset)

Menurut Bank Dunia (2002), dinamika kehidupan rumah tangga miskin dapat diilustrasikan dalam bentuk “Aset segilima” (pentagon asset)  yaitu: 1) modal sumberdaya manusia (H), 2) modal sumberdaya alam (N), 3) modal finansial (F), 4) modal fisik (P), dan 5) modal sosial (S) (lihat Gambar 4). Kelima aset tersebut menentukan kesinambungan kesejahteraan peternak. [8]

Pada dasarnya rumah tangga miskin dan paling miskin ditandai dengan modal sumberdaya manusia, modal finansial dan modal fisik yang sangat tidak berimbang. Pemberdayaan masyarakat atau setiap upaya yang dilakukan dengan pendekatan berbasis masyarakat bertujuan untuk mengubah masing-masing aset yang dimiliki atau yang ada dalam jangkauan peternak skala kecil ke arah yang lebih seimbang. [8]

Pembangunan dengan pendekatan pengentasan kemiskinan didasarkan atas prinsip-prinsip utama yang menempatkan manusia sebagai titik sentral, partisipatif dengan kegiatan berkesinambungan. Keluaran yang diharapkan dengan menempatkan peternak itu sendiri sebagai aktor utama adalah meningkatnya pendapatan, menurunnya kerentanan, meningkatnya ketahanan pangan dan kemampuan berkelanjutan dalam pengelolaan sumberdaya alam.

Kader kesehatan hewan

Meskipun diakui peran dokter hewan yang kompeten dan profesional sangat esensial bagi sistem kesehatan hewan nasional (siskeswannas), tetapi Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) mengakui peran terkait lainnya seperti “tenaga paramedis veteriner  (dalam OIE Code disebut sebagai “veterinary paraprofessionals”) dimana di dalamnya termasuk kader atau juru kesehatan hewan di tingkat desa. [9]

Untuk banyak negara di Afrika dan Asia, perbaikan siskeswannas (termasuk surveilans penyakit) tidak bisa dicapai tanpa melakukan peningkatan kuantitas dan kualitas dokter hewan di pusat dan daerah, peningkatan kuantitas dan kualitas tenaga paramedis veteriner (pemerintah dan swasta) dan peningkatan keterkaitan antara keduanya. [9]

Pada dasarnya spektrum pelayanan publik di bidang kesehatan hewan dapat dibagi menjadi dua. Pertama adalah pencegahan, pengendalian atau pemberantasan penyakit-penyakit hewan menular strategis yang potensial berdampak terhadap perekonomian nasional melalui kehilangan produksi yang tinggi, kehilangan peluang ekspor atau gangguan ketahanan pangan. 

Individu peternak yang pada umumnya miskin dan termarginalkan serta penyedia layanan kesehatan hewan swasta relatif tidak memiliki kemampuan untuk melindungi ternak terhadap ancaman penyakit-penyakit hewan menular strategis seperti itu yang memerlukan pendekatan nasional atau bahkan internasional dalam pengendaliannya. Kedua adalah penyakit-penyakit zoonosis dan isu-isu kesehatan masyarakat veteriner dan keamanan pangan yang dapat menyebabkan masalah kesehatan yang substansial di masyarakat. [10]

Disamping itu spektrum dari pelayanan meliputi juga penyakit-penyakit yang sifatnya endemis – termasuk parasit internal dan eksternal dan gangguan reproduksi – yang pengendaliannya terutama hanya untuk keuntungan individu peternak. [10]

Seperti disampaikan diatas, ternak merupakan aset utama bagi rumah tangga pedesaan di negara-negara berkembang dan di banyak wilayah dikarakterisasi dengan terbatasnya atau minimnya pelayanan kesehatan hewan. Pendekatan berguna yang semakin dikenal di pedesaan di negara-negara berkembang dalam upaya memperbaiki layanan kesehatan hewan primer dan surveilans penyakit adalah dengan memanfaatkan kader-kader kesehatan hewan (kader keswan). Kader-kader ini dipilih oleh masyarakat dan mendapatkan pelatihan dalam melakukan pencegahan dan pengobatan guna mengatasi masalah-masalah kesehatan secara terbatas. Sekaligus para kader tersebut dapat bertindak sebagai penghubung antara pemilik ternak dengan sistem surveilans penyakit yang dijalankan pemerintah. [11]

Dalam bahasa Inggris, tenaga semacam ini disebut dengan berbagai istilah seperti: village animal health workers (VAHWs), village veterinary workers (VVWs), village livestock workers (VLWs), village livestock agents,  village veterinarians, para-veterinarians atau lebih umum disebut community-based animal health workers (CAHWs).

Sebelum era otonomi di tahun 2000-an, Pemerintah Indonesia pernah memprakarsai dibentuknya kader keswan. Pembentukan ini merupakan salah satu komponen dari pilot proyek yang dilaksanakan di Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara dengan bantuan pemerintah Inggris melalui Department for International Development (DFID). Pilot proyek ini dinamakan “The Decentralized Livestock Services in Eastern Indonesia” (DELIVERI) yang berlangsung selama 5 tahun (1996-2001). [2]

Sumber: DELIVERI Project, Indonesia
Di tahun 1997 telah berhasil dibentuk sebanyak 53 orang kader keswan di Kabupaten Minahasa  (memiliki 1 poskeswan dengan wilayah pelayanan 32 kecamatan 502 desa) dan di tahun 1998 sebanyak 17 kader keswan di Kabupaten Barru (memiliki 1 poskeswan dengan wilayah pelayanan 5 kecamatan 71 desa). Pilot proyek ini cukup populer di kalangan staf pemerintah dan peternak, dan pada dua tahun terakhir dari proyek DELIVERI total kader keswan yang dilatih mencapai 161 orang di 6 lokasi di seluruh Indonesia. Lima provinsi di Pulau Sumatra mencoba mereplikasi model kader keswan ini di 12 kabupaten. [2]

Kemudian satu organisasi internasional non-pemerintah yaitu Heifer Indonesia memprakarsai juga program pelatihan kader keswan berbasis masyarakat (atau disebut: tenaga sukakeswan) bagi lebih dari 350 petani di 200 desa di 4 provinsi (Sumatera Selatan, Lampung, Sumatra Utara dan Nangroe Aceh Darussalam) selama 2001-2008. Dengan mewabahnya penyakit flu burung, keberadaan tenaga sukakeswan ini merupakan satu alternatif yang dapat dikembangkan untuk meningkatkan usaha produksi ternak rakyat. Dari jumlah tersebut pada akhir 2008, 70% masih aktif memberikan pelayanan di tingkat kelompok dan masyarakat sekitarnya. Faktor legalitas merupakan kendala dalam pelaksanaan program ini di lapangan. [12]

Dari pengalaman di negara-negara berkembang lain dan juga di Indonesia, solusi dengan memperkenalkan peran kader keswan seringkali dianggap sebagai ancaman bagi dokter hewan mengingat kecenderungan terjadi deregulasi dan bahkan kemungkinan intervensi terhadap kewenangan medis veteriner. Untuk menghindari hal-hal tersebut, maka perlu diciptakan suatu aturan yang memberikan pengakuan sah bagi kader keswan dan juga penetapan mekanisme hubungan kerjanya dengan dokter hewan.

Seperti halnya profesi dokter hewan, maka status kader keswan harus diotorisasi oleh Badan Statuta Veteriner (Veterinary Statutory Body) yang dibentuk Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI). Kepada kader keswan diberikan hak untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu (bergantung kepada kategorinya dalam tenaga paramedis veteriner/veterinary paraprofessional).

Dalam melakukan pekerjaannya, setiap kader keswan ditetapkan harus memiliki lisensi (diregistrasi), begitu juga ditetapkan standar pendidikan minimum dan standar perilaku profesional-nya. Ketentuan yang bersifat wajib bagi kader keswan adalah harus bekerja di bawah tanggung jawab dan penyelia atau pengarahan dokter hewan. Tabel 1 dibawah ini secara garis besar memuat peran dan tanggung jawab kader keswan dalam pelayanan kesehatan hewan primer. [13]

Tabel 1: Peran dan tanggung jawab kader keswan
*) Dilakukan di Kamboja, Laos, Vietnam dan Myanmar, kecuali Thailand.
Sumber: FAO Regional Workshop on CAHWs in the Mekong region (2009)

Dari penerapan di negara-negara di wilayah Mekong, FAO (2009) mendiskusikan isu-isu apa saja yang bisa mempengaruhi keberlangsungan sistem kader keswan sebagai berikut:
  • Kader yang sudah dilatih pindah tempat tinggal.
  • Motivasi kader tidak bertahan dalam jangka panjang.
  • Tidak adanya regulasi resmi yang mengakui peran kader.
  • Kader tidak diakui oleh masyarakat sekitarnya (tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kader rendah).
  • Sejumlah peternak/rumah tangga desa tidak punya kapasitas untuk membayar, sehingga tidak ada pendapatan yang reguler untuk kader.
  • Sulit mewujudkan peran kader di wilayah-wilayah terpencil.
  • Jumlah pelanggan tidak memadai.
  • Aktivitas dan pendapatan kader tidak reguler.
  • Dukungan pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) rendah (insentif, tindak lanjut, monitoring, pelatihan dan lain-lain).
  • Tidak memadainya rantai suplai obat dan pakan ternak sampai ke desa.

Penutup

Uraian diatas mencoba mengeksplorasi berbagai aspek dan tantangan yang perlu dipertimbangkan oleh para penentu kebijakan dalam upaya untuk menjembatani peralihan dari penyediaan layanan kesehatan hewan yang sepenuhnya oleh pemerintah (public good) ke pengembangan sebagian layanan yang bisa dilakukan oleh masyarakat sendiri melalui pembangunan sistem kader keswan.

Untuk menuju ke sana tentunya diperlukan strategi yang mampu memfasilitasi secara aktif proses pembentukan sistem kader keswan dengan: 1) memasukkan sistem kader keswan dalam kebijakan pemerintah dan fasilitasi pembentukannya; 2) memastikan keterlibatan para pemangku kepentingan (stakeholder engagement); 3) mengembangkan aspek bisnis dalam pelayanan kesehatan hewan (business approach); 4) menciptakan/memperkuat hubungan kelembagaan; dan 5) memasukkan sistem kader keswan dalam peraturan perundangan (legislasi).

Selain itu hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembangunan sistem kader keswan yang diharapkan bisa menjadi predisposisi untuk kesinambungan sistem ini adalah:
  • Kader keswan adalah anggota masyarakat yang memberikan pelayanan kesehatan hewan primer sesuai permintaan dan sifatnya fleksibel.
  • Kader keswan adalah bagian dari sistem pelayanan kesehatan hewan yang menyeluruh mencakup bantuan teknis, rantai dingin suplai obat-obatan dan vaksin.
  • Kader keswan menjadi penghubung antara masyarakat dengan Dinas pemerintah yang menjalankan fungsi kesehatan hewan di tingkat Kabupaten.
  • Kader keswan bergantung kepada tersedianya pelatihan dan ketrampilan teknis dan non-teknis seperti manajemen, bisnis dan komunikasi sederhana.
  • Kader keswan bergantung kepada input (finansial) dari luar untuk memulai pelayanannya.
  • Diperlukan kebijakan yang jelas mengenai pelayanan kesehatan hewan oleh sektor swasta.
  • Kepemilikan masyarakat diperlukan untuk menciptakan akuntabilitas dan mempertahankan kualitas pelayanan kader keswan.

Referensi:
  1. Woodford J.D. (2004). Synergies between veterinarians and para-professionals in the public and private sectors: organisational and institutional relationships that facilitate the process of privatising animal health services in developing countries. Rev. sci. tech. Off. int. Epiz., 2004, 23 (1), 115-135.
  2. Hutabarat T.S.P.N., Gonzales-Levassor D., and Young J. (2000). Delivery of animal health services using a participatory, community based approach in South and North Sulawesi, Indonesia. Proceedings of the 9th International Symposium on Veterinary Epidemiology and Economics, 2000. Available at www.sqiquest.org.nz.
  3. Leksmono C.S. and Young J. (2002). Special Issue: Community-based animal health workers and institutional changes: The DELIVERI Project in Indonesia. http://www.planotes.org/documents/plan_04503.pdf.  
  4. Mariner J.C. (2009). More appropriate disease control policies for the developing world. Onderstepoort Journal of Veterinary Research, 76:135-140.
  5. de Haan C. and Umali D.L. (?). Public and private sector roles in the supply of veterinary services. http://www.rrojasdatabank.info/12agrisym/agrisym133-145.pdf.  
  6. http://www.k4health.org/sites/default/files/FAOSuccessStory_PDSR_2012.pdf.
  7. Peeling D. And Holden S. (2004). The effectiveness of community-based animal health workers, for the poor, for communities and for public safety. Rev. sci. tech. Off. int. Epiz., 2004, 23 (1), 253-276.
  8. Heffernan C. and Misturelli F. The Delivery of Veterinary Services to the Poor: Preliminary findings from Kenya. http://www.cd3wd.com/cd3wd_40/lstock/001/CN/Vet%20Services%20To%20Poor.pdf.  
  9. Improving disease surveillance with animal health workers: Principles and cost-effectiveness (Presentation). In collaboration with: Huy D.T., Chi N.T.H., Edan M., Wessling L., Delquigny T., and Gautier P. Agronomes & Vétérinaires sans frontières (AVSF), Vietnam Office.
  10. Catley A., Leyland T., Mariner J.C., Akabwai D.M.O., Admassu B., Asfaw W., Bekele G., and Hassan H.S. (2004). Para-veterinary professionals and the development of quality, self-sustaining community-based services. Rev. sci. tech. Off. int. Epiz., 2004, 23 (1), 225-252.
  11. Admassu B. (2004). Veterinary para-professionals in supplying animal health services, in particular for surveillance and early warning. http://sites.tufts.edu/capeipst/files/2011/03/Admassu-Cairo-OIE-Oct-2004.pdf.  
  12. Daryono J. (2008). Program pengembangan kader kesehatan hewan berbasis pada masyarakat. Proceedings of KIVNAS. Bogor, Indonesia, 19-22 Agustus 2008.
  13. FAO (2009). Workshop on Community Animal Health Workers (CAHWs) in the Mekong Region: Lessons Learnt and Future Operations. 4-6 February 2009, Bangkok.
*) Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS)

0 Komentar: