Kamis, 14 April 2011

Penyakit Flu burung? Sudah biasa!

KOMPAS, SENIN 12 APRIL 2011 - RUBRIK OPINI

Oleh Tri Satya Putri N

Penyakit flu burung mah sudah biasa. Itulah reaksi masyarakat menghadapi maraknya kasus kematian unggas di sejumlah wilayah Tanah Air.

Padahal, ada empat korban dikonfirmasi meninggal dunia akibat flu burung dalam kurun tiga bulan pertama 2011. Meningkatnya intensitas kasus lebih dikaitkan dengan musim dan perubahan iklim di tengah makin berkurangnya perhatian pemerintah dan masyarakat terhadap dampak flu burung dan banyaknya isu nasional lain yang tak kalah pentingnya.

Indonesia bersama China dan Vietnam yang dianggap "wilayah panas" (hotspot) flu burung berpotensi jadi pusat pencetus pandemi dunia. Meski kasus di sebagian besar negara yang tertular di Asia, termasuk Indonesia, cenderung turun dibandingkan puncak wabah 2004-2005, flu burung masih jadi prioritas tinggi dalam isu kesehatan global. Flu burung unggas yang merebak kembali di 12 provinsi pada awal tahun ini menunjukkan, peperangan melawan penyakit ini sesungguhnya belum selesai. Sekecil apa pun fluktuasinya, ancaman terhadap kesehatan manusia masih terus berlanjut. Dengan keberadaannya yang telah memasuki tahun kedelapan, ajakan hidup sehat berdampingan dengan virus flu burung akan kontraproduktif jika tujuan akhir menargetkan Indonesia bebas dari penyakit ini.

Tidak vaksinasi lagi

Pemerintah menghentikan program vaksinasi massal gratis akhir 2007. Sejak itu tak ada lagi alokasi dana untuk vaksinasi dan kompensasi bagi unggas-unggas yang dimusnahkan. Faktor pendorong kebijakan pemerintah waktu itu adalah sejumlah temuan kurang efektifnya penggunaan vaksin di lapangan. Juga kendala penyaluran uang kompensasi yang tak bisa digunakan sebagai insentif bagi peternak yang segera melaporkan kejadian flu burung.

Padahal, dalam situasi endemik saat konsentrasi dan tingkat sirkulasi virus masih tinggi, populasi di sektor perunggasan rakyat dan ayam belakang rumah cukup rentan, terlebih di musim hujan. Sebaliknya sektor perunggasan komersial yang menggunakan vaksin dalam kuantitas besar dan tanpa dikoordinasi secara formal oleh pemerintah berhasil menurunkan tingkat kejadian penyakit dan menekan kerugian ekonomi. Kenyataannya di lapangan, serangan virus masih terus terjadi secara periodik di semua sektor meski kasus kematian berkurang.

Vaksinasi jelas harus dibarengi strategi lain, seperti biosekuriti dan pengawasan lalu lintas unggas. Jika prosedur benar dan dibarengi pemantauan pascavaksinasi dan surveilans, vaksinasi mampu menurunkan tingkat infeksi pada populasi unggas. Implikasinya bisa menurunkan tingkat probabilitas terdedahnya manusia terhadap virus.

Sirkulasi virus

Hasil sejumlah penelitian memperlihatkan tingkat sirkulasi virus di lingkungan sangat ekstensif. Pelimpahan atau pendedahan virus terjadi ke jenis hewan lain seperti babi, anjing, kucing atau berbagai jenis burung, meski tanpa gejala dan saat ini bukan ancaman bagi manusia. Virus telah berevolusi dan beradaptasi terhadap lingkungan sekitar sebagai akibat tekanan berbagai faktor, seperti vaksinasi, kepadatan populasi unggas, keberadaan carrier itik, curah hujan, dan kekeringan. Begitu juga agregasi unggas, terutama di pasar unggas hidup, menyebabkan kemampuan virus menyebar jadi jauh lebih efisien.

Virus juga telah mengontaminasi berbagai media lingkungan peternakan, baik air, tanah, maupun peralatan lewat kotoran atau leleran unggas. Penyebaran virus bergantung bagaimana kita memahami epidemiologi dan ekologi virus serta faktor risikonya untuk kepentingan penyampaian komunikasi risiko yang mudah dipahami masyarakat, sekaligus menetapkan aksi pencegahan.

Setiap negara dengan pendekatan vaksinasi harus memikirkan kebijakan resmi tentang kapan penghentian vaksinasi (exit strategy) dilakukan. Ditambah penetapan secara progresif kompartemen atau zona bebas bergantung pada sistem produksi unggas. Sampai kini kita belum punya cetak biru penanggulangan menuju pembebasan.

Kendalanya, ketidakterbukaan industri perunggasan konglomerasi yang menguasai 70% pangsa pasar domestik dalam melaporkan kasus flu burung. Apapun alasan ekonomi yang dikemukakan, tetap akan membuat tujuan akhir bebas tak bakal tercapai. Mata rantai produksi dan pemasaran yang kait mengait dan tumpang tindih antarsektor serta keengganan sektor ayam potong untuk vaksinasi seharusnya mendorong pemerintah pegang rentang kendali antarsektor secara profesional dan tak hanya fokus pada ayam belakang rumah seperti selama ini.

Melihat kenyataan pelaksanaan vaksinasi unggas yang tak berkesinambungan dan sektor perunggasan tersandera kebijakan pemerintah yang tak tuntas dan tak utuh, sulit melihat prospek pemberantasan nasional flu burung jangka pendek dan mungkin juga jangka panjang. Pemerintah secara serius perlu segera kaji ulang keseluruhan program vaksinasi mulai dari seleksi bibit vaksin, monitor variasi antigenik, logistik, infrastruktur, biaya, sampai kemitraan pemerintah-swasta. Keputusan berani harus diambil untuk memilih vaksin yang mampu meminimalkan risiko timbulnya variasi antigenik sedemikian rupa untuk membantu menurunkan kecepatan mutasi virus.

Tri Satya Putri N Bekerja di Food and Agriculture Organization of the United Nations di Vientiane, Laos

1 Komentar:

ibnu putra [Reply] mengatakan...

tulisan yang menarik Bu Dokter