Sabtu, 06 Agustus 2011

Pertanian, tradisi dan Antraks

Gambar 1: Sebaran kejadian wabah antraks di seluruh dunia. Di sebagian negara-negara berkembang, kejadian antraks adalah fakta yang tetap dekat dengan kehidupan manusia. [10]

Oleh: Tri Satya Putri Naipospos

Ada dua hal interpretasi teknis mengganggu tentang penyakit antraks yang kadangkala terbaca di pemberitaan media di Indonesia. Pertama, disebut tentang virus antraks, ke-dua antraks dalam konteks bioterorisme. Padahal antraks adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman atau bakteri, bukan virus. Antraks adalah penyakit yang terjadi secara alamiah, harus dibedakan dengan teror antraks sebagai perang biologis yang secara sengaja diciptakan manusia.

Antraks sebenarnya bukanlah penyakit menular, karena tidak menular antar hewan atau antar manusia. Penyakit ini sudah dikenal sejak zaman purbakala, akan tetapi baru mendapatkan perhatian dunia yang begitu besar setelah serangan bom bioteroris antraks di Amerika Serikat pada musim gugur tahun 2001. Antraks lebih merupakan penyakit ternak dan satwa liar dengan penyebaran di seluruh dunia (lihat Gambar 1). Namun demikian penyakit ini bisa merepresentasikan bahaya ke manusia, terutama apabila terjadi di wilayah terbuka dengan kondisi iklim yang tidak lazim. [1]

Di Indonesia, kejadian antraks merupakan hal yang biasa terjadi setiap tahun. [2] Serangan antraks di awal tahun 2011 ini di Kabupaten Boyolali dan Sragen, Provinsi Jawa Tengah merupakan kejadian alamiah yang berulang dan bisa saja terus berulang selama spora antraks masih terus hidup dalam tanah. Ke-dua kabupaten tersebut terjangkit antraks kembali dalam waktu yang tidak terlalu lama, meskipun di lokasi kecamatan yang berbeda. Kabupaten Boyolali mengalami kejadian antraks pada 2009 [2] sedangkan Kabupaten Sragen pada 2010 [3], dan dilaporkan hanya menyerang ternak sapi. [3, 4, 5]

Sejak 1970-an, daerah endemis antraks di Indonesia meliputi 11 provinsi yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Barat, Jambi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Papua. [6, 7] Sejarah mencatat bahwa kejadian antraks pada orang di daerah-daerah endemis tersebut selalu berkorelasi dengan peristiwa antraks pada ternak, maka tidak bisa tidak pendekatan ”One Health” harus dilakukan untuk mengatasi masalah antraks yang secara signifikan terkait dengan kesehatan dan kehidupan ekonomi masyarakat. [8, 9]

Pertanyaannya apakah mungkin antraks dapat diberantas dari suatu wilayah, kalau dikatakan spora antraks bisa bertahan hidup dalam tanah untuk jangka waktu lama? Menurut literatur spora antraks bahkan bisa bertahan sampai 60-70 tahun lamanya.

Modus penularan

Penyebab antraks adalah bakteria Bacillus anthracis yang diidentifikasi oleh Robert Koch pada tahun 1876. Penemuan ini membuktikan apa yang kemudian dikenal sebagai”teori kuman” (germ theory) atau "Postulat Koch". Teori ini dijadikan model penting untuk penelitian penyakit menular lainnya dan tetap relevan sampai saat ini. Kemudian Pasteur di tahun 1881 menemukan vaksin yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya antraks, sehingga setelah itu dimulailah periode baru yang dikenal sebagai “era vaksin”. [1, 10]

Ternak yang peka terhadap serangan antraks pada umumnya adalah ternak pemakan tumbuh-tumbuhan (herbivora), seperti sapi, kerbau, kambing, domba, dan kuda. Dari data antraks di Indonesia, kejadian pada ternak sapi jauh lebih banyak dilaporkan daripada ternak lainnya.

Gambar 2: Bacillus anthracis
Kuman antraks adalah organisme berbentuk batang yang sifatnya aerobik, gram positif, tidak bergerak, dan mampu membentuk spora (lihat Gambar 2). Dalam kondisi tidak kondusif untuk tumbuh dan memperbanyak diri, maka kuman akan mulai membentuk spora. Untuk pembentukan spora diperlukan keberadaan oksigen bebas.

Dalam situasi alamiah, siklus vegetatif terjadi dalam lingkungan rendah oksigen dari induk semang terinfeksi, dan dalam tubuh induk semang organisme tersebut secara khas berada dalam bentuk vegetatif. Begitu berada di luar tubuh induk semang, spora mulai terbentuk dengan terdedahnya bentuk vegetatif terhadap udara. Bentuk spora esensialnya adalah fase eksklusif di lingkungan. [11]

Sudah sejak lama diketahui, bahwa ternak umumnya tertular karena spora antraks tertelan pada saat digembalakan atau merumput. Dalam tubuh hewan terinfeksi, spora ini mengalami perbenihan yang menghasilkan bentuk vegetatif yang kemudian memperbanyak diri, dan pada akhirnya bisa membunuh ternak tersebut. Bentuk vegetatif dalam proporsi tertentu dikeluarkan pada saat ternak menjelang ajal atau oleh bangkai ternak ke lingkungan sekitarnya (biasanya tanah di bawah bangkai). Spora kemudian menunggu untuk ditelan oleh ternak lainnya dan hal ini bisa berlangsung kapan saja, mulai dari waktu kurang satu jam sampai beberapa dekade kemudian. [11]

Meskipun belum pernah diteliti di Indonesia, lalat dianggap mempunyai peran penting dalam menyebarkan antraks secara mekanis terutama pada situasi wabah hebat di daerah endemis. Kebanyakan lalat pengigit (biting flies) dari spesies Hippobosca dan Tabanus bertindak sebagai penular yang bertanggung jawab terhadap terjadinya perluasan wabah besar di Zimbabwe pada 1978-1979, dimana lalat meloncat dari satu komunitas ternak ke komunitas lainnya. Lalat makan cairan tubuh bangkai ternak terjangkit antraks dan kemudian mendepositkan feses atau muntahan yang mengandung kontaminan kuman dalam jumlah besar pada helai daun pepohonan dan semak-semak di sekitarnya. [11]

Manusia tertular antraks baik secara langsung maupun tidak langsung. Tiga modus penularan antraks ke manusia yang umum diketahui sejak lama yaitu melalui kulit, melalui pencernaan, dan melalui pernafasan. Antraks kulit (antraks kutaneus) biasanya menjangkiti orang yang melakukan penjagalan, pengulitan atau pembedahan karkas terinfeksi atau juga penanganan kulit, wol atau bulu hewan yang terkontaminasi spora antraks. Umumnya penyakit terjadi setelah kuman atau spora masuk ke jaringan kulit melalui luka lecet/luka tergores. Dimulai dengan lepuh kecil, kemudian secara cepat membentuk bisul bernanah dan setelah itu menjadi koreng berwarna hitam (black scab). [10]

Antraks pencernaan atau antraks lambung (antraks gatro-intestinal) biasanya ditularkan akibat kuman atau spora yang tertelan lewat mulut. Biasanya akibat makan daging terinfeksi yang tidak dimasak secara matang dari ternak lokal atau satwa liar. Penularan dari ternak lokal umum terjadi di negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) dimana tidak dilakukan pemeriksaan daging atau vaksinasi ternak sesuai dengan kaidah kesehatan masyarakat veteriner dan kesehatan hewan yang benar.

Antraks pernafasan (antraks pulmonal) akibat terhirupnya spora antraks yang sangat kecil sekali, dengan diameter 1-5 mikron. Biasanya kasus ditemukan pada para pekerja pabrik wol, akan tetapi dari statistik antraks di dunia pernah juga tercatat menyerang seorang pemain bola, seorang pekerja konstruksi yang menangani kain wol terkontaminasi, seorang perempuan yang memainkan alat musik bongo terbuat dari kulit ternak terinfeksi, dan seorang perempuan lain yang tinggal dekat dengan pabrik penyamakan kulit. Namun demikian, tingkat kejadian antraks pernafasan di negara-negara industri tetap rendah dan tidak dianggap sebagai masalah kesehatan masyarakat. [10]

Pada manusia, angka fatalitas kasus (case fatality rate) dari antraks kulit biasanya hanya 20% apabila tidak diobati. Sedangkan pada antraks pencernaan berkisar antara 25-75%, dan antraks pernafasan biasanya sangat fatal (100%).

Antraks pencernaan biasanya berlangsung 2-5 hari setelah makan daging terinfeksi dengan gejala mual, muntah-muntah, demam, sakit abdominal dan diare, diikuti dengan toksemia sistemik, syok dan kematian pada 25-75% kasus. Antraks pernafasan terjadi antara 1-5 hari tanpa gejala spesifik, kelelahan, sakit otot, demam, diikuti dengan gangguan pernafasan hebat secara tiba-tiba dengan gejala kesulitan bernafas, kebiruan, dan suara pernafasan abnormal akibat tersumbatnya sebagian jalan nafas, mengarah kepada syok mematikan yang biasanya berakibat fatal. [10, 12]

Antraks pertanian

Kata antraks berasal dari bahasa Yunani yang berarti batu bara (coal) atau arang kayu (charcoal). Antraks memiliki berbagai macam nama, baik menurut gejala klinis yang ditimbulkannya, menurut pekerjaan yang dilakoni oleh para penderita antraks, atau menurut lokasi dimana bakteri antraks banyak ditemukan. Menurut gejala klinis yang ditimbulkan, nama tersebut antara lain bisul/borok ganas (malignant pustule/malignant carbuncle), radang limpa (spleen sickness) karena ternak yang terserang antraks limpanya membengkak dan gembur, atau penyakit karbon (charbon) karena koreng kehitaman pada kulit penderita antraks.

Gambar 3: Sapi mati mendadak (Soloraya Online)
Sedangkan menurut pekerjaan para penderita, nama lain untuk antraks adalah penyakit penyortir wol (woolsorter’s disease) atau pengumpul kain wol (ragpicker’s disease) karena para pekerja tersebut tertular melalui spora antraks yang terhirup melalui hidung. [2]

Nama menurut lokasi dimana kasus antraks ditemukan tidak begitu umum digunakan, tetapi pas untuk kepentingan penulisan ini karena relevan dengan negara berkembang, yaitu antraks pertanian (agricultural anthrax) atau antraks non-industri (non-industrial anthrax). Pada umumnya masalah negara berkembang adalah antraks yang berjangkit di daerah pertanian dimana kebanyakan penduduknya memelihara ternak.

Berbeda dengan antraks yang dikaitkan dengan pendedahan terhadap wol domba atau bulu kambing yang diproses menjadi benang di industri tekstil dan karpet, begitu juga kulit sapi yang diproses menjadi produk kulit atau tulang yang digunakan di industri gelatin dan/atau pupuk. Kasus antraks seperti ini ditemukan lebih umum di negara-negara maju, oleh karenanya disebut antraks industri (industrial anthrax). [10]

Mengingat bentuk vegetatif kuman antraks tidak dapat bertahan di luar tubuh induk semang ternak atau manusia hidup, maka pada kenyataannya bentuk ini cepat mati dalam bangkai ternak. Siklus penularan bergantung secara primer pada tanah pertanian yang bertindak sebagai reservoir spora antraks. Pada saat awal terbentuk, spora bisa menjadi sangat resisten dan tidak aktif (dormant), akan tetapi dalam periode pendedahan terhadap lingkungan tanah yang berlangsung lama dapat membuat spora mulai berubah. Salah satunya adalah kandungan kalsium dalam tanah bisa meningkatkan tingkat ketidakaktifan spora. [13]

Seperti halnya di negara-negara lain, kasus antraks di Indonesia lebih banyak terjadi pada sistem pemeliharaan ternak yang dilepas untuk merumput pada waktu siang hari, dibandingkan dengan ternak yang dikandangkan terus menerus dan diberi pakan (barn anthrax). [24]

Suatu penelitian menunjukkan potensi penularan antraks oleh tanaman palawija yang tumbuh di tanah yang terkontaminasi spora antraks. Kasus antraks di daerah-daerah endemis seringkali terkait dengan kebun yang ditanami palawija seperti jagung, singkong, tebu, atau juga yang tumpang sari. Pernah ada suatu penelitian yang menemukan bahwa 92% tanaman jagung yang tumbuh di lokasi tanah yang terkontaminasi dengan spora antraks dinyatakan kultur positif terhadap B. anthracis dari batang sampai ke ujung daun. [11] Begitu juga tanah pertanian di sekitar saluran irigasi dimana ternak merumput merupakan faktor risiko bagi terjangkitnya antraks, oleh karena spora antraks cenderung suka mengapung pada air yang mengalir atau air yang berkumpul dalam satu lokasi tertentu. [25]

Pada dasarnya wabah antraks seringkali terjadi selama berbulan-bulan di cuaca panas dan iklim yang kering. Dalam hal ini, iklim kemungkinan mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung cara bagaimana ternak kontak dengan spora antraks. Sebagai contoh, selama periode kering ternak merumput lebih dekat dengan tanah oleh karena kebanyakan tanaman atau vegetasi menjadi layu dan juga meranggas, sehingga membuka lebih besar kemungkinan spora antraks tertelan oleh ternak. Begitu juga pola perilaku musim meningkatkan kemungkinan pendedahan terhadap spora antraks. [13] Terjadinya wabah antraks dilaporkan seringkali didahului dengan perubahan ekologi atau iklim yang jelas, seperti banjir atau hujan yang diikuti dengan kekeringan. [11, 24]

Ada banyak faktor yang mempengaruhi daya tahan hidup spora antraks di alam. Daya tahan hidup spora dipengaruhi oleh pH, pergerakan air, temperatur, kelembaban, dan kandungan nutrisi dalam tanah. [13, 24, 25]. Daya tahan tersebut meningkat dalam tanah yang mempunyai tingkat keasaman pH >6.0 dan temperatur lingkungan >15.5oC. Sinar matahari (radiasi ultra violet) dan faktor lingkungan lainnya bisa menginaktivasi spora. [13]

Tradisi penyembelihan ternak

Meskipun kejadian antraks juga terjadi di negara-negara maju, tetapi seringkali dikaitkan dengan penyakit negara berkembang. Suatu hal yang sangat umum dan menjadi suatu tradisi atau kebiasaan dimana peternak pedesaan di negara berkembang (termasuk di Indonesia) cenderung melakukan penyembelihan ternak yang kedapatan mati mendadak demi alasan ekonomi. Begitu juga tradisi lain di pedesaan seperti memasak daging ternak yang kurang matang, sehingga kuman atau bakteri tidak seluruhnya mati.

Tradisi ini sangat sulit dihilangkan mengingat juga bahwa ternak di negara berkembang di pedesaan pada umumnya tidak disembelih di tempat-tempat pemotongan resmi (rumah pemotongan hewan). Suatu situasi yang biasanya tidak bisa dilepaskan dari sosio-antropologi masyarakat pedesaan yang kebanyakan hidup dalam kondisi miskin secara ekonomi maupun sosial.

Risiko nyata yang harus mereka terima apabila menangani bangkai ternak mati mendadak atau mengkonsumsi daging ternak sakit akibat antraks seringkali diabaikan meskipun sadar akan adanya aturan yang melarang penyembelihan atau pengkonsumsian seperti itu. Sikap pemilik ternak didorong oleh kebutuhan mempertahankan nilai ekonomi yang bisa diperolehnya dari daging, kulit dan produk ternak lainnya. [13]

Tradisi yang sama ditunjukkan pada kejadian antraks di Kabupaten Boyolali dan Sragen. Di Kabupaten Boyolali, antraks terjadi awal Januari 2011 di Desa Tangkisan, Kecamatan Klego, dimana seekor sapi mendadak jatuh, kemudian kejang dan mati. Pemilik sapi memutuskan menyembelih dan menjual daging sapi tersebut ke warga setempat sebanyak 40 bungkus. Beberapa hari kemudian didapatkan 6 warga yang mengeluh gatal, bengkak dan adanya lesi basah dan kehitaman di daerah bawah mata, tangan dan tungkai kaki. [16] Secara keseluruhan, 9 orang kontak dengan sapi yang mati tersebut dan 2 diantaranya menderita antraks pencernaan.

Kabupaten Boyolali merupakan daerah penghasil produk berbahan baku utama yang berasal dari sapi, mulai dari susu segar, dendeng, abon, kulit dan rambak (kerupuk yang dibuat dari kulit sapi). [14, 15] Kejadian antraks tidak perlu dikhawatirkan akan menganggu bisnis dan penjualan produk sapi tersebut apabila penanganan kasus pada ternak serta komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang antraks dilakukan dengan benar. [15]

Dibandingkan dengan Kabupaten Boyolali, penyebaran antraks jauh lebih ganas dan meluas di Kabupaten Sragen, meliputi 4 kecamatan (Tanon, Miri, Kalijambe dan Gemolong). [5] Di Kabupaten Sragen terjadi awal Mei 2011 di Desa Sambiwudur, Kecamatan Tanon, dimana seekor sapi kedapatan mati mendadak. Ciri-ciri yang terlihat pada bangkai sapi, lidah terjulur dan berbusa, serta dari liang dubur keluar darah. [17]

Gambar 4: Balai Besar Veteriner Wates
(drh Samkhan) mengambil sampel di desa Brojol [33]
Selanjutnya kejadian yang sama juga di Kabupaten Sragen pada Mei 2011 di Desa Brojol, Kecamatan Miri dimana dilaporkan 13 warga terjangkit antraks kulit. [17, 18] Dua warga pasangan suami istri di desa ini terpapar antraks dengan gejala bengkak pada bagian mata, kulit gatal-gatal, badan panas dan muntah-muntah, dan harus dirawat di rumah sakit setempat. Dari hasil uji yang dilakukan terhadap warga Desa Brojol, sedikitnya 11 orang dinyatakan positif antraks setelah mengkonsumsi daging sapi mati. [19]

Setelah itu dilaporkan kembali adanya 2 ekor sapi mendadak jatuh, kejang-kejang dan mati di 2 desa yang berbeda di Kabupaten Sragen pada Juni 2011. Satu ekor di Desa Kalimacan, Kecamatan Kalijambe dan satunya lagi di Desa Tegaldowo, Kecamatan Gemolong. [20]

Menurut petugas, bangkai sapi di Desa Kalimacan tersebut menunjukkan beberapa tanda antraks seperti kondisi dubur merejan dan keluar darah, mulut berbusa dan kelenjar limpa membengkak. Namun demikian, sapi mati tersebut sempat disembelih oleh pemiliknya dan nyaris dijual ke pedagang daging. Penjualan daging berhasil digagalkan oleh petugas, sehingga tidak sempat menular ke manusia. Sapi yang mati mendadak di Desa Tegaldowo juga menunjukkan bangkai dengan mulut berbusa, akan tetapi dubur tidak mengeluarkan darah layaknya bangkai sapi dengan tanda antraks. [20]

Tradisi semacam ini bukan menjadi rahasia lagi mengingat kejadian-kejadian antraks sebelumnya di Indonesia juga diawali dengan penduduk yang makan daging terinfeksi antraks. Pada 2009 lalu, di Kelurahan Tamangapa, Kecamatan Manggala, Makasar, Provinsi Sulawesi Selatan dilaporkan 25 ekor sapi dan kerbau mati yang kesemuanya dinyatakan positif terkena antraks. Penyembelihan yang dilakukan di RPH Tamangapa dimana ternak tersebut mati sempat diantisipasi petugas, sehingga tidak menimbulkan korban jiwa. Daging berasal dari kerbau yang sakit berhasil dicegah keluar dari RPH untuk dijual ke pasar setempat. [21]

Kejadian antraks dan dampak larangan penjualan daging keluar RPH bagi kota Makasar menimbulkan persoalan yang cukup peka, oleh karena daging dibutuhkan untuk bahan baku masakan khas yang sangat dikenal di sana yaitu ”Coto Makasar”, disamping makanan yang disebut ”Pallubasa” (daging kuah memakai kelapa goreng) dan ”Konro” (sop tulang). [21]

Antraks kembali menyerang Provinsi Sulawesi Selatan pada 2010, kali ini di Desa Tenrigangkae, Kecamatan Manadai Kabupaten Maros. Dalam kurun waktu 2 minggu, 5 ekor sapi mati terjangkit antraks dan 3 orang terkena antraks kulit. Seluruhnya ada 55 orang yang mengkonsumsi daging terinfeksi antraks, meskipun tidak semuanya terjangkit antraks. [22]

Data retrospektif

Mengingat kemampuan spora antraks bertahan hidup untuk jangka waktu lama bahkan berpuluh-puluh tahun di suatu wilayah bahkan pernah dilaporkan mencapai 200 tahun [23], menyebabkan pemberantasan atau pembasmian antraks menjadi suatu hal yang tidak mungkin dicapai. Dengan demikian tidak ada satu negarapun di dunia yang bisa mengklaim bahwa wilayahnya absolut bebas dari kuman antraks. [24]

Kalau data retrospektif tentang kejadian antraks di Indonesia diapresiasi dan didokumentasi dengan baik, maka upaya ini akan mendukung program pencegahan dan pengendalian penyakit, khususnya di daerah endemik. [29] Contohnya seperti di Kabupaten Boyolali sendiri, wabah antraks berulang setelah 29 tahun kemudian (kejadian terakhir pada 1990 pada suatu peternakan besar sapi perah). [31] Begitu juga di Makassar, kejadian berulang dengan catatan kejadian pada 1980, 2005 dan 2009, sedangkan di Kabupaten Maros pada 1984, 2005 dan 2010. [21, 32]

Data retrospektif bisa berdasarkan ”desa tertular” yang ditetapkan sebagai unit epidemiologi. Dengan begitu, desa-desa dimana pernah dilaporkan terjadi kasus antraks harus diidentifikasi dan dicatat menurut waktu kejadiannya, kemudian juga data geo-koordinat dari lokasi dengan GPS (Global Positioning System) dan dilakukan pemetaan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (GIS). Kabupaten-kabupaten dengan kejadian berulang dikategorikan sebagai ”wilayah panas” (hotspot) antraks dimana program vaksinasi secara reguler harus dilakukan.

Risiko terulangnya kejadian antraks sama sekali tidak mudah untuk diprediksi, oleh karena seringkali detil informasi dimana lokasi karkas ternak terinfeksi dikuburkan tidak pernah diidentifikasi. Kemudian tidak tersedia data penelitian tentang dosis infektif yang diperlukan untuk menimbulkan penularan baik melalui terhirup maupun tertelan oleh ternak yang bervariasi menurut patogenesitas kuman dan lokasi geografis dimana terjadi wabah antraks. [24]

Kadangkala kasus-kasus antraks di Indonesia sulit terdeteksi apabila penyakit sudah lama tidak terjadi lagi. Kesulitan diagnosa bukan hanya disebabkan oleh karena tidak tersedianya data retrospektif yang akurat, tetapi juga apabila tidak terlihat adanya petunjuk berupa gejala antraks yang khas atau patognomonis seperti keluarnya darah hitam dan kental dari lubang-lubang kumlah (mulut, hidung, mata, telinga, dubur, vulva) atau juga kurangnya terlihat tanda-tanda ’rigor mortis’ (kekejangan sebelum mati). Hal yang seringkali mendorong terjadinya keterlambatan diagnosa yang kemudian mengarah kepada potensi terdedahnya korban manusia dan konsekuensi pengobatan antibiotik. [24, 26]

Gambar 5: Penguburan bangkai sapi dalam tanah
(Solo Pos)
Setiap hewan yang mati didiagnosa antraks, bangkainya sama sekali tidak boleh dibuka atau dilakukan pemeriksaan pasca mati (post mortem), mengingat oksigen di udara akan masuk ke dalam tubuh hewan yang sudah terpotong tersebut dan kemudian mendorong terbentuknya spora. Apabila bangkai ternak tidak dibuka, maka bentuk vegetatif dari kuman antraks akan hancur bersamaan dengan bangkai karena tidak resisten seperti halnya bentuk spora. [28]

Oleh karenanya tindakan disinfeksi, dekontaminasi dan disposal dari bangkai yang didiagnosa antraks atau produk ternak yang terkontaminasi menjadi prosedur yang sangat penting untuk dilakukan dengan benar. Upaya ini akan membantu pembersihan suatu daerah dari kuman antraks dan juga membantu pemutusan siklus penularan antraks secara lokal. [11, 29]

Penutup

Sejumlah ahli menyatakan bahwa manifestasi antraks dalam populasi ternak merupakan suatu interaksi kompleks yang terjadi di antara organisme penular, spesies induk semang dan lingkungan. Tingkat resistensi terhadap B. anthracis bervariasi antar dan antara spesies ternak. Malahan strain kuman antraks serta tingkat virulensinya lebih bervariasi lagi dan berkaitan satu sama lain seperti ’causal web’, dimana berbagai faktor penyebab yang ada di sekitar lingkungan wabah berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan akibat yang ditimbulkannya. [27]

Untuk menekan sedapat mungkin kejadian antraks agar tidak terulang kembali, maka sangat perlu bagi otoritas veteriner setempat melakukan berbagai upaya yang akan menjadi bagian dari program pencegahan dan pengendalian antraks. Penyuluhan untuk peningkatan kesadaran masyarakat (public awareness) sebaiknya didahului dengan melakukan survei KAP (pengetahuan, sikap dan praktek) untuk menilai persepsi masyarakat tentang antraks. Begitu juga bagi daerah-daerah dimana diterapkan vaksinasi antraks pada ternak, perlu dilakukan survei silang sekat (cross sectional) untuk menilai cakupan vaksinasi dan mengukur tingkat kekebalan populasi.

Keberhasilan otoritas veteriner dalam melaksanakan program pencegahan dan pengendalian antraks dapat diukur dari tingkat partisipasi masyarakat dalam melaporkan ternaknya yang sakit, dalam kegiatan vaksinasi, dan tindakan yang dilakukan apabila terjadi antraks. [30] Begitu juga diukur dari kesiapan petugas kesehatan hewan di lapangan dalam mendeteksi, mengkonfirmasi dan melaporkan kasus antraks secara cepat ke otoritas veteriner setempat. [11]

Referensi:

[1] Fasanella A., Galante D., Garofolo G., and Jones M.H. (2010). Anthrax undervalued zoonosis. Veterinary Microbiology 140, 3-4. doi:10.1016/j.vetmic.2009.08.016.
[2] Alhamira (2011). Antraks, Endemi yang Tak Kunjung Usai! Tulisan untuk buletin WDK Medicinus FK Unpad edisi Maret 2011. http://mylearningissue.wordpress.com/2011/04/10/antraks-endemi-yang-tak-kunjung-usai
[3] http://regional.kompas.com/read/2011/05/26/20265382/Kena.Antraks.Sapi.Dan.Kambing.Diisolasi
[4] http://bela-bangsa.com/index.php/lintas-nganjuk/20-sragen-klb-antraks-pasar-daging-sapi-nganjuk-sepi-pembeli
[5] http://www.harianjoglosemar.com/berita/60-tahun-antraks-ancam-sragen-44266.html
[6] Sjahrurachman A. (2007). Antraks. Cermin Dunia Kedokteran No. 154: 24-28.
[7] http://kbi.gemari.or.id/beritadetail.php?id=1669
[8] WHO (1996). Anthrax: Memorandum from a WHO meeting. Bulletin of the World Health Organization
[9] Solfaine R. (2011). Ancaman Anthrax di Indonesia. http://koranopini.com/detil.php?x67gQu=29-2011-06-04
[10] http://www.history-magazine.com/anthrax.html
[11] WHO, FAO, and OIE (2008). Anthrax in humans and animals. Fourth Edition. WHO Library Cataloguing-in-Publication-Data. ISBN 978 92 4 154753 6.
[12] http://www.who.int/vaccine_research/diseases/zoonotic/en/index1.html
[13] Erickson M.C., and Kornacki J.L. (?). Implications to Contamination of Food with Bacillus anthracis: A White Paper. University of Georgia, Center for Food Safety, Griffin, G.A., U.S.A. http://www.ugacfs.org/faculty/Erickson/AnthraxWhitePaper.pdf
[14] http://id.wikipedia.org/wiki/Petis
[15] http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2011/02/26/78874
[16] http://www.mediaindonesia.com/read/2011/02/02/206129/124/101/Wabah-di-Boyolali-Merupakan-Antraks-Tipe-Kulit
[17] http://news.okezone.com/read/2011/05/23/340/459963/sapi-mati-lagi-serangan-antraks-di-sragen-meluas
[18] http://jateng.tribunnews.com/2011/05/23/antraks-di-sragen-dinyatakan-klb
[19] http://www.jogjatv.tv/berita/26/05/2011/warga-sragen-terpapar-antraks
[20] http://www.radarjogja.co.id/.../20224-antraks-terus-menyerang-sragen-.html
[21] http://202.169.46.231/News/2005/11/27/Nusantar/nus01.html
[22] http://rindamiskandarmuda.mil.id/penyakit-mematikan-antraks-muncul-di-maros/
[23] De Vos V. (1990). The ecology of anthrax in the Kruger National Park, South Africa. Salisbury Medical Bulletin, 68S:19-23.
[24] Lewerin S.S., Elvander M., Westermark T., Hartzell L.N., Norstom A.K., Ehrs S., Knutsson R., Englund S., Andersson A-C., Granberg M., Backman S., Wikstrom P., and Sandstedt K. (2010). Anthrax outbreak in a Swedish beef cattle herd 1st case in 27 years: Case report. Acta Veterinaria Scandinavia, 52:7
[25] Dragon D.C. and Rennie R.P. (1995). The ecology of anthrax spores: Tough but not invincible. Can Vet J Volume 36:295-301.
[26] Lembo T., Hampson K., Auty H., Beesley C.A., Bessell P., Packer C., Halliday J., Fyumagwa R., Hoare R., Ernest E., Mentzel C., Mlengeya T., Stamey K., Wilkins P.P., and Cleaveland S. (2011). Serologic Surveillance of Anthrax in the Serengeti Ecosystem, Tanzania, 1996-2009. Emerging Infectious Diseases, 17(3): 387-394. DOI:10.3201/eid1703.101290.
[27] Woodbury M. (2010). Anthrax and the Causal Web. Western College of Veterinary Medicine, Saskatoon, Saskatchewan, Canada S7N 5B4. http://www.usask.ca/wcvm/herdmed/specialsotck/bison/Anthrax%20causal%20web.html
[28] Jayachandran R. (2002). Anthrax: Biology of Bacillus anthracis. Current Science, 82(10): 1220-1226.
[29] Adji R.S. dan Natalia L. (2006). Pengendalian Penyakit Antraks: Diagnosis, Vaksinasi dan Investigasi. Wartazoa, 16(4): 198-205.
[30] Putra A.A.G., Zuhudin L., Dartini N.L., Sagung Dewi A.A., Arsani N.M., dan Butarnutar R.M. (?). Wabah Antraks di Kabupaten Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat pada tahun 2004. Balai Penyidikan Veteriner Denpasar dan Dinas Peternakan Provinsi NTB. http://www.docstoc.com/docs/28596582/WABAH-ANTRAKS-DI-KABUPATEN-SUMBAWA-PROVINSI-NUSA-TENGGARA-BARAT
[31] Jainudin H.A. (2011). Fakta Dibalik Penetapan Kejadian Luar Biasa Antraks di Boyolali, Jawa Tengah. http://imakahi.wordpress.com/2011/04/09/1927/
[32] http://www.tempointeraktif.com/hg/nusa/2010/01/28/brk,20100128-222156,id.html
[33] http://www.solopos.com/2011/sragen/bbvet-jogja-ambil-sampel-tanah-di-desa-brojol-98153

*) Penulis bekerja di Food and Agriculture Organization of the United Nations di Vientiane, Laos

0 Komentar: