Rabu, 05 Januari 2011

Medik Konservasi dan Ecohealth sebagai pendekatan transdisiplin dalam kesehatan hewan

Peringatan Ulang Tahun ke-5 Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies (CIVAS). Seminar Setengah Hari dengan tema “Pendekatan Ecohealth dalam Pengendalian Emerging dan Re-emerging Infectious Diseases” diselenggarakan di Bogor, 8 Januari 2011

Oleh: Tri Satya Putri Naipospos

Pendahuluan

Penyakit-penyakit menular baru muncul (emerging infectious diseases) dikenal sebagai salah satu ancaman nyata terhadap kesehatan manusia dalam 30 tahun belakangan ini. Penyakit-penyakit baru muncul tersebut baik meluas secara cakupan geografis; berpindah dari satu spesies hospes ke yang lain; meningkat dalam dampak atau keganasannya; mengalami perubahan patogenesis; atau disebabkan oleh patogen yang berevolusi. [1]

Dari kiri ke kanan: Drh Winda Digna (CIVAS), Drh Pudjiatmoko PhD (Direktur Kesehatan Hewan, Kementan), Prof Drh Wiku Adisasmita MSc PhD (FKM UI), Dr Jeffrey Gilbert (Coordinator Eco-ZD, ILRI Laos), Dr Rita Kusriastuti MSc (Direktur P2B2, Kemenkes), Drh Tri Satya Putri Naipospos MPhil PhD (CIVAS), Drh Wiwiek Bagja (Ketua Umum PDHI), Prof Dr Drh Bambang Ponco Priosoeryanto MS (FKH IPB), Drh Anak Agung Gde Putra MSc PhD (BBV Denpasar) dan Dr Drh Hardiman MM (Kepala BBP Veteriner Bogor)

Sejumlah penyakit menular baru muncul tersebut relatif hanya berdampak kepada sebagian kecil populasi manusia, akan tetapi merepresentasikan proporsi ancaman tertentu karena tingkat kasus fatalitasnya yang tinggi dan belum tersedianya vaksin atau terapi yang efektif. Contohnya seperti demam hemmorhagic Ebola, Nipah encephalitis atau Lassa fever. Penyakit lainnya seperti Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS) dan virus influenza telah menyebabkan timbulnya pandemi dan bertanggung jawab terhadap tingkat morbiditas dan mortalitas tertentu. [1]

Semua penyakit-penyakit menular baru muncul tersebut bersifat zoonosis dan sekitar 75% dari yang menyerang manusia disebabkan oleh patogen yang zoonotik (ditularkan dari hewan ke manusia). Saat ini perang melawan kemunculan penyakit-penyakit tersebut merupakan kunci dari upaya-upaya kesehatan masyarakat secara nasional dan global. Meskipun sampai saat ini upaya-upaya tersebut masih dihalangi oleh banyaknya patogen yang tidak diketahui dan belum muncul. [1]

Sumber: Morse (1993)
Di dunia ini diasumsikan ada sekitar 50,000 spesies vertebrata, masing-masing dengan 20 jenis virus yang sifatnya endemik. Ada kurang lebih satu juta virus vertebrata, dimana 99,8% dari virus tersebut tetap punya kesempatan untuk kemudian ditemukan. Semua agen patogen ini sangat berpotensi untuk memunculkan zoonosis di masa mendatang (Gambar 1).

Wabah baru yang disebabkan oleh patogen zoonotik terjadi hampir setiap tahun dengan konsekuensi serius terhadap kesehatan manusia dan ekonomi global. Sebagai contoh, virus corona penyebab Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) telah menyebabkan 700 orang meninggal di seluruh dunia dan kerugian 50 milyar dollar terhadap ekonomi global pada tahun 2003. Penyakit ini kemudian terbukti bersumber dari satwa liar. [1]

Kemunculan penyakit-penyakit baru tersebut dianggap sebagian besar dipicu oleh faktor-faktor sosio-ekonomi, lingkungan dan ekologi. Meskipun belum ada studi komparatif yang secara eksplisit menganalisis hubungan tersebut untuk memahami pola-pola penyebaran menurut waktu (temporal) dan geografis (spasial) dari penyakit-penyakit ini secara global. Suatu analisa terhadap database 335 jenis penyakit menular baru muncul antara tahun 1940 sampai 2004 memperlihatkan bahwa pola kejadian secara global berlangsung secara acak. [3]

Analisa tersebut juga dijadikan dasar dalam mengidentifikasikan wilayah-wilayah dunia dimana penyakit-penyakit menular baru muncul bersumber atau seringkali disebut ‘wilayah panas’ (hotspot). Disamping itu analisa tersebut juga berhasil mengungkapkan bahwa risiko substansial dari zoonosis satwa liar (wildlife zoonotic) dan yang ditularkan melalui vektor (vector-borne zoonotic) bersumber dari wilayah-wilayah bergaris lintang atau berlatituda rendah dimana kenyataannya upaya pelaporan penyakit memang sangat memprihatinkan. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa sumberdaya global untuk melawan kemunculan penyakit-penyakit menular baru tidak dialokasikan secara efektif, oleh karena mayoritas upaya-upaya ilmiah dan surveilans difokuskan justru kepada negara-negara yang bukan menjadi sumber penyakit-penyakit menular baru muncul. [3]

Kemunculan zoonosis satwa liar dan yang ditularkan lewat vektor

Dalam tahun-tahun terakhir ini, para ahli mulai melebarkan ruang lingkup penelitiannya dengan menggunakan kriteria penyakit menular baru muncul yang menyerang manusia. Dari pengamatan ini, berhasil diidentifikasi penyakit-penyakit baru yang ditularkan oleh satwa liar laut dan daratan, hewan domestik dan tanaman. [1]

Pada kenyataannya kejadian penyakit menular baru muncul meningkat secara temporal dan spasial. Puncaknya terjadi tahun 1980-an, bersamaan dengan meningkatnya insidensi HIV/AIDs secara global. Data tersebut menunjukkan bahwa 61,4% kejadian penyakit menular baru muncul ditularkan dari hewan (zoonosis), 75,3% diantaranya bersumber dari satwa liar. Zoonosis dari satwa liar mencapai proporsi tertinggi dalam dekade terakhir. [3]

Penyakit menular baru muncul yang menyerang manusia, satwa liar dan tanaman dihubungkan dengan dua karakteristik umum. Pertama, penyakit-penyakit tersebut mengalami proses yang tidak pernah putus, baik dalam bentuk insidensi yang terus meningkat, jangkauan hospes atau geografis yang terus menyebar, atau patogenisitas, virulensi dan faktor-faktor lainnya yang terus berubah.

Kedua, proses perubahan tersebut hampir selalu dipicu oleh sejumlah perubahan lingkungan antropogenik dalam skala luas (contohnya deforestasi, perambahan pertanian, pemekaran daerah urban) atau perubahan akibat struktur populasi manusia (contohnya meningkatnya densitas penduduk dikaitkan dengan urbanisasi) atau perubahan perilaku (contohnya meningkatnya penggunaan obat, perubahan praktek-praktek medik, intensifikasi pertanian, perdagangan internasional). Antropogenik dalam hal ini diartikan sebagai konversi ruang, lahan atau lingkungan alamiah yang disebabkan oleh perilaku manusia atau akibat kegiatan yang dilakukan manusia. [1]

Dengan melakukan analisa spasial yang membandingkan antara lokasi kejadian-kejadian penyakit menular baru dengan berbagai variabel sosio-ekonomi, lingkungan dan ekologi, maka dapat dibuat suatu pemetaan distribusi global dari patogen-patogen zoonotik yang bersumber dari spesies satwa liar (a), non satwa liar (b) dan yang disebabkan oleh patogen resisten obat (c) dan yang ditularkan lewat vektor (d) (Gambar 2). [3]

Gambar 2: Distribusi global kejadian penyakit-penyakit menular baru muncul

Sumber: Jones et al (2008). Nature 451, 990-993.

Faktor-faktor pemicu ini seringkali bertindak dengan alur sangat kompleks yang belum dapat dipahami secara utuh, sehingga prediksi kemunculan patogen baru atau menyebarnya introduksi baru suatu patogen tertentu sangat sulit dilakukan. Suatu seri perubahan antropogenik yang akhir-akhir ini dikaitkan dengan kemunculan penyakit menular baru seringkali menambah kompleksitas tersebut. [1]

Penelitian-penelitian tentang penyakit menular baru muncul mulai diarahkan untuk menanggulangi aspek-aspek mendasar yang mengatur proses kemunculan tersebut. Model-model yang diprediksi berdasarkan analisa iklim digunakan untuk mempelajari tentang penyakit-penyakit yang ditularkan oleh vektor. Begitu juga upaya untuk merancang model-model dinamika hospes-patogen dengan sekaligus mempelajari evolusi patogennya untuk menganalisis proses kemunculan tersebut.

Meskipun penelitian-penelitian tersebut sudah dimulai, akan tetapi pendekatan-pendekatan teoritis kelihatannya jauh lebih maju daripada penelitian eksperimental atau lapangan. Sebagai contoh, hanya sedikit studi yang telah berhasil menganalisis kaitan antara dinamika viral pada satwa liar dengan perubahan lingkungan yang memunculkan suatu penyakit menular baru. Begitu juga meskipun kemunculan patogen zoonosis baru disadari sangat kuat sebagai ancaman penting terhadap kesehatan manusia, akan tetapi hanya sedikit studi yang diupayakan untuk mengidentifikasi patogen yang tidak diketahui yang berpotensi muncul pada populasi manusia.

Untuk mempelajari hal-hal seperti yang disampaikan diatas, jelas diperlukan suatu pendekatan baru terhadap kemunculan penyakit-penyakit menular baru. Suatu kelompok peneliti yang transdisiplin telah berhasil mempelajari penyebab yang mendasari kemunculan suatu penyakit menular baru (contohnya pada penyakit amphibian chytridiomycosis), mengembangkan analisa risiko yang mampu menciptakan tindakan pencegahan dan pengendalian yang efektif (contohnya penyakit West Nile) dan meneliti kecenderungan bahwa patogen zoonotik baru akan muncul dari genus viral yang baru ditemukan (contohnya Nipah encephalitis). Penelitian-penelitian tersebut pada dasarnya dilaksanakan oleh kelompok transdisiplin yang terdiri dari dokter hewan, pekerja kesehatan, peneliti kesehatan masyarakat, ahli ekologi, ahli biologi konservasi dan lain sebagainya.

Agenda baru

Dalam beberapa tahun terakhir ini, medik konservasi (conservation medicine) digunakan dalam berbagai konteks oleh sejumlah komunitas ilmuwan, kelompok-kelompok peneliti dan organisasi-organisasi internasional dan nasional. Pendekatan baru untuk perlindungan diversitas biologik menimbulkan tantangan bagi kalangan ilmuwan dan praktisi di bidang ilmu-ilmu kesehatan, biologi dan sosial untuk memikirkan cara-cara baru, kolaboratif dan transdisiplin untuk mengatasi gangguan kesehatan ekologis dalam situasi krisis biodiversitas. [2]

Medik konservasi adalah suatu disiplin ilmu yang muncul dengan mengedepankan kaitan antara kesehatan manusia dan hewan dengan perubahan kesehatan ekosistem dan lingkungan global. Lingkungan global terancam oleh sejumlah fenomena yang mudah menyebar dan sinergis sebagai hasil dari meningkatnya tekanan manusia terhadap planit bumi baik dalam bentuk perubahan iklim, pemiskinan biologik, penyakit-penyakit menular baru muncul dan toksifikasi global. Faktor-faktor ini bekerja secara konser untuk mengganggu kesehatan manusia, hewan domestik, satwa liar dan lingkungan. [2]

Dengan memadukan ilmu kesehatan, ekologi dan konservasi biologik secara bersamaan, medik konservasi meneliti realita permasalahan dunia ini dengan cara-cara inklusif mengingat dampak kesehatan terhadap populasi dan ekosistem. Prinsip utama dari disiplin ini adalah kesehatan menghubungkan semua spesies, oleh karena eratnya hubungan proses ekologik yang menguasai kehidupan planit bumi. [2]

Para peneliti medik konservasi memliki agenda baru sebagai respon terhadap semakin berkembangnya implikasi kesehatan terhadap degradasi lingkungan dengan mempelajari lebih mendalam tentang kaitan antara perubahan struktur habitat dan pemanfaatan lahan, kemunculan dan munculnya kembali patogen tertentu dan dampak kontaminan lingkungan, ketahanan fungsi biodiversitas dan ekosistem, serta dampak penyakit terhadap spesies langka (endangered species).

Sebaliknya konsep ‘ecohealth’ atau ‘ecosystem health’ (awalnya diistilahkan dengan ‘medik ekosistem’ atau ecosystem medicine) dibangun pada akhir tahun 1970-an dimana para peneliti mulai memperlakukan ekosistem sebagai obyek dari penelitiannya dan mengamati gejala umum degradasi ekosistem yang dikarakterisasi sebagai ‘sindroma gangguan ekosistem’. [2]

Ecohealth adalah juga disiplin ilmu baru muncul yang mempelajari bagaimana perubahan dalam ekosistem bumi mempengaruhi kesehatan manusia. Ecohealth mengkaji perubahan-perubahan lingkungan biologik, fisik, sosial dan ekonomi dan menghubungkan perubahan-perubahan ini dengan dampaknya terhadap kesehatan manusia. Ecohealth mempersatukan berbagai kalangan mulai dari dokter, dokter hewan, ahli konservasi, ahli ekologi, ahli ekonomi, ahli sosial, ahli perencana dan lain sebagainya untuk secara komprehensif mempelajari dan memahami bagaimana perubahan ekosistem secara negatif berdampak kepada kesehatan manusia dan hewan.

Baik medik konservasi dan ecohealth menggunakan pendekatan ekosistem yang mengeksplorasi hubungan antara berbagai komponen ekosistem untuk menetapkan dan menilai prioritas faktor-faktor penentu kesehatan dan kesejahteraan manusia. Kedua disiplin ini berangkat dari suatu pemahaman tentang definisi yang holistik dari ‘kesehatan’ yang dibuat oleh Organisasi Kesehatan Dunia/WHO (1948) yaitu suatu status dimana keadaan fisik, mental dan sosial dinyatakan sehat dan bukan semata-mata tidak ada penyakit atau lemah”. [4]

Seperti diketahui, pendekatan klasik terhadap kesehatan memisahkan antara dimensi ekonomi, lingkungan dan masyarakat. Pada kenyataannya pendekatan terhadap kesehatan mencakup konsep yang lebih luas, yang keluar dari cakupan kesehatan individu dan melibatkan dimensi ekonomi, lingkungan dan masyarakat (Gambar 3). Dengan demikian pendekatan ekosistem dalam medik konservasi dan ecohealth perlu dilihat sebagai suatu hirarkhi yang saling kait mengait, dimana permasalahan kesehatan tidak bisa dipisahkan begitu saja dari konteks sosio-ekonomi, lingkungan dan ekologi, baik dalam skala temporal maupun spasial dari kehidupan manusia. [4]

Gambar 3: Perubahan pendekatan terhadap kesehatan

 
Kerangka pendekatan ekosistem tersebut diatas adalah transdisiplin yang sangat esensial diperlukan dalam memahami interaksi sosio-ekonomi, lingkungan dan ekologi yang mengarah kepada munculnya penyakit menular baru. Pendekatan transdisiplin diartikan sebagai aplikasi pendekatan ilmiah terhadap suatu permasalahan yang keluar dari batasan disiplin akademik konvensional.

Transdisiplin dimaksudkan sebagai pengetahuan antar disiplin, lintas disiplin yang berbeda, dan di luar disiplin individual yang menghasilkan suatu kerangka terpadu baru. Untuk membedakannya dengan apa yang dimaksud dengan pendekatan multidisiplin atau interdisiplin. Multidisiplin adalah suatu pekerjaan independen atau berurutan dari beberapa disiplin, akan tetapi berasal dari perspektif suatu kerangka disiplin tertentu. Sedangkan interdisiplin adalah transfer metoda dari satu disiplin ke suatu pekerjaan terpadu yang lain, akan tetapi tetap berasal dari perspektif suatu kerangka disiplin tertentu.

Untuk memahami interaksi antara sistem sosio-ekonomi, lingkungan dan ekologi dalam kaitannya dengan kemunculan penyakit menular baru, disadari tidak lagi bisa dilakukan dengan metoda disiplin tradisional atau klasik yang saling terpisah satu sama lain. Ke depan diperlukan suatu gagasan yang konseptual dan metodologik untuk mengikat setiap kelebihan dan kekurangan dari masing-masing disiplin, sehingga mampu menghasilkan pemahaman yang lebih komprehensif terhadap permasalahan penyakit yang sedang dikaji.

Perspektif ke depan

Pendapat yang menyatakan tentang perlunya medik konservasi dan ecohealth diperkenalkan ke dalam bidang kesehatan hewan terutama penelitian dan kurikulum pendidikan kedokteran hewan merupakan suatu perubahan mendasar dalam pola fikir dari penekanan kepada ‘pengobatan’ (treatment) ke ‘pencegahan’ (prevention). [2]

Meskipun perpaduan pendekatan baru seperti ini ke dalam apa yang sudah berjalan selama ini sungguh sulit dilakukan, akan tetapi sudah saatnya profesi dokter hewan dalam perspektif ke depan menyadari tentang konsep dasar kesehatan ekosistem, perubahan lingkungan dan konservasi biologik. Disadari sangat kuat bahwa dokter hewan ke masa depan dapat dipersiapkan dengan lebih baik untuk memecahkan permasalahan penyakit-penyakit menular baru muncul apabila mereka ditantang untuk memahami secara baik paradigma kesehatan ekosistem dan sekaligus menyadari perubahan lingkungan dan ekologi yang sedang terjadi. [2]

Paling tidak isu-isu mendasar tentang kerusakan biodiversitas, perubahan iklim global dan faktor-faktor pemicu kemunculan penyakit menular baru terdedah kepada para perencana, peneliti dan akademisi di bidang kesehatan hewan. Untuk itu prinsip-prinsip dasar dalam mempertimbangkan kesehatan dalam kerangka ekologik seharusnya mulai diintegrasikan ke dalam metodologi penelitan dan kurikulum pendidikan kedokteran hewan. [2]

Dengan memasukkan medik konservasi dan ecohealth ke dalam metoda penelitan dan kurikulum pendidikan kedokteran hewan di seluruh dunia termasuk juga di Indonesia, akan dapat mendidik para dokter hewan muda untuk merubah paradigmanya dan mampu bekerja dalan wujud kerja kelompok yang transdisiplin. Para profesional veteriner ini akan mampu mengembangkan alat baru untuk menilai dan memantau kesehatan lingkungan dan ekologik serta lebih siap untuk memenuhi peranan kritisnya dalam mempertahankan kesehatan global. [2]

Sejak tahun 1950-an, bidang kesehatan hewan telah meluas dari semata-mata memberikan perhatian kepada kesehatan dan penyakit dari individu hewan ke kelompok hewan (herd or flock health), kesehatan masyarakat dan ekonomi bisnis (berkembang dari kesehatan kelompok). Sejak paling tidak tahun 1990-an, bidang kesehatan hewan di dunia telah berkembang ke arah pentingnya kesehatan ekosistem dalam konteks kesehatan dan kesejahteraan hewan dan manusia. [5]

Pada dasarnya bagi profesi dokter hewan, pelajaran tentang ini bisa dipetik dari kemunculan penyakit-penyakit menular baru seperti bovine spongiform encephalophaty (BSE), highly pathogenic avian influenza (HPAI), SARS, meningkatnya frekuensi dan kemampuan destruksi dari kejadian perubahan iklim yang ekstrim, dan punahnya spesies satwa liar yang penting secara ekologis atau sebagai sumber pangan. [6]

Sesungguhnya profesi dokter hewan terperangkap ditengah-tengah berbagai kepentingan yang saling bertentangan, oleh karena profesi ini memiliki klien dan pasien dari berbagai sektor seperti kesehatan masyarakat, satwa liar, ternak dan hewan kesayangan. Oleh karenanya medik konservasi dan ecohealth menawarkan alternatif pendekatan baru dan sangat menarik untuk memahami dan mengelola pola-pola perubahan penyakit-penyakit menular baru muncul, terutama yang bersifat zoonosis dalam konteks sosio-ekonomi, lingkungan dan ekologi. [6]

Kesadaran yang semakin tinggi diantara profesi dokter hewan bahwa permasalahan kesehatan, ekologi dan sosial adalah kompleks dan tertanam dalam struktur dan perubahan sistem sosio-ekologik. Pendekatan lama dengan pemikiran linier sudah dianggap tidak memadai untuk menjawab permasalahan yang kompleks tersebut dimana kesehatan sudah tertanam ke dalam dinamika sistem sosio-ekologik yang juga sangat kompleks. Untuk itu jawaban harus juga dicari dari sumber-sumber yang tidak biasa bagi profesi dokter hewan, termasuk membuka diri dengan menghapuskan batasan-batasan yang mengikat dokter hewan hanya kepada disiplin ilmunya semata. [6]

Kesimpulan

Tidak ada solusi yang mudah dalam menghadapi permasalahan lingkungan global terutama dalam mengantisipasi kemunculan penyakit-penyakit menular baru dan sudah jelas diperlukan strategi jangka panjang untuk mengatasi itu. Dengan memasukkan medik konservasi dan ecohealth ke dalam pemikiran tentang rancangan perencanaan, penelitian dan kurikulum pendidikan kedokteran hewan mulai saat ini akan mendorong para dokter hewan untuk mencari solusi kritis terhadap permasalahan penyakit menular baru muncul dengan perubahan paradigma menuju pemahaman tentang sistem yang kompleks (complex system) dan pembentukan kelompok transdisiplin. [2]

Dengan konsep medik konservasi dan ecohealth, para peneliti, akademisi dan pengambil kebijakan akan mampu memahami dan melakukan campur tangan yang lebih baik terhadap faktor-faktor sosio-ekonomi, lingkungan dan ekologi yang saling kait mengait di balik menyebarnya suatu penyakit menular baru muncul. [4]

Dengan medik konservasi dan ecohealth, profesi dokter hewan akan mampu mewujudkan keluaran yang lebih luas dengan mempertahankan kesinambungan kesehatan dan kesejahteraan manusia dan hewan melalui ekosistem yang lebih sehat. Pendekatan transdisiplin akan membantu pencapaian keluaran tersebut melalui proses yang mempelajari keseimbangan antara kesehatan, lingkungan dan ekosistem, sehingga dapat dibuat kebijakan, tindakan dan evaluasi yang menyeluruh terhadap keluaran yang ingin dicapai tersebut.

Referensi:
1. Daszak P., Tabor G.M., Kilpatrick A.M., Epstein J., and Plowright R. (2004). Conservation Medicine and a New Agenda for Emerging Diseases. Ann. N.Y. Acad. Sci. 1026, 1-11.
2. Aguirre A.A. and Gomez A. (2009). Essential veterinary education in conservation medicine and ecosystem health: a global perspective. Rev. sci. tech. Off. Int. Epiz., 28(2), 597-603.
3. Jones K.E., Patel N.G., Levy M.A., Storeygard A., Balk D., Gittleman J.L. and Daszak P. (2008). Global trends in emerging infectious diseases. Nature 451, 990-993.
4. Bazzani R., Noronha L. and Sanchez A. (2009). An Ecosystem Approach to Human Health: Building a transdisciplinary and participatory research framework for the prevention of communicable diseases. http://www.globalforumhealth.org/forum8/forum8-cdrom/OralPre- sentations/Sanchez%20Bain20%%20F8-165.doc
5. Walter-Toews D. (2009). Commentary. Eco-Health: A primer for veterinarians. Can. Vet. J., Vol. 50, 519-521.
6. Walter-Toews D. (2009). Food, Global Environmental Change and Health: EcoHealth to the Rescue? McGill Journal of Medicine, 12(1), 85-89.

0 Komentar: