Minggu, 14 Agustus 2011

RUMOR WABAH PENYAKIT DI DESA GLOBAL?

Oleh: Tri Satya Putri Naipospos

Siapapun menyadari bahwa komunikasi modern telah memfasilitasi penyebaran informasi yang begitu cepat, baik ilmiah dan jurnalistik tentang kejadian penyakit dimanapun di dunia. World Animal Health Information System (WAHIS) dan ProMED-mail merupakan dua contoh bagaimana informasi mendunia begitu cepat melalui internet. Dunia yang telah berubah menjadi suatu ’desa global’. [1]
 
ProMED-mail
Pada hakekatnya dunia mengalami dua tren penting yang semakin menjadi kenyataan. Pertama, munculnya penyakit-penyakit menular baru dan yang lama tapi muncul kembali (emerging and re-emerging infectious disease), dan ke-dua, era internet yang berkembang begitu cepat dan dramatis. Perkembangan sains, ’worldwide web’ dan pemanfaatan ekstensif surat elektronik (electronic mail) telah secara spontan membangkitkan era komunikasi global. [11]

Dengan tren global seperti ini, maka tentunya sulit untuk mempertahankan sikap negara-negara yang seringkali enggan, tidak transparan atau terlambat dalam menyampaikan informasi wabah penyakit menular, baik karena alasan politik, ekonomi atau perdagangan, ataupun khawatir apabila pemerintahannya terlihat tidak efisien. Kenyataannya ada banyak negara, terutama negara-negara berkembang yang tidak merasakan adanya insentif untuk melaporkan penyakit. [12]

Seperti halnya Indonesia, kalau kita secara jujur mau menengok ke belakang, kolera babi (classical swine fever/hog cholera) sebenarnya sudah didiagnosa pada bulan Juli 1994, akan tetapi diagnosa resmi baru diakui pemerintah pada akhir tahun 1995. [13] Begitu juga flu burung (highly pathogenic avian influenza) yang sudah didiagnosa pada bulan Juli 2003, tetapi baru diumumkan secara resmi oleh pemerintah pada bulan Januari 2004. [14] Dua pembelajaran penting bagi negeri ini mengingat kedua penyakit hewan menular tersebut kemudian menjadi sulit diberantas karena terlanjur meluas.

Globalisasi

Dalam istilah ekonomi sederhana, globalisasi bisa didefinisikan sebagai proses meningkatnya keterkaitan dan ketergantungan pasar dan bisnis dunia. Namun hal ini bukanlah sesuatu ide atau proses yang sama sekali baru. Sekitar tahun 1200-an, Marco Polo saudagar dari Venice, Italia mungkin adalah orang Barat paling terkenal yang melakukan penelusuran sepanjang jalan sutera (’Silk Road’) untuk mencapai istana kerajaan kaisar Kublai Khan didekat yang sekarang dikenal sebagai Beijing, China dengan maksud merambah pasar dan kesempatan bisnis di Asia. [1, 6, 7]

Mengapa kemudian periode saat ini dalam sejarah disebut sebagai ”era globalisasi”? Jawabannya terutama terletak pada kemajuan teknologi yang begitu luar biasa sejak Revolusi Industri, dan khususnya dalam 50 tahun terakhir. Pesawat jet, komputer, internet, dan telepon genggam telah membuat planit kita menjadi lebih kecil, lebih mudah diakses, dan lebih mudah dihubungi karena adanya ketergantungan antar tempat-tempat yang dikunjungi orang. Begitu juga teknologi lebih memudahkan kita untuk melakukan relokasi, melakukan bisnis, memperluas pasar, pertukaran budaya, pertukaran ilmu pengetahuan, berbagi informasi, dan memobilisasi dukungan oleh orang-orang dengan minat yang sama. [1]

Sekarang ini globalisasi secara umum dianggap telah jauh melampaui ruang lingkup pasar dan bisnis, bahkan melingkupi seluruh aspek kehidupan menyangkut teknologi, sosial budaya, politik, dan biologik. Globalisasi bukan hanya menghasilkan banyak keuntungan bagi masyarakat, akan tetapi juga telah menciptakan banyak tantangan baru, dimana sejumlah tantangan tersebut mempengaruhi kesehatan manusia, hewan dan lingkungan. [1]

Seperti diketahui perjalanan di era teknologi modern mengunakan pesawat jet sekarang ini memungkinkan para penumpang untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya di dunia dalam waktu 36 jam – kurang dari masa inkubasi banyak penyakit viral dan bakterial. Ini berarti infeksi dapat menyebar secara global sebelum gejala klinis bisa dikenali. Hal ini digambarkan secara dramatis oleh kejadian wabah severe acute respiratory syndrome (SARS) di tahun 2003 yang menyebar cepat ke 29 negara [1], begitu juga wabah influenza A H1N1 pandemi baru di tahun 2009 menyebar ke 171 negara. [9] Sebagai akibatnya konsep tentang penyakit ’asing’ atau ’eksotik’ menjadi kurang berarti.

Sejumlah besar penyakit sekarang ini berpotensi untuk muncul tanpa disangka dimanapun juga di dunia dan beberapa diantaranya secara cepat menjadi endemik, sebagai contoh infeksi virus West Nile sebelumnya tidak diketahui di Amerika Utara sebelum 1999 akan tetapi infeksinya sekarang ini mencengkeram kuat di sebagian besar wilayah di kontinen tersebut. [1]

Pada dasarnya agar profesi kedokteran hewan dapat mengoptimalkan kegunaan teknologi informasi di era globalisasi ini, maka dokter hewan harus memahami tren global penting yang mempengaruhi kesehatan dan penyakit serta mengembangkan pengetahuan, alat, dan ketrampilan untuk secara efektif merespon tantangan tersebut. [1]

Rumor wabah

Sebagaimana disampaikan sebelumnya globalisasi juga menimbulkan tantangan dan kesempatan baru dalam memerangi penyakit hewan menular dan zoonosis yang berpotensi epidemik atau pandemik. Sebagai hasil peningkatan perjalanan dan perdagangan nasional, regional dan internasional, kejadian lokal tidak lagi bisa terlepas sepenuhnya dari perhatian dan kepentingan internasional.

Di saat yang sama, ekspansi telekomunikasi global yang cepat dan akses luas ke media dan internet telah mengubah cara pandang masyarakat dunia terhadap informasi dan bagaimana menyikapi informasi tersebut. Laporan tentang kejadian wabah penyakit sekarang ini tersebar jauh lebih luas di internet dan lebih mudah diakses dibandingkan dulu. Akibatnya kualitas informasi tidak lagi bisa dikendalikan dan bahkan mungkin saja disajikan keluar dari konteks, sehingga menimbulkan rumor yang pada gilirannya bisa menimbulkan kegelisahan dan kebingungan publik. Rumor yang belum tentu terbukti kebenarannya tersebut malahan dapat mengarah pada munculnya respon tidak tepat yang kemudian pada akhirnya bisa menyebabkan gangguan perjalanan, perdagangan dan pariwisata serta kerugian ekonomi bagi negara yang dinyatakan mengalami wabah. [8]

Peningkatan jumlah pelaporan wabah bisa dianggap menjadi suatu ukuran peningkatan kemampuan diagnosa penyakit, akan tetapi juga sekaligus sebagai suatu konsekuensi dari kemajuan teknologi informasi. Setiap pelaporan kejadian wabah dari manapun sumber informasinya harus dinilai dan disikapi secara cepat dan tepat, sehingga upaya pengendalian bisa segera dimulai atau laporan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya dapat diidentifikasi untuk melindungi suatu negara dari dampak kerusakan ekonomi yang tidak perlu. [8]

Oleh karenanya menjadi sangat penting bagi suatu negara untuk bersikap profesional, transparan, dan efisien dalam menangani dan mengeluarkan informasi mengenai kejadian wabah penyakit yang dialami serta membangun proses untuk memverifikasi secara tepat waktu, sehingga informasi yang tidak benar bisa dikonversi menjadi informasi lebih akurat untuk kepentingan aksi penanggulangan yang cepat dan tepat. [8]

Mengingat informasi penyakit hewan tidak lagi hanya terbatas pada sumber resmi seperti laporan pemerintah ke OIE WAHIS, tetapi juga berasal dari sumber-sumber 'informal' atau 'tidak resmi' (unofficial) seperti laporan wartawan yang kebanyakan awam tentang penyakit hewan (baik media cetak, televisi maupun elektronik) atau dari pelanggan (subscribers) ProMED-mail yang tersebar di seluruh dunia. ProMED-mail sangat independen dan sepenuhnya terlepas dari ketergantungan terhadap pemerintah negara manapun di dunia. Sumber-sumber informasi lainnya yang tidak resmi seperti website, blog, YouTube, dan milis yang begitu tersebar luas di internet. Pertanyaannya adalah apakah berbagi informasi di internet dan penggunaan sumber informasi yang informal atau tidak resmi seperti ini bisa diharapkan mempercepat deteksi penyakit-penyakit baru muncul? [3]

Database penyakit

Informasi yang tersedia secara global memberikan kesempatan terutama bagi dokter hewan pemerintah untuk memahami secara lebih baik pola penyakit baru muncul dan bertindak cepat dalam memprakarsai penyidikan penyakit dan upaya pengendaliannya. [1] Dokter hewan dianggap memainkan peranan signifikan dalam memonitor penyakit-penyakit baru muncul tersebut, karena mereka adalah titik sentral dalam pemahaman tentang perilaku agen penyakit baru dalam populasi hewan dan lingkungannya. [17]

Begitu juga harapan publik agar pemerintah bertindak cepat dan tepat dalam melakukan upaya pengendalian dan pemberantasan penyakit hewan menular dan zoonosis. Cakupan media yang intens dan harapan publik yang tinggi terhadap pemerintah menandakan bahwa pemerintah harus memiliki rencana pengendalian yang efektif dan dukungan sumberdaya memadai, serta dapat mengkomunikasikan risiko penyakit kepada publik dengan jelas dan efisien.

Namun komunikasi semacam ini juga dapat menimbulkan dampak buruk serius terhadap persepsi konsumen menyangkut keamanan pangan asal hewan, dengan konsekuensi ekonomi yang bisa sangat merugikan bagi produsen. Cakupan media yang ekstensif tersebut akan meningkatkan kebutuhan akan komunikasi risiko pemerintah yang harus dilakukan secara tepat, bertanggung jawab, dan efektif. [1]

Informasi tentang status penyakit suatu negara terutama mengenai pemutakhiran data penyebaran geografis penyakit bisa diperoleh dari berbagai database yang tersedia di internet untuk konsumsi publik (public domain), seperti daftar dibawah ini. Meskipun sumber-sumber seperti ini tidak melalui penjurian seperti halnya dengan literatur ilmiah, akan tetapi database dimaksud tetap menawarkan kelebihan dari ketersediaan data yang layak dipercaya tentang situasi penyakit yang cepat berubah. [16]

Daftar database penyakit yang bisa diakses di internet
1. Nama database: WAHID Interface
    Website: World Animal Health Information Database
                  (http://www.oie.int/wahis/public.php?page=home)
    Nama organisasi: World Organization for Animal Health (OIE)
2. Nama database: GAR
    Website: Global Alert and Response (http://www.who.int/csr/en/)
    Nama organisasi: World Health Organization (WHO)
3. Nama database: ProMED-mail
    Website: Program for Monitoring Emerging Diseases (http://www.promedmail.org/)
    Nama organisasi: International Society for Infectious Diseases (ISID)
4. Nama database: EMPRES-i
    Website: Emergency Prevention System for Transboundary Animal Diseases
                  (http://empres-i.fao.org/empres-i/home)
    Nama organisasi: Food and Agriculture Organization (FAO)
5. Nama database: GLEWS
    Website: Global Early Warning System and Response for Major Animal Diseases and
                  Zoonoses (http://www.glews.net/)
    Nama organisasi: FAO, WHO dan OIE


Satu hal yang agak unik dari ProMED-mail dibandingkan dengan database lainnya adalah karena database ini merupakan suatu sistem pelaporan berbasis ’web’ dan ’e-mail’ yang didedikasikan untuk penyebarluasan informasi tentang wabah penyakit menular dan kasus pendedahan toksin akut yang mempengaruhi kesehatan manusia, hewan, dan tanaman baik untuk pangan atau pakan. [3] 


Sejak awal pembangunan ProMED-mail didasarkan atas konsep sederhana di dalam fikiran para pendirinya yaitu bagaimana melayani kesehatan masyarakat global dengan bertindak sebagai sistem peringatan dini bagi munculnya wabah penyakit-penyakit baru. [11] ProMED-mail didirikan tahun 1994 dengan hanya 40 pelanggan pada waktu itu. [4]

Komunikasi elektronik memungkinkan ProMED-mail untuk menyediakan informasi terbarui yang dikompilasi dari berita-berita resmi, informal maupun tidak resmi yang diverifikasi melalui sistem moderasi. [5] ProMED merupakan layanan tanpa bayar dengan pelanggan saat ini mencapai sekitar 55.000 orang sekurang-kurangnya di 185 negara. [3]

ProMED-mail fokus kepada penyakit-penyakit yang dinyatakan baru atau tidak diketahui sebelumnya, kejadian wabah dan kemunculan penyakit-penyakit di wilayah baru atau terjadi di populasi induk semang baru. [4] Fokus ProMED-mail yang mencakup kesehatan manusia, hewan, dan tanaman sangat pas dengan konsep ’One Health’. [5]

Kewajiban melapor

Sebagai salah satu negara anggota Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (World Organization for Animal Health/Office Internationale des Epizooties) sejak tahun 1954, maka Indonesia wajib melaporkan setiap wabah penyakit yang terjadi di wilayah negaranya. [15] Negara-negara anggota wajib menotifikasi kepada OIE semua penyakit-penyakit hewan utama termasuk zoonosis yang terjadi di wilayah negaranya, seperti yang tercantum dalam Statuta Organisasi OIE Artikel 5 dan Bab 1.1 dari OIE Terrestrial Code dan Bab 1.1 dari OIE Aquatic Code (Notification of diseases and Epidemiological information).

Dua macam sistem yang dibangun oleh OIE yaitu:
(1) sistem kewaspadaan dini (OIE’s early warning system); dan
(2) sistem monitoring (OIE’s monitoring system).

Sistem kewaspadaan dini OIE meliputi:
(1) notifikasi segera (immediate notification) untuk melaporkan wabah, infeksi baru dan kejadian luar biasa sekurang-kurangnya dalam waktu 24 jam setelah kejadian pertama;
(2) laporan mingguan (weekly/follow-up report) sebagai tindak lanjut notifikasi segera untuk menyampaikan perkembangan situasi epidemiologi yang terjadi setiap minggu; dan
(3) laporan akhir (final report) apabila wabah sudah berhasil diatasi atau situasi penyakit menjadi endemik. [2]

Sistim monitoring OIE meliputi:
(1) laporan enam bulanan (six monthly report) tentang ada atau tidak adanya penyakit yang termuat dalam daftar penyakit OIE Code (disebut: “OIE listed diseases”); dan
(2) laporan tahunan (annual report) yang merupakan penggabungan informasi yang disajikan dalam laporan enam bulanan.

OIE Headquarter in Paris
WAHIS (World Animal Health Information System) merupakan sistem informasi penyakit hewan internasional yang dkembangkan oleh OIE sejak tahun 2005. Setelah itu mulai 2010 telah diggunakan WAHIS versi baru. Pada dasarnya, setiap delegasi negara anggota yang resmi diberi akses dengan login dan password. Dalam hal ini, delegasi negara anggota tersebut diberi kemungkinan untuk menciptakan akses ke WAHIS bagi orang-orang yang ditunjuknya. Dengan demikian orang yang diberi kewenangan dan tanggung jawab tersebut yang harus melaporkan informasi diatas secara elektronik ke OIE. [2]

Dengan WAHIS yang on-line, maka setiap negara anggota memiliki metoda notifikasi yang lebih mudah dan cepat dalam menyampaikan informasi penyakit hewan dan sanitari lainnya yang memenuhi standar internasional OIE. Dengan sistem on-line tersebut, kesalahan atau keterlambatan dalam notifikasi bisa diminimalkan. Selain itu, negara anggota mendapatkan keuntungan dari kepercayaan dan keamanan sistem tersebut.

Disamping itu keuntungan lain bagi negara anggota dengan adanya WAHIS dan WAHID di internet adalah memperoleh akses informasi penyakit hewan dari seluruh dunia yang esensial dan bermanfaat untuk tujuan perlindungan kehidupan dan kesehatan manusia dan hewan, serta keamanan perdagangan internasional hewan dan produk hewan. [2]

Saran ke depan

Dengan mempertimbangkan bahwa penyakit hewan maupun zoonosis tidak mengenal batas-batas negara dan wilayah, maka saran ke depan adalah para dokter hewan Indonesia untuk juga mempelajari epidemiologi, gejala klinis dan diagnosa dari sejumlah penyakit-penyakit yang tidak ada di negara ini atau yang biasa disebut penyakit eksotik – setidaknya untuk masa ini. [1] Ini meliputi penyakit-penyakit sangat menular yang menyerang hewan/ternak, seperti penyakit mulut dan kuku (PMK), peste des petits ruminants (PR), African swine fever, West Nile virus, bovine spongiform encephalopathy (BSE), Nipah/Hendra virus, ebola, rift valley fever (RVF) [10] dan lain sebagainya.

Dengan mengutip sebagian prinsip Manhattan ”One World One Health” (OWOH) yang diartikulasi oleh para dokter hewan World Conservation Society (WCS) bahwa ”mengatasi ancaman saat ini dan masalah di masa depan tidak bisa dicapai dengan pendekatan lama”. [1] Oleh karenanya cara-cara lama seperti terlambat mendiagnosa dan melaporkan wabah penyakit hewan menular sudah terbukti tidak mengarahkan kita pada solusi masalah, akan tetapi justru semakin meningkatkan ketidakpastian situasi penyakit dan kompleksitas interaksi antara penyakit dengan hewan, manusia, dan ekosistemnya.

Saat ini diperlukan perubahan pola fikir para dokter hewan bahwa ”teknologi modern telah merubah dunia menjadi desa global dan kejadian lokal semakin berdampak global”. [1] Munculnya penyakit hewan menular baru dan perkembangan teknologi informasi menuntut kita untuk secara kolektif lebih proaktif dalam melakukan surveilans dan respon penyakit.

Tantangan kita dalam mengatasi penyakit hewan menular bukan hanya terletak pada terbatasnya kemampuan dalam melakukan diagnosa, penyidikan, surveilans, vaksinasi, kompensasi ternak, karantina dan hal-hal teknis lainnya, akan tetapi juga lemahnya penerapan prosedur standar operasi (SOP) dan praktek yang baik (Good Practices), lemahnya peraturan perundangan veteriner yang kita miliki dan implementasinya, kurang harmonisnya kerjasama dan kemitraan antara pemerintah dan swasta, serta lemahnya partisipasi masyarakat dalam mendukung penerapan prinsip-prinsip kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner.

Satu hal yang juga harus dibangun oleh para dokter hewan baik sebagai individu atau organisasi adalah tanggung jawab sosialnya untuk mempengaruhi prioritas dan perspektif pengambil keputusan kunci, penentu anggaran/penyandang dana dan politisi dalam mendukung tugas dan kewenangan profesi kedokteran hewan. Untuk itu dokter hewan berdasarkan pengetahuan, ketrampilan dan pengalamannya harus membuktikan diri dan bersikap sebagai sumberdaya berharga yang bisa dimanfaatkan oleh pemerintah dan masyarakat dalam memainkan peranan yang potensial dalam penanganan penyakit-penyakit baru muncul dan zoonosis, baik dalam konteks lokal, nasional, regional maupun global. [18]

Referensi:

[1] Sherman D.M. (2010). A Global Veterinary Medical Perspective on the Concept of One Health: Focus on Livestock. ILAR Journal, 51(3): 281-287.
[2] Berlingieri F. (?) World Animal Health Information System and Database. Deputy Head, Animal Health Information Department, OIE. [Presentation]
[3] Webber P. (?) ProMED: Monitoring Emerging Disease Outbreaks Through Unofficial Sources. http://www.webertraining.com/
[4] Madoff L.C. (2004). ProMED-mail: An Early Warning System for Emerging Diseases. SURFING THE WEB. CID 2004:39 (15 July), pp. 227-232.
[5] Woodall J., Madoff L.C., Bodenheimer A., Cowen P., Damrongwatanapokin T., Ekue F., Garland T., Hugh-Jones M., Shimshony A., and Yuill T. (2010). ProMED-mail and ONE HEALTH. Reprinted from One Health Newsletter Winter Issue, January 2010. http://www.onehealthinitiative.com/publications/ProMED%2520article2.pdf
[6] http://geography.about.com/cs/marcopolo/a/marcopolo.htm
[7] http://www.silk-road.com/artl/marcopolo.shtml
[8] Grein T.W., Kamara K-B.O., Rodier G., Plant A.J., Bovier P., Ryan M.J., Ohyama T., and Heymann D.L. (2000). PERSPECTIVE. Rumors of Disease in the Global Village: Outbreak Verification. Emerging Infectious Diseases, 6(2): 97-102.
[9] http://news.bbc.co.uk/2/hi/8083179.stm
[10] Naipospos, T.S.P. (2005). Kebijakan Penanggulangan Penyakit Zoonosis Berdasarkan Prioritas Departemen Pertanian. Prosiding Lokakarya Nasional Penyakit Zoonosis, Balai Penelitian Veteriner, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan p. 23-27.
[11] Madoff L.C., and Woodall J.P. (2005). REVIEW ARTCLE. The Internet and the Global Monitoring of Emerging Diseases: Lessons from the First 10 Years of ProMED-mail. Archives of Medical Research 36: 724-730. doi: 10.1016/j.arcmed.2005.06.005.
[12] Moore S.S. (2007). MARKET WATCH. Global Infectious Disease Surveillance And Health Intelligence. HEALTH AFFAIRS – 26(4): 1069-1077. DOI 10/1377/hlthaff.26.4.1069
[13] Hutabarat, T.S.P.N., and Ketut Santhia, A.P. (2009). The Distribution and Control Strategies of Classical Swine Fever in Indonesia. ACIAR Proceedings, pp.111-115.
http://www.aciar.gov.au/files/node/318/PR094%20part%208.pdf
[14] http://dailyuw.com/news/2005/oct/20/indonesia-accused-of-hiding-ignoring-bird-flu/
[15] Departemen Pertanian (2005). Profil Keanggotaan Indonesia Pada Lembaga/Organisasi Internasional. http://sac-ina.org/Downloads/profil_negara_donor.pdf
[16] Arzt J., White W.R., Thomsen B.V., and Brown C.C. (2010). Agricultural Diseases on the Move Early in the Third Millennium. Veterinary Pathology 47(1): 15-27.
[17] Hugh-Jones M. (2001). Global Awareness of Disease Outbreaks: The Experience of ProMED-mail. PUBLIC HEALTH REPORTS. Supplement 2. Volume 116, pp. 27-31.
[18] Sherman D.M. (2005). Featured Article: Tending Animals in the Global Village. JVME, 32(2): 156-162.

*) Penulis bekerja di Food and Agriculture Organization of the United Nations di Vientiane, Laos

2 Komentar:

Danang D. Cahyadi [Reply] mengatakan...

Lalu, apakah saat ini pemerintah sudah begitu transparan dan cepat tanggap terhadap informasi kasus penyakit di daerah, Dok? Belajar dari banyak pengalaman kasus di Indonesia, salah satu cntohnya AI sebagai penyakit yang "susah" diberantas sampai saat ini, dimana dulu saat pertama kali muncul, justru diumumkan sebagai ND... apakah alasan politik dan ekonomi masih tetap diterima oleh profesi?

Tri Satya Putri Naipospos [Reply] mengatakan...

@Danang D. Cahyadi Wah mengenai pertanyaannya, saya tidak bisa jawabnya. Teman-teman sejawat yang sekarang bekerja di pemerintahan mungkin bisa ditanya. Saya setuju, pengalaman kasus lalu seharusnya jadi pelajaran ke depan. Oke Danang, semoga sebentar lagi jadi dokter hewan handal. Disain grafis di blognya luar biasa!