Oleh: Tri Satya Putri Naipospos
Sumber: [24] |
Lalu lintas perdagangan anjing terutama diperjualbelikan untuk kepentingan dikonsumsi dagingnya atau untuk kegiatan berburu di Indonesia sangat bergantung kepada sosio-ekonomi dan budaya dari suatu wilayah atau suku tertentu. Keterkaitan antara tingginya kasus rabies, lalu lintas perdagangan anjing dan konsumsi daging anjing sebagaimana kebiasaan suku-suku tertentu harus diakui secara implisit maupun eksplisit sesungguhnya memiliki pengaruh satu sama lain. Tulisan ini tercetus dari membaca tulisan sejawat Ison Idris di Kompasiana, 24 Juni 2010 [1].
Sampai saat ini rabies masih tetap menjadi masalah kesehatan masyarakat pada umumnya di negara-negara berkembang di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Penyakit ini sudah dikenal sejak 5 ribu tahun lampau dan secara historis kaitan antara kasus gigitan anjing tertular rabies dengan kasus rabies pada manusia sudah disadari sejak lama. Menurut sebagian besar data, anjing bertanggung jawab terhadap 94% kasus rabies pada manusia.
Di Indonesia, rabies dilaporkan pertama kali pada tahun 1884 pada seekor kerbau dan kemudian tahun 1889 pada seekor anjing di Provinsi Jawa Barat. Kejadian pada manusia dilaporkan pada tahun 1894 juga di provinsi yang sama. Sampai sekarang sudah 24 provinsi dinyatakan tertular rabies, dengan demikian hanya tinggal 9 provinsi yang masih dinyatakan bebas. Pulau Bali adalah provinsi ke-24 yang tertular rabies pada November 2008 [2].
Serangan rabies dapat dikatakan bersifat laten dan sangat rentan terutama bagi wilayah-wilayah di Indonesia yang masih bebas. Setelah rabies dilaporkan di Pulau Nias yang letaknya sebelah barat Pulau Sumatera di Samudera Hindia pada Maret 2010, kemudian kasus terbaru terjadi di Pulau Larat, Kecamatan Tanimbar Utara, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku pada akhir Juli 2010. Provinsi Maluku sendiri tertular rabies pertama kali sejak muncul wabah di Pulau Ambon dan Seram pada April 2003.
Perdagangan antar pulau
Tidak dapat disangkal bahwa perdagangan antar pulau menjadi faktor penting yang memicu munculnya kasus-kasus baru di provinsi-provinsi yang semula secara historis bebas rabies. Seperti di Pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur pada September 1997 dimana rabies ditularkan melalui anjing yang dibawa sebuah kapal penangkap ikan dari Pulau Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara [3].
Penyebab munculnya rabies di Propinsi Maluku diduga melalui anjing yang dibawa oleh para nelayan dari Kendari, Provinsi Sulawesi Tenggara [2]. Begitu juga dugaan tentang tertularnya Pulau Bali, dimana ada beberapa anjing oleh pemiliknya dibawa berlayar dengan perahu ke daerah tertular rabies, kemudian kembali lagi ke Bali. Ada kemungkinan anjing tersebut digigit anjing di daerah tertular rabies. Masa inkubasi rabies pada anjing cukup lama bisa beberapa minggu sampai beberapa bulan, sehingga memungkinkan rabies dapat dibawa masuk ke Bali tanpa menunjukkan gejala klinis [4].
Adanya kaitan antara penyebaran rabies dengan importasi anjing antar pulau sesungguhnya dapat dibuktikan melalui analisa filogenetik virus rabies. Satu studi yang memetakan hubungan genetik virus rabies yang berasal dari Pulau-pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Flores berhasil menyimpulkan bahwa ada 3 kelompok filogenetik besar virus rabies yaitu ID1, ID2 dan ID3. Kelompok ID1 adalah virus-virus yang ditemukan di Pulau Sumatra, ID2 di Pulau Jawa dan ID3 di Pulau-pulau Kalimantan, Sulawesi dan Flores. Studi tersebut berhasil menunjukkan secara genetik virus rabies yang mewabah di Flores mirip dengan virus yang bersirkulasi di Sulawesi. Analisa yang secara signifikan mendukung fakta epidemiologis bahwa wabah di Flores terjadi akibat pemasukan anjing dari Pulau Buton [5, 6].
Penyebab munculnya rabies di Bali seharusnya dapat dibuktikan juga dengan analisa filogenetik virus. Suatu penelitian yang dilakukan Universitas Udayana dengan membandingkan data sekuens dari virus-virus rabies Indonesia yang ada di GenBank menunjukkan bahwa virus rabies Bali memiliki karakteristik yang mirip dengan virus-virus yang ada di Sulawesi dan Flores. Penemuan yang mengindikasikan bahwa virus masuk ke Pulau Bali melalui perdagangan hewan antar pulau [7].
Anjing dan budaya
Kurangnya motivasi pemerintah, isu-isu budaya dan keterbatasan dana masih tetap menjadi hambatan bagi keberhasilan memberantas rabies bukan hanya di Indonesia, akan tetapi di hampir semua negara berkembang yang mengalami masalah rabies [8]. Peran anjing dalam budaya suku di Indonesia terkait dengan perannya yang bukan hanya sebagai penjaga rumah, akan tetapi dalam banyak hal terkait dengan sosio-ekonomi, agama dan kepercayaan.
Anjing (canis lupus familiaris) adalah mamalia karnivora yang telah mengalami domestikasi dari serigala sejak 15 ribu tahun yang lampau. Dari seluruh mamalia yang pernah ada di dunia, anjing memiliki hubungan kedekatan terlama dengan manusia. Suatu ikatan dengan derajat tertentu yang berkembang di antara ke-dua spesies tersebut dimana satu dengan lainnya saling membutuhkan.
Manusia membutuhkan anjing berada di sekelilingnya untuk proteksi dan mungkin juga sejumlah bantuan untuk kegiatan berburu. Anjing juga mendapatkan tingkat proteksi tertentu dari sekelompok manusia yang memeliharanya dan sumber makanan tetap yang siap dihabiskan baik yang berasal dari perburuan maupun juga dari sisa-sisa makanan manusia, termasuk juga ekskreta [9].
Anjing adalah hewan sosial, tapi kepribadian dan tingkah laku anjing bisa berbeda-beda bergantung pada masing-masing ras. Selain itu, kepribadian dan tingkah laku anjing bergantung pada perlakuan yang diterima dari pemilik anjing dan orang-orang yang berkomunikasi dengan sang anjing. Anjing yang menerima kekerasan dari pemilik atau dengan sengaja dibuat kelaparan bisa menjadikan anjing tersebut cepat marah dan berbahaya. Itu karena, bagaimanapun anjing adalah binatang keturunan serigala, sehingga karakter liarnya masih melekat.
Di Pulau Flores hampir semua rumah tangga memiliki anjing. Bagi masyarakat Flores umumnya anjing digunakan untuk menjaga rumah, menjaga kebun dari serangan binatang liar seperti kera, babi hutan, musang dan tikus. Anjing mempunyai nilai ekonomi yang tinggi karena disamping sebagai penjaga rumah dan kebun, anjing juga dijadikan santapan yang lezat di restoran dan warung-warung setempat. Anjing bagi masyarakat Flores juga digunakan sebagai mas kawin dalam upacara perkawinan dan sebagai lauk pauk yang khas pada upacara memasuki rumah yang baru [10].
Seperti halnya di Pulau Flores, masyarakat Bali sudah sejak zaman dahulu biasa memelihara anjing. Ada ungkapan dari seorang tokoh Puri yang mengatakan bahwa "kalau tidak ada suara anjing, namanya bukan Bali". Anjing merupakan bagian dari adat dan bahkan ritual. Pada ritual tertentu, masyarakat Hindu Bali menggunakan anjing sebagai salah satu sesajen atau 'banten'. Selain itu anjing juga berfungsi untuk menjaga rumah. Selama ini, anjing-anjing di Bali banyak hidup dari sisa makanan dan sesajen. Kalau anjing-anjing itu habis, maka dikhawatirkan justru akan memperbanyak tikus yang juga memakan sisa makanan serta sesajen [11].
Satu hal yang sangat kontras dengan di Flores, anjing bagi masyarakat Bali melambangkan kesucian. Masyarakat Bali mempercayai bahwa dalam pewayangan, apabila ada anggota keluarga Pandawa yang mangkat maka dia akan dikuntit oleh seekor anjing ke swargaloka. Anjing milik Yudistira yaitu si sulung dari Pandawa bahkan bisa ikut masuk swargaloka karena kesetiaan dan kejujurannya. Sekuen dramatis Yudistira dan keempat adiknya itu sering jadi kutipan tentang kesucian dan swargaloka. Dengan demikian menurut kepercayaan Hindu Bali, anjing dipercaya pembawa warga ke surga [12].
Tradisi berburu babi hutan
Suatu tradisi yang unik sejak ratusan tahun di ranah Minang, Provinsi Sumatera Barat dimana suku Minangkabau berdiam adalah berburu celeng atau babi hutan yang dianggap sebagai hama yang menimbulkan gangguan terhadap sawah para petani maupun tanaman ubi dan jagung di pinggir hutan. Tradisi yang dinamakan ‘kandiak’ berlangsung secara turun temurun dimana anjing pemburu yang sudah terlatih digunakan untuk menangkap dan membunuh babi hutan tersebut. Babi hutan di Minangkabau bertubuh besar dan bertaring [13, 14].
Setiap pemilik anjing pada umumnya sangat memanjakan anjing peliharaannya dan selalu diberi asupan makanan yang istimewa, obat dan vitamin khusus. Perburuan babi di Sumatera Barat lazim menggunakan anjing-anjing dari berbagai jenis, baik anjing ras maupun anjing kampung. Akan tetapi anjing pemburu yang disukai adalah anjing kampung biasa yang berbobot dan berukuran tubuh kecil, akan tetapi dianggap mempunyai kelebihan. Anjing seperti ini, selain gesit mencari serta lihai menemukan dan membunuh buruannya.
Kekhasan perburuan babi dengan menggunakan anjing di masyarakat Minang yang pada umumnya beragama Islam, bahkan menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi pemilik anjing apabila anjingnya berhasil paling cepat menangkap buruannya. Biasanya harga anjing ini menjadi lebih mahal dan bahkan bisa terjadi acara bursa anjing di medan perburuan. Dalam satu kali perburuan, ratusan anjing pemburu biasanya mampu menangkap dua sampai lima ekor babi hutan dan tiap berburu seorang pemburu bisa membawa lebih dari satu ekor anjing [13, 14].
Bisa dibayangkan tingginya populasi anjing di Sumatera Barat oleh karena kegemaran perburuan tersebut yang kadang-kadang menjelma menjadi suatu keramaian tersendiri. Jumlah para pemburu yang terlibat dalam satu penyelenggaraan perburuan bisa mencapai 10 ribu orang dengan membawa hampir 20 ribu anjing. Selain para pemburu datang dari seluruh pelosok Sumatera Barat, juga dari provinsi-provinsi tetangga seperti Riau, Jambi dan bahkan Bengkulu [14].
Sudah menjadi suatu hal yang jamak diketahui bahwa Provinsi Sumatera Barat mencatat kasus gigitan anjing terinfeksi rabies pada manusia dengan jumlah tertinggi di Indonesia dalam dua tahun terakhir. Data Dinas Kesehatan Sumatera Barat menunjukkan sepanjang 2009 terdapat 2.545 kasus gigitan anjing terinfeksi rabies pada manusia yang menyebabkan 13 orang tewas. Sementara itu, untuk tahun 2010 hingga saat ini saja sudah tercatat 1.186 kasus gigitan dengan korban 5 orang tewas. Penyebaran rabies yang cukup tinggi tersebut tidak bisa dilepaskan dari kebiasaan perburuan babi hutan yang diuraikan diatas dan juga keberadaan anjing-anjing liar yang tidak terkendali [15].
Adu bagong: babi hutan vs anjing
Satu lagi tradisi unik yang dikenal sejak sekitar 1960-an di beberapa daerah pesisir selatan Jawa Barat, seperti di Kabupaten Sukabumi, Sumedang, Cianjur, Lembang dan Majalengka yaitu adu kekuatan antara babi hutan dan anjing yang disebut ‘adu bagong’. Tidak mudah menemukan pertandingan ini, oleh karena babi hutan harus diburu hidup-hidup terlebih dahulu. Perburuan babi hutan di daerah ini juga menggunakan anjing dan setelah berhasil menemukan buruannya hidup-hidup untuk kemudian menjualnya ke tempat pejagalan hewan atau pemilik arena adu bagong.
Pertandingan biasanya dilangsungkan dengan minimal 4 ekor anjing sekaligus menyerang seekor babi hutan. Arena pertandingan dipadati penonton yang bersorak sorai menyaksikan adegan tersebut diiringi musik tradisional khas Sunda. Para pemilik anjing sangat puas begitu anjing-anjing mereka memasuki arena pertandingan, mengejar sang babi hutan dan menggigit babi hutan sampai tak berdaya. Biasanya pertandingan berlangsung lebih dari dua jam dan kadang-kadang anjing bisa bernasib naas dan kemudian tewas akibat ketajaman gigitan taring sang babi hutan [16].
Meskipun sejak 2004 provinsi Jawa Barat dinyatakan bebas rabies oleh pemerintah, akan tetapi status tersebut kemudian dicabut pada pertengahan 2008. Pencabutan status bebas itu karena munculnya kasus belasan warga yang dilaporkan positif terserang rabies akibat serangan gigitan anjing liar di Kabupaten Sukabumi. Begitu juga dilaporkan sejumlah kasus gigitan di Kabupaten Garut dan Tasikmalaya, meskipun tidak mengakibatkan rabies pada orang.
Sampai saat ini, rabies di Provinsi Jawa Barat tetap dilaporkan berjangkit setiap tahun. Tahun 2009 dilaporkan rabies telah berjangkit di Kabupaten Garut, Tasikmalaya, Cianjur dan Kota Sukabumi – Provinsi Jawa Barat serta di Kabupaten Lebak – Provinsi Banten.
Konsumsi daging anjing di Indonesia
Daging anjing adalah daging pangan yang diproduksi dari anjing yang disembelih. Selain sebagai binatang peliharaan, anjing masih diternakkan dan disembelih sebagai sumber protein di beberapa tempat di dunia. Negara-negara yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi daging anjing pada umumnya di Asia dan Afrika. Negara-negara Asia contohnya China, Filipina, Vietnam, Laos, Korea Selatan, Myanmar, Kamboja, Thailand, India, Khazakhstan dan Indonesia, dimana daging anjing biasa dijajakan di pasar basah atau warung-warung makan dengan tanda tertentu.
Di negara-negara maju di Eropa, Amerika Utara dan Australia pada umumnya masyarakatnya menyayangi anjing dan memperlakukannya sebagai hewan peliharaan. Mengkonsumsi daging anjing merupakan tindakan tabu dan melawan kebiasaan, sehingga konsumsi daging anjing biasa mendapat kecaman keras [17].
Sumber: [21] |
Di Bali, juga banyak dijumpai tempat-tempat makan yang menjual daging anjing, terlebih sate yang terbuat dari daging anjing memiliki komunitas tertentu. Sate anjing di Bali juga dikenal dengan sebutan RW. Tak begitu susah mencari jejak lokasi pedagang makanan dari daging anjing di Bali. Jika melintas di ruas jalan Hayam Wuruk, Denpasar, terdapat plang kecil yang bertuliskan RW. Petunjuk itu saja cukup untuk mengetahui bahwa lokasi warung sate anjing [18].
Merebaknya isu rabies berpengaruh buruk bagi pedagang RW di kota Denpasar. Sebelum merebaknya isu rabies serta ditetapkannya Bali dalam status kejadian luar biasa (KLB) rabies oleh pemerintah Provinsi Bali, peminatnya tetap tinggi. Para pembeli biasanya memadati warung RW pada sore hingga malam hari, namun kini pembeli menurun drastis.
Selain itu beberapa suku lain yang juga memiliki kebiasaan makan daging anjing dan pada umumnya adalah masyarakat yang beragama Kristen seperti suku Toraja di Sulawesi, Dayak di Kalimantan dan sebagian besar suku-suku di Nusa Tenggara Timur (Flores, Sumba). Masyarakat Toraja mengenal daging anjing dengan sebutan Pa’tong, karena cara menyembelihnya dengan pentungan pada kepala [19].
Di beberapa kota di Jawa, seperti Solo dan Yogyakarta, penjualan sate dan tongseng dengan menggunakan daging anjing disamarkan dengan sebutan "jamu". "Sengsu" adalah sebutan tongseng dengan daging anjing (dari tongseng asu) [17]. Lalu lintas perdagangan anjing untuk wilayah ini antara lain berasal dari beberapa kecamatan di Kabupaten Cilacap [20].
Di ibukota Jakarta, warung-warung dan tempat makan yang menjual menu daging anjing cukup banyak dan ramai dikunjungi di kawasan Cililitan, Cawang dan Jalan Letjen Soetoyo. Kawasan ini memang merupakan pintu gerbang Jakarta di bagian selatan dan sekaligus arus pertemuan antara jalur barat dan timur Pulau Jawa. Adakalanya beberapa rumah makan tidak secara terang-terangan menyebutkan daging anjing dalam menunya, tetapi ada pula yang menuliskan menu berkode B1.
Mengingat kebutuhan untuk rumah-rumah makan tersebut, maka tidak bisa disangkal bahwa anjing-anjing yang digunakan untuk konsumsi tentunya dipasok dari daerah-daerah tertentu. Hal yang menyebabkan lalu lintas perdagangan anjing sesungguhnya faktual baik antar provinsi maupun antar pulau, akan tetapi sangat sulit diketahui secara rinci apabila akan diawasi dan dikendalikan.
Daging anjing vs rabies
Untuk menyelidiki kaitan daging anjing dengan rabies, kita dapat belajar dari negara-negara lain di Asia. Daging anjing di beberapa negara tertentu diperoleh dengan cara beternak anjing jenis tertentu dan kemudian disembelih untuk dikonsumsi. Namun demikian sikap budaya, hukum yang berlaku dan sejarah makan daging beragam antara satu negara dengan lainnya. Di beberapa negara tertentu, sedikit sekali tersedia informasi statistik tentang sikap masyarakat terhadap konsumsi daging anjing kecuali dipandang sebagai bagian dari budaya tradisional atau budaya kontemporer.
Masalah konsumsi daging anjing menjadi satu hal yang dikaitkan dengan penularan rabies ke manusia, oleh karena adanya dua laporan kasus meninggal di Filipina, dua korban meninggal di Vietnam dan juga dua laporan terjangkit rabies di China [21].
Meskipun mayoritas penduduk Filipina tidak mengkonsumsi daging anjing, akan tetapi praktek makan daging anjing berkembang menjadi suatu industri komersial dimana metoda yang digunakan untuk menyembelih anjing seringkali dianggap sangat brutal dan tidak manusiawi. Pada tahun 2006, dilaporkan 2 kasus rabies pada manusia setelah mengonsumsi daging anjing.
Dengan diterbitkannya Undang-undang Kesejahteraan Hewan tahun 1998 dan Undang-undang Anti Rabies tahun 2007 di Filipina, maka secara resmi penyembelihan anjing dianggap suatu perbuatan kriminal yang bisa membawa seseorang ke penjara atau wajib membayar denda tertentu untuk setiap ekor anjing yang dibunuh. Tujuan undang-undang ini bukan hanya sebagai respon terhadap sebagian besar masyarakat Filipina dan kelompok kesejahteraan hewan yang tidak menginginkan penyembelihan anjing untuk konsumsi, akan tetapi juga untuk menyetop penularan rabies dan penyakit-penyakit zoonosis lainnya.
Permintaan akan daging anjing masih tetap tinggi di sebuah kota di utara Filipina yaitu Baguio dan wilayah sekitarnya di Provinsi Bengeut. Kebanyakan daging anjing dijual di pasar gelap, dimana anjing-anjing dikumpulkan di sebuah lokasi di selatan Filipina dan kemudian dikapalkan ke arah utara.
Konsumsi daging anjing di Vietnam lebih tinggi di bagian utara negara tersebut dan dipercaya daging anjing bisa meningkatkan kesehatan dan umur panjang. Daging anjing dikonsumsi sepanjang tahun terutama di paruh kedua bulan-bulan lunar dan lebih populer lagi selama bulan-bulan dimana cuaca dingin karena dipercaya dapat meningkatkan suhu dan metabolisme tubuh [22].
Adanya dua pasien dengan gejala rabies yang dikonfirmasi secara laboratorium di Vietnam, yang mana mereka sebelumnya menyembelih seekor anjing dan kemudian menyiapkan dan mengkonsumsi daging anjing tersebut. Walaupun kedua orang tersebut tidak memiliki tanda-tanda telah digigit anjing, akan tetapi memberikan satu indikasi bagi dokter yang menanganinya bahwa hal tersebut merupakan suatu faktor risiko tertentu bagi penularan rabies [22].
Suatu penelitian di Vietnam pada tahun 2007 menemukan bahwa dari 10 kasus positif rabies pada manusia ditemukan 4 (40%) tidak memiliki sejarah digigit anjing dan 3 dari 4 kasus tersebut ternyata menyiapkan daging anjing sebelum munculnya gejala rabies. Pasien ke-empat dilaporkan tidak mengalami kejadian digigit anjing ataupun menyiapkan daging anjing, akan tetapi mengkonsumsi daging anjing. Studi di rumah pemotongan anjing di Hanoi di tahun yang sama menunjukkan bahwa 2 dari 10 (20%) anjing yang sakit ditemukan positif rabies [22].
Meskipun tidak ada data pasti, diperkirakan sekitar 18 – 80 juta ekor anjing dikonsumsi setiap tahun di China. Meskipun demikian, di negara ini tidak seorangpun yang agak terbuka membicarakan tentang perdagangan daging anjing dan potensi bahayanya, lebih karena hal tersebut merupakan isu budaya yang sangat sensitif [23].
Suatu studi baru-baru ini memperlihatkan bahwa dua kasus rabies pada manusia tertular sewaktu menyembelih atau menangani karkas anjing. Satu hal yang pasti, masalah rabies telah melonjak secara drastis dalam beberapa tahun terakhir di China. Pada tahun 2007 terdapat 3.302 kasus konfirmasi rabies positif, hampir 21 kali lebih banyak daripada yang dilaporkan dalam kurun waktu antara 1990 dan 1996. Pembunuhan anjing secara periodik untuk mengatasi masalah rabies di masa itu tidak menghentikan penyebarannya dan pemusnahan masal bahkan mengarah kepada reaksi publik yang cenderung membahayakan masyarakat itu sendiri [23].
Memerangi perdagangan anjing?
Pemberantasan rabies di Indonesia sudah tentu tidak dapat berjalan efektif dan efisien tanpa menyentuh akar kehidupan budaya suku di Indonesia. Biar bagaimanapun disadari banyak pihak bahwa tingkat konsumsi daging anjing semakin meningkat di Asia, dan mungkin saja juga terjadi di Indonesia. Permintaan di negara-negara Korea, China dan Vietnam meningkat antar lain karena adanya pertumbuhan industri pembibitan anjing dan daging anjing, sehingga perlu untuk mengimpornya dari negara-negara lain [24].
Di saat yang sama, semakin banyak penelitian yang mengindikasikan adanya kenaikan tingkat insidensi rabies dan penyakit-penyakit lainnya di negara-negara yang melaksanakan praktek-praktek peternakan dan pembibitan anjing yang tidak memenuhi sanitari dan konsumsi daging anjing secara langsung.
Bahkan China baru-baru ini mengeluarkan peraturan pelarangan makan daging anjing dan kucing untuk memadamkan kritik negara-negara barat dan organisasi-organisasi internasional non pemerintah serta sekaligus meningkatkan isu kesejahteraan hewan di kalangan penduduk China. Namun demikian, harus dilihat kembali apakah peraturan tersebut dalam jangka panjang benar-benar bisa diterapkan di negara yang menganggap daging anjing sebagai bagian dari tradisi kuliner mereka [25].
Pada kenyataannya keberadaan peraturan hukum ini belum tentu berhasil dalam pelaksanaannya. Perdagangan dan konsumsi daging anjing tetap saja berlanjut karena menyangkut bisnis yang mengiurkan dan menjanjikan keuntungan besar. Di China, keuntungan dari perdagangan anjing bisa diperoleh 3 kali lebih besar dari perdagangan ayam dan 4 kali dari perdagangan babi [23, 24].
Suatu tantangan yang tidak mudah, terutama di banyak negara Asia termasuk Indonesia, dimana standar kesejahteraan hewan relatif masih sangat rendah. Semua perlakuan yang bertentangan dengan kesejahteraan hewan terjadi, terutama penyembelihan anjing yang tidak mengenal cara untuk mengurangi rasa kesakitan hewan, pemukulan anjing secara kejam sebelum disembelih untuk merangsang kadar adrenalin dengan alasan cara ini memberikan kejantanan bagi pria yang makan daging anjing tersebut. Begitu juga perlakuan-perlakuan lain yang tidak mengenal perikemanusiaan, seperti menuangkan air panas ke tubuh anjing atau mematahkan kaki atau memukuli dengan tongkat sampai terjerat atau tercekik dan lain sebagainya.
Penutup
Indonesia belum mempunyai landasan hukum yang bisa mengatur perdagangan anjing dan konsumsi daging anjing. Sekalipun dunia kesehatan hewan Indonesia suatu saat nanti akan mulai memikirkan kemungkinan untuk memperjuangkan undang-undang semacam ini, seperti halnya sejumlah negara di Asia dan sebagian besar negara-negara maju di Eropa, Amerika Utara dan Australia. Kesejahteraan hewan adalah suatu konsep global yang relatif baru untuk negara-negara berkembang seperti Indonesia. Suatu isu kebijakan publik yang sangat komplek dan merupakan integrasi yang kuat dari komponen ilmiah dan etika serta multi dimensi dari ekonomi, budaya, agama sampai politik.
Indonesia secara progresif perlu berinisiatif untuk melakukan pelatihan-pelatihan yang lebih intensif tentang kesejahteraan hewan dan menyiapkan konsep tentang undang-undang rabies tersendiri yang komprehensif dan memperkuat penggunaan pendekatan ‘satu kesehatan’ (one health). Landasan aturan hukum lebih kuat yang bisa diterapkan justru diperlukan saat ini maupun ke depan untuk mengkonsolidasikan aspek pencegahan, pengendalian dan pemberantasan rabies pada manusia dan hewan. Termasuk aspek kesejahteraan hewan terkait praktek penyembelihan yang manusiawi (humane) dan pelarangan perdagangan anjing untuk dikonsumsi atau untuk tujuan lain yang bertentangan dengan perlindungan hewan, keamanan pangan dan kelestarian lingkungan.
Referensi
[1] Idris I. (2010). Opini: Perdagangan Anjing dan Daging Anjing untuk Dikonsumsi Perlu kah Dibatasi? Kompasiana, 24 Juni 2010. http://hukum.kompasiana.com/2010/06/24/konsumsi-daging-anjing-perlu-kah-dibatasi/
[2] Yurike dan Sapto (2009). Penyebaran rabies di Indonesia. http://www.keswan.ditjennak.go.id/artikeldetail.php?pid=7&id=1
[3] Scott-Orr H., Bingham J., Saunders G., Dibia I. N., Putra A. A. G., and Geong M. (2009). Proceedings of the 12th Symposium of the International Society for Veterinary Epidemiology and Economics, Durban, South Africa, p. 153-155. http://www.sciquest.org.nz/node/67612
[4] Soeharsono (2008). Mengatasi wabah rabies di Bali. Pusat Kesehatan Hewan.
http://www.vet-klinik.com/Berita-Pets-Animals/Mengatasi-wabah-rabies-di-Bali.html
[5] Susetya H., Sugiyama M., Ito N., Mudiarto G., and Minamoto N. (2008). Molecular epidemiology of rabies in Indonesia. Virus Res. 135(1):144-9.
[6] Mahardika I. G. N., Putra A. A. G. dan Dharma D. N. (2009). Tinjauan Kritis Wabah Rabies di Bali: Tantangan dan Peluang. http://www.mail-archive.com/hindu-dharma@itb.ac.id/msg20271.html
[7] http://www.promedmail.org/pls/apex/f?p=2400:1001:3383130101490337::::F2400_P1001_BACK_PAGE,F2400_P1001_ARCHIVE_NUMBER,F2400_P1001_USE_ARCHIVE:1001,20091122.4014,Y
[8] Wilde H., Pakamatz K., and Thiravat H. (2004). Review Article. Rabies in Asia: 2004. Infectious Diseases Journal of Pakistan. Jan – Mar 2004, p. 15-17.
[9] Reece J. F. (2005). Chapter 5: Dogs and Dog Control in Developing Countries in “The State of the Animals III”, p. 55-64.
[10] Wera E. (2008). Rabies di Flores, akankah berakhir? http://genetika21.wordpress.com/2008/11/19/rabies-di-flores-akankah-berakhir/
[11] Astro M. M. (2009). Pro-Kontra Pembunuhan Anjing di Bali. Koran Jakarta, 3 Novmber 2009. http://www.koran-jakarta.com/berita-detail-terkini.php?id=14806
[12] Dwi Koestanto B. (2009). Artikel Indonesia. Kumpulan artikel berbahasa Indonesia.
http://artikelindonesia.net/berita/mari-sama-sama-kita-jaga-bali-bebas-rabies.html
[13] Berita Liputan 6 - http://berita.liputan6.com/progsus/200508/106753/class=’vidico’
[14] Media Indonesia - http://bataviase.co.id/node/169108
[15] http://regional.kompas.com/read/2010/08/26/21490064/Kasus.Rabies.di.Sumbar.Tertinggi
[16] http://www.indosiar.com/ragam/39262/adu-bagong--babi-hutan-vs-anjing
[17] http://id.wikipedia.org/wiki/Anjing
[18] http://us.detiknews.com/read/2008/12/04/154447/1048184/10/warung-sate-anjing-sepi-pembeli
[19] http://cm4nk.multiply.com/journal/item/6
[20] http://www.pikiran-rakyat.com/node/81640
[21] http://en.wikipedia.org/wiki/File:Dog_meat.jpg
[22] Wertheim H. F. L., Nguyen T. Q., Nguyen K. A. T., de Jong M. D., Taylor W. R. J., Le T. V., Nguyen H. H., Nguyen H. T. H., Farrar J., Horby P. and Nguyen H. D. (2009). Furius Rabies after an Atypical Exposure. PLoS Medicine. March 2009, Volume 6, Issue 3, e1000044.
[23] McLaughlin K.E. (2009). Eat a dog, catch rabies? Published on Global Post, 2 June 2009. http://www.globalpost.com/print/1686683
[24] Maynard E. and Bourke D. (2007). Fighting the International Dog Meat Trade. Dog Meat Trade.com. http://www.dogmeattrade.com/library_articles/international_dmt.html
[25] CNN World. http://articles.cnn.com/2010-03-09/world/china.animals_1_dog-meat-cats-and-dogs-number-of-pet-owners?_s=PM:WORLD
*) Penulis bekerja di Food and Agriculture Organization of the United Nation (FAO) di Vientiane, Laos.
1 Komentar:
artikel yang menarik....permasalahan yang akan selalu jadi duri dalam daging kalo di biarkan. budaya, kebiasaan (hoby) menjadi hambatan
Posting Komentar