Rabu, 21 Juli 2010

Keterkaitan hewan-manusia dan industri ternak: Perlunya biosekuriti dan biokontainmen

Oleh: Tri Satya Putri Naipospos*)

Memahami keterkaitan hewan-manusia (animal-human interface) adalah elemen penting untuk mengevaluasi dan memprediksi risiko munculnya penyakit zoonosis, begitu juga dalam hal merancang program pencegahan dan deteksi dini berbasis kejadian (evidence base).

Transformasi produksi ternak di berbagai negara maju, seperti Amerika Serikat (AS), Eropa dan negara-negara maju lainnya di abad ke-20 lalu telah menghasilkan sejumlah besar operasi industri skala besar yang melibatkan kepadatan ternak yang tinggi. Industri ternak yang pada dasarnya menjadi sumber sebagian besar protein hewani bagi penduduk dunia (1).

Berbagai organisasi internasional maupun ilmuwan dunia mengungkapkan adanya bukti-bukti ilmiah tentang keterkaitan antara intensifikasi produksi ternak dan risiko kesehatan global (4). Sebagai contoh dari keterkaitan ini antara lain munculnya penyakit Nipah pada tahun 1999, Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) pada tahun 2002 dan begitu juga Highly Pathogenic Avian Influenza (HPAI) yang disebabkan oleh H5N1 pada tahun 2003.

Begitu juga selama seratus tahun terakhir, munculnya secara tiba-tiba virus-virus influenza tipe A yang secara antigenik berbeda yang mampu menulari manusia dan menimbulkan pandemi influenza. Sebut saja pandemi influenza tahun 1918 (H1N1, disebut "flu Spanyol"), 1957 (H2N2, disebut "flu Asia") dan 1968 (H3N2, disebut "flu Hongkong") (5). Studi tentang virus-virus pandemik ini menunjukkan bahwa ketiganya mengandung komponen unggas (6).

Kenyataan juga menunjukkan burung-burung akuatik yang tidak terdomestikasi adalah sumber primer dari virus-virus influenza tipe A. Kemungkinan juga virus-virus influenza tipe A yang ada pada mamalia memiliki hubungan dalam satu garis keturunan dengan kelompok unggas. Babi secara potensial mempunyai peran penting dalam kemunculan virus-virus influenza tipe A pada unggas dan manusia. Banyak literatur mencatat bahwa operasi peternakan unggas maupun juga babi sebagai sumber risiko penyakit influenza tipe A, meskipun sampai sekarang hanya dilaporkan virus-virus influenza unggas yang ditemukan pada babi dan bukan sebaliknya (4).

Transformasi global produksi ternak

Kemakmuran di negara-negara maju membuat daya beli dan permintaan terhadap pangan asal ternak semakin meningkat dan mendorong terjadinya transformasi global produksi ternak. Transformasi dari skala kecil tradisionil menjadi operasi industri skala besar dengan manajemen integrasi vertikal dimana semua aspek produksi (pembibitan, pembesaran, pakan, pengusahaan ternak) dikendalikan oleh satu unit usaha. Hal ini menjadikan kaitan antara berbagai sub-sektor di industri peternakan, seperti pabrik pakan, perusahaan pembibitan, pengusahaan ternak, pengolah hasil ternak dan begitu juga praktek-praktek produksi berubah secara nyata dalam dekade terakhir (1, 4).

Perubahan ini meliputi juga kenaikan dan kepadatan populasi ternak yang signifikan, konsentrasi industri produksi pangan asal ternak pada satu wilayah dengan jumlah bibit yang lebih sedikit akan tetapi jauh lebih produktif dan hanya berasal dari satu galur spesies saja.

Tren menuju industrialisasi produksi ternak juga terjadi di negara-negara berkembang dimana sistem tradisionil secara perlahan-lahan mulai digantikan dengan unit-unit intensif dengan tingkat kenaikan 4,3 persen kepemilikan ternak per tahun, seperti yang banyak terjadi di Asia, Amerika Selatan dan Afrika Utara (4, 8).

Di negara-negara berkembang, proporsi industri ternak yang cukup besar berlokasi di atau berdekatan dengan pusat-pusat pemukiman masyarakat. Pada saat yang sama, populasi manusia di negara-negara berkembang telah tumbuh hampir menjadi 700 juta orang dan secara khusus mempengaruhi populasi urban. Selama 70 tahun terakhir, penyebaran geografis baik produksi babi maupun unggas cenderung membentuk kluster dimana populasi dan produksi terkonsentrasi pada wilayah-wilayah tertentu.

Secara global, pertumbuhan produksi babi dan unggas selama dekade terakhir adalah yang paling tinggi dan sekaligus juga merupakan subsektor peternakan yang terindustrialisasi paling cepat dengan tingkat pertumbuhan berturut-turut 2,6 dan 3,7 persen. Begitu juga ada hubungan antara kenaikan perdagangan global dengan pertumbuhan produksi daging babi dan unggas, dimana selama dekade terakhir rata-rata kenaikan berturut-turut 4,0 dan 5,3 persen (lihat Tabel 1).

Tabel 1: Perubahan dalam skala global, populasi manusia, populasi dan produksi babi dan unggas serta perdagangan internasional daging babi dan unggas 1996-2005


    Sumber: FAOSTAT (4)

Flu babi

Seperti diketahui, flu babi dikenal sebagai penyakit yang sangat menular pada babi dan banyak ditemukan di AS dan Kanada. Penyakit ini menunjukkan tanda-tanda semakin ganas pada tahun-tahun belakangan ini. Tiga jenis virus influenza tipe A penyebab flu babi yaitu H1N1, H3N2 dan H1N2 secara regular bersirkulasi pada populasi babi di AS.

Sejak munculnya pandemi flu Spanyol 1918 yang disebabkan oleh virus H1N1, sirkulasi virus terus berlangsung pada populasi babi di AS. Prevalensi subtipe H1N1 pada populasi babi cukup tinggi sebelum tahun 1998, namun sejak bulan Agustus 1998 subtipe H3N2 diisolasi dari babi. Kejadian ini menunjukkan bahwa virus berevolusi dari strain H1N1 ke strain H3N2 dan sekarang sudah menyebar dari manusia ke manusia. Seringkali penyakit yang menjangkiti pekerja peternakan yang kontak langsung dengan babi kemudian pekerja tersebut menulari keluarganya.

Hasil surveilans di AS menunjukkan hampir 25 persen dari 114 ribu sampel serum babi di AS ditemukan positif paling tidak terhadap salah satu dari serotipe tersebut diatas. Namun demikian sirkulasi pada populasi babi sejauh ini dapat dikatakan terkendali dengan baik. Meskipun kadangkala timbul masalah pada suatu peternakan tertentu yang memang tidak mengendalikan kejadian penyakit dengan baik atau penyakitnya hanya muncul pada saat-saat tertentu.

Hubungan produksi masal dan penyebaran virus

Memang tidak dapat dibantah bahwa hubungan antara kondisi peternakan yang produksinya masal seperti yang dipraktekkan di AS mempermudah timbul dan menyebarnya virus flu babi. Para ahli mengatakan bahwa munculnya virus H1N1 pada tahun 1998 di peternakan North Carolina, AS berkaitan erat dengan praktek budidaya yang sangat intensif.

Pertama, dengan cara memelihara ternak babi dan ayam secara berdekatan dengan menggunakan para pekerja yang sama. Suatu praktek yang dikatakan tidak layak, oleh karena virus influenza yang hidup diantara populasi babi adalah virus yang mudah sekali beradaptasi dengan mamalia dan selanjutnya memberi kemungkinan bagi virus tersebut untuk menangkap material genetik dari virus influenza manusia. Evolusi dari virus ini pada akhirnya akan membentuk virus strain baru yang akhirnya bisa menjadi sangat berbahaya.

Kedua, kepadatan ternak yang sangat tinggi dalam satu kandang. Pada saat munculnya H1N1 tahun 1998, populasi sapi di North Carolina mencapai 10 juta ekor, naik dari hanya sekitar 2 juta ekor sejak 6 tahun yang lalu. Pada saat yang sama, jumlah peternakan babi menurun dari 15 ribu pada tahun 1986 menjadi 3600 pada tahun 2000. Dalam hal ini, populasi meningkat 5 kali, akan tetapi jumlah peternakan 5 kali lebih sedikit. Dampak yang terjadi adalah peternak menjejal 25 kali lebih banyak babi ke dalam satu operasi peternakan. Kepadatan yang berlebihan ini akan mempermudah timbulnya virus strain baru dan menyebarnya penyakit, oleh karena seperti halnya penularan flu pada manusia, virus flu antar babi ditularkan melalui droplet atau aerosol dari sekresi cairan yang keluar dari hidung babi.

Ketiga, dampak polusi peternakan babi yang tidak terkendali akibat manajemen biosekuriti dan biokontainmen yang kurang memenuhi syarat. Virus influenza mudah sekali menyebar dalam lingkungan peternakan dan konsentrasi tertinggi ada dalam kotoran babi. Kondisi dimana bahan-bahan organik dan sisa-sisa buangan asal peternakan babi mencemari air dan udara, maka hal ini akan mempermudah timbulnya dan menyebarnya virus ke lingkungan sekitar.

Biosekuriti dan biokontainmen

Kemunculan wabah flu pandemi H1N1 2009 menjadi suatu peringatan dan bahkan pemikiran ulang tentang diperlukannya tindakan biosekuriti dan biokontainmen yang ketat dan dilaksanakan sesuai aturan dalam operasi industri peternakan babi dan unggas yang sangat intensif.

Biosekuriti didefinisikan sebagai suatu praktek atau sistem yang dapat mencegah penyebaran agen penyakit dari hewan terinfeksi ke hewan peka atau mencegah introduksi hewan terinfeksi ke suatu kelompok ternak, wilayah atau negara dimana penyakit belum terjadi. Sedangkan biokontainmen adalah upaya untuk mencegah penyebaran agen penyakit dalam kelompok ternak atau flok dimana penyakit sudah terjadi. Definisi biokontainmen dapat diperluas mencakup tindakan-tindakan untuk mencegah keluarnya agen penyakit dari kelompok ternak yang terinfeksi (1, 7).

Pada dasarnya kombinasi biosekuriti dan biokontainmen akan mengurangi risiko introduksi maupun keluarnya agen penyakit secara signifikan. Mengingat agen penyakit banyak sekali ragamnya, maka pada dasarnya risiko nol sangat tidak mungkin untuk dicapai pada populasi ternak yang dikelola dalam bentuk peternakan skala besar, sekalipun untuk ukuran negara maju yang tingkat biosekuriti dan biokontainmen sudah sangat tinggi (1).

Sudah menjadi satu kenyataan bahwa produksi pangan asal ternak bertransformasi sejak munculnya wabah flu pandemi 1918. Produksi babi dan ayam telah berubah dari skala kecil-menengah menjadi operasi industri skala besar. Terdapat kenyataan yang tidak dapat dielakkan bahwa terjadi pergerakan agen penyakit antara dan disela-sela fasilitas industri, kemudian terlepas ke lingkungan luar, dan terdedah ke para pekerja peternakan. Hal yang mengasumsikan bahwa tantangan produksi peternakan babi atau ayam modern adalah keharusan untuk lebih banyak memperhatikan biosekuriti dan biokontaimen dibandingkan dengan operasi skala kecil.

Seringkali diasumsikan bahwa produksi pangan hewani yang intensif dengan standar biosekuriti dan biokontainmen yang tinggi dapat mengurangi risiko penularan penyakit zoonosis ke manusia. Namun demikian belakangan ini, asumsi tersebut harus dikaji ulang secara lebih kritis. Kenyataan dari berbagai penelitian membuktikan bahwa operasi industri babi dan unggas dengan skala yang berlebihan menghasilkan pencemaran lingkungan, penularan antar spesies dan peluang tertularnya manusia oleh agen penyakit (1).

Suatu analisis data dari hasil investigasi di Thailand tahun 2004 menunjukkan bahwa wabah H5N1 kenyataannya lebih tinggi pada operasi perunggasan komersial skala besar dibandingkan dengan ayam belakang rumah (backyard). Data ini menyarankan bahwa untuk merancang strategi yang berhasil mencegah atau mengurangi kemunculan pandemi avian influenza harus mempertimbangkan faktor risiko khusus yang tertuju kepada industri produksi pangan asal ternak modern (1).

Kondisi peternakan babi di Indonesia

Kondisi peternakan babi di Indonesia sangat berbeda dengan kondisi di AS, sehingga dampak terhadap lingkungan dan kesehatan belum banyak dirasakan sebagai hal yang kontroversial sebagaimana halnya di negara maju.

Peternakan babi di Indonesia pada umumnya lebih merupakan peternakan rakyat dengan skala kecil sampai menengah. Jumlah peternakan intensif sangat sedikit sekali, itupun hanya terbatas di daerah-daerah tertentu. Industri babi skala besar hanya ada di Pulau Bulan yaitu suatu pulau yang letaknya di sebelah utara Pulau Sumatera, 2,5 kilometer barat daya Pulau Batam. Pulau Bulan yang luasnya hanya 16 persen dibandingkan dengan luas Singapura dan sudah 24 tahun memasok babi hidup ke negeri jiran tersebut.

Permasalahan riil peternakan babi di Indonesia lebih banyak menyangkut ketidakpastian hukum dalam berusaha ternak babi. Masalah sosio-religis menjadi kendala utama dalam mengembangkan peternakan babi, terutama apabila peternakan babi tersebut berpotensi tergusur akibat resistensi penduduk setempat atau akibat perluasan pemukiman baru.

Dalam mengembangkan dan mempertahankan agar usaha peternakan babi dapat hidup, maka Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) menjadi satu hal yang sangat penting untuk diatur dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda). Realitasnya peternakan babi juga mempunyai kontribusi bagi penyerapan tenaga kerja dan turut mendorong roda perekonomian daerah.

Satu hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah praktek memelihara babi yang berdekatan dengan ayam yang umumnya banyak dilakukan di Pulau Jawa, terutama dipicu oleh ketersediaan lahan yang sempit. Bahkan untuk efisiensi produksi, di beberapa daerah dilakukan pola integrasi dimana kepada babi diberikan bangkai ayam yang mati atau sisa-sisa potongan ayam afkir. Kejadian ini mampu mempermudah perpindahan virus influenza dari unggas ke babi. Hal ini terbukti dari berhasilnya diisolasi virus H5N1 dari babi di Indonesia selama tahun 2005-2007 yang dianggap sebagai limpahan virus (spill over) yang berasal dari peternakan ayam.

Langkah antisipatif

Meskipun Indonesia belum akan mengalami seperti halnya AS dan negara maju lainnya, akan tetapi pemerintah Indonesia perlu mengenali potensi yang merusak dari pertumbuhan industri peternakan yang berlangsung cepat dan ekspansif. Perubahan praktek-praktek pengelolaan unggas dan babi yang terjadi belakangan ini masih menimbulkan kontroversi yang terus berkembang seputar dampaknya terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Namun dari sisi biosekuriti, tindakan-tindakan yang bisa dilakukan pada peternakan babi di Indonesia adalah memberikan penyuluhan yang baik kepada pemilik ternak maupun para pekerjanya untuk segera melaporkan kepada Dinas Kesehatan setempat apabila mengalami gejala-gejala yang menyerupai influenza (influenza like-illness) dan memeriksakan kesehatan ke praktek dokter terdekat. Begitu juga apabila ditemukan gejala-gejala sakit flu pada ternak babi peliharaannya, untuk segera melaporkan ke Dinas yang menangani fungsi kesehatan hewan setempat melalui kepala desa untuk tindakan lebih lanjut.

Disamping itu, peternak babi sebaiknya mengharuskan dirinya dan para pekerjanya untuk menggunakan pakaian dan alas kaki khusus serta masker pada saat memasuki peternakan. Juga membiasakan mencuci tangan dan lengan sebelum melakukan kontak dengan babi. Begitu juga melakukan kontak dengan dokter hewan untuk mendiskusikan dan kemudian melaksanakan praktek biosekuriti dan biokontainmen yang diperlukan.

Penerapan biosekuriti dan biokontainmen bukan hanya merupakan persoalan individu peternak semata, akan tetapi juga memerlukan campur tangan pemerintah. Paling tidak para pengambil kebijakan harus memberikan kesadaran kepada masyarakat bahwa adalah jauh lebih efektif dan ekonomis melakukan biosekuriti dan biokontainmen yang investasinya jauh lebih kecil dibandingkan dengan konsekuensi besar yang harus ditanggung akibat penyakit menular atau zoonosis.

Referensi:
(1) Graham J.P., Leibler J.H., Price L.B., Otte J.O., Pfeiffer D.U., Tiensin T., and Silbergeled E.K. (2008). The Animal-Human Interface and Infectious Disease in Industrial Food Animal Production: Rethinking Biosecurity and Biocontainment. Public Health Reports, May-June 2008, Volume 123, pp. 282-299.
(2) Vijaykrishna D., Poon L.L.M, Zhu H.C., Ma S.K., Li O.T.W, Cheung C.L., Smith G.J.D., Peiris J.S.M., and Guan Y. (2010). Reassortment of Pandemic H1N1/2009 Influenza A Virus in Swine. Science, Vol. 328, pp. 1529.
(3) Nierenberg D. and Garces L. (2004). Industrial Animal Agriculture – The Next Global Health Crisis? A report prepared by the World Society for the Protection of Animals (WSPA) for the presentation at the World Health Organization. Global Forum for Health Research, Forum 8, Mexico City, November 2004.
(4) Otte J. Roland-Holst D., Pfeiffer D., Soares-Magalhaes R., Rushton J., Graham J., and Silbergeld E. (2007). Industrial Livestock Production and Global Health Risks. Research Report. Pro-Poor Livestock Policy Initiative.
(5) Webby R.G. and Webster R.G. (2001). Emergence of Influenza A Viruses. Phil Trans R Soc Lond B, 356: 1817-1828.
(6) Capua I. and Alexander D.J. (2006). The Challenge of Avian Influenza to the Veterinary Community. Avian Pathology, 35(3): 189-205.
(7) Dargatz D.A. et al (2002). An Introduction to Biosecurity of Cattle Operations. Vet Clin North Am Food Anim Pract, 18: 1-5.
(8) CAST (1999). Animal Agriculture and the Global Food Supply. Task Force Report 135, 92pp.

*) Bekerja pada Food and Agriculture Organization of the United Nation di Vientiane, Lao PDR.

2 Komentar:

Bugie Kurnianto Prasetyo [Reply] mengatakan...

Bu Tata, saya numpang komentar : Dalam sebuah forum workshop perunggasan saya pernah mengemukakan arti penting biosekuriti yang memiliki konsep bioekslusi (pencegahan agar tidak masuk) dan biokontainmen (pencegahan agar tidak menyebar bila sudah masuk), namun beberapa pakar (ahli) menyanggah dengan menganggap biokontainmen lebih kepada aplikasi di laboratorium. Menurut saya, biosekuriti di peternakan juga perlu mengaplikasikan prinsip ini, termasuk juga biosafety (keamanan pekerja kandang; seperti kebiasaan mencuci tangan dll). Bagaimana menurut Ibu?
Terima Kasih
-Bugie-

Tata [Reply] mengatakan...

Saya kira anda benar. Biokontainmen juga digunakan untuk peternakan. Jika terjadi suatu wabah penyakit di suatu peternakan, maka proses biokontainmen mencegah penyakit tersebut untuk tidak menyebar ke peternakan lain. Biosafety juga digunakan untuk peternakan, tetapi lebih banyak diterapkan untuk laboratorium. Program biosafety di peternakan memastikan diterapkannya sejumlah tindakan standar pengendalian produksi untuk menjamin kualitas produk akhir. Terima kasih atas komentarnya.