Minggu, 11 April 2010

Stop pembunuhan anjing di Bali: Vaksin oral untuk anjing jalanan?

Oleh: Tri Satya Putri Naipospos

Bali memang cuma pulau kecil diantara pulau-pulau lainnya di Indonesia, merentang 75 km dari utara ke selatan dan 142 km dari timur ke barat dengan penduduk sekitar 3,5 juta orang. Akan tetapi Bali juga menjadi tempat tinggal dari 600 ribu ekor anjing jalanan (stray dog) yang menjadi bagian penting dari kehidupan ritual dan mitologi masyarakat Hindu Bali. Persis seperti yang digambarkan dalam sebuah film dokumenter “Island of the Dogs”.

Anjing jalanan Bali memiliki sejarah panjang semenjak 12 ribu tahun yang lalu, dengan dimulainya imigrasi manusia dari China ke Indonesia. Keragaman genetik anjing jalanan Bali menunjukkan bahwa ada korelasi dengan Asia Timur. Tidak mengherankan sifatnya yang agresif kemungkinan genetiknya yang hampir-hampir mendekati dingo di Australia, bahkan juga dengan anjing dari timur Chow-chow.

Peranan anjing dalam kehidupan masyarakat Bali, sama seperti halnya di Flores. Rasio anjing berbanding manusia di Bali yaitu 1 : 8,27 atau kepadatan 96 ekor per km2, sedangkan di Flores 1 : 2,5, tertinggi di Kabupaten Ende 1 : 3,3 dan terendah di Kabupaten Lembata dan Sikka 1: 2,1.

Sebelum rabies berjangkit di Bali tahun lalu, Indonesia memiliki kebanggaan bahwa umumnya daerah-daerah di belahan timur Indonesia masih bebas rabies. Namun kebanggaan itu harus musnah, begitu rabies menjangkiti satu per satu, pulau demi pulau. Pulau Flores (1997), Pulau Ambon dan Seram (2003), Pulau Buru (2004), serta Pulau Halmahera dan Morotai (2005).

Banyak teman-teman sejawat dokter hewan sudah sejak lama memprediksi bahwa rabies di Pulau Bali hanyalah soal waktu. Bukan hanya disebabkan oleh karena potensi anjing jalanan yang populasinya sulit dikendalikan (data tidak pernah sama, dari berbagai sumber berkisar antara 500-800 ribu), akan tetapi juga karena sulitnya mempertahankan larangan pemasukan anjing secara total ke Pulau Bali. Diasumsikan pula sudah sejak lama anjing ras dari wilayah tertular rabies banyak yang diselundupkan ke sana.

Strategi sama

Strategi pengendalian rabies yang sejak dahulu diterapkan dengan metoda pemecahan masalah 'local area specific’ (LAS) dengan pola vaksinasi suntik (parenteral), jelas dan gamblang masih relevan sampai dengan saat ini. Nyatanya dengan strategi LAS tersebut dan penggunaan jenis vaksin yang sama (mayoritas produksi Pusat Veterinaria Farma Surabaya) ditambah eliminasi anjing tak berpemilik, bisa dicapai keberhasilan dengan diraihnya status bebas untuk Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur dan DI Yogyakarta (1997) dan masih bertahan sampai sekarang. Begitu juga di Provinsi Kalimantan Barat (2004), dengan strategi yang sama penanganan wabah berlangsung cepat.

Kerja keras, pengorbanan, kesungguhan serta semangat dan dedikasi yang tinggi disamping tentunya penguasaan teknis dan lapangan yang memadai telah membuktikan rabies di Pulau Ambon, Seram, Buru dan Halmahera bisa dikendalikan. Sampai dengan saat ini kasus rabies sudah tidak dilaporkan lagi, meskipun daerah tersebut belum bisa dikatakan sudah bebas kembali.

Namun demikian, dengan strategi yang sama ternyata rabies masih belum tertangani di daerah-daerah padat anjing seperti Provinsi Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Jawa Barat (Sukabumi), Nusa Tenggara Timur (Flores) dlsbnya. Pastinya ada peran dari faktor-faktor yang berbeda di setiap daerah, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa strategi yang sama tidak selalu menghasilkan output yang sama antar satu daerah dengan lainnya.

Begitu Pulau Bali diserang rabies, strategi yang sama digunakan kembali akan tetapi pertanyaan lalu muncul, kenapa di Bali belum juga berhasil?

Stop pembunuhan

Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) mengatakan bahwa vaksinasi adalah metoda utama dalam mengendalikan dan menghilangkan rabies pada sumbernya yaitu hewan. Pemusnahan anjing tidak pernah terbukti sebagai cara efektif dalam mengendalikan dan memberantas rabies. Menurut OIE, negara-negara di dunia ke depan harus menerapkan ilmu pengetahuan baru yang dapat berkontribusi kepada pengembangan vaksin, uji diagnostik dan metoda pencegahan dan pengendalian yang lebih aman dan efektif.

Pernyataan OIE tidak bisa dilepaskan dari apa yang sudah terjadi di Pulau Flores. Sejak awal, pro kontra kebijakan awal berupa pemusnahan anjing secara total sebagai strategi untuk menangani rabies membuat persoalan semakin kompleks. Kekurangpahaman tentang ekologi anjing (dog ecology) dan anthropologi budaya di Flores membuat penerapan kebijakan tersebut gagal tanpa membuahkan hasil. Bahkan kebijakan vaksinasi yang diperbolehkan setelah itu, belum juga mampu mengatasi penularan. Memprihatinkan bahwa setelah lebih dari 12 tahun rabies masih berjangkit di Flores.

Pemusnahan anjing dianggap bertentangan dengan kesejahteraan hewan (animal welfare). Isu yang semakin berkembang di dunia, terutama disuarakan oleh kelompok-kelompok pemerhati dan penyayang binatang. Pemerintah dan masyarakat Indonesia tidak bisa begitu saja menutup mata dan telinga terhadap isu ini dan perlu menunjukkan kesadaran dan kepedulian terhadap hewan, tidak terkecuali anjing jalanan.

Petisi yang ditujukan khususnya kepada pemerintah Bali, tidak heran karena Bali memang merupakan tujuan wisata asing yang paling populer dibandingkan daerah lain di Indonesia. Sebut saja bagaimana LSM-LSM tersebut melakukan kampanye di lapangan maupun juga melalui berbagai blog di internet, seperti Born Free Foundation dengan kampanye "Stop the inhumane cull dog in Bali"; World Society for the Protection of Animals (WSPA) Australia & New Zealand dengan kampanye "Urgent Action: Save Bali's dog"; Animal Rights dengan kampanye "Bali dogs are dying. Please stop the killing"; Animal Asia Foundation: "Sign the petition to Governor of Bali against unnecessary killing". Bahkan juga LSM dalam negeri, Bali Animal Welfare Association (BAWA): "Save Bali dogs. Help eliminate the cruel treatment of animals in Indonesia".

Begitu juga dua buah facebook berjudul "Save the dogs of Bali, Indonesia" dan "Save's Bali dogs. Stop of this cruel form of culling".

Kendala vaksinasi

Mulanya pada bulan November 2008, rabies hanya terfokus di areal Bukit Peninsula yaitu di Kuta Selatan, Kabupaten Badung, akan tetapi kasus sudah menjalar ke Kabupaten Tabanan pada bulan September 2009. Laporan Dinas Kesehatan tentang kasus gigitan anjing sebanyak 14.700 orang di Bali sejak awal rabies muncul, seharusnya sudah memberikan lampu merah bagi pemerintah pusat dan provinsi Bali bahwa kewaspadaan harus ditunjukkan semua pihak.

Banyak faktor yang membuat kecepatan program vaksinasi anjing tidak mampu mengejar penjalaran penyakit. Konsentrasi vaksinasi di tiga kabupaten yaitu Badung, Tabanan dan Kediri menunjukkan kecepatan vaksinasi sebagai berikut: 18 Desember 2008 jumlah anjing yang divaksin 734 ekor; 26 Januari 2009 jumlah anjing yang divaksin 13,954 ekor; 10 Maret 2009 jumlah anjing yang divaksin 37.074 ekor dan kucing 916 ekor; dan sampai dengan 7 Oktober 2009 jumlah anjing yang divaksin 70.371 ekor dan kucing 916 ekor.

Apabila ini dibandingkan dengan populasi anjing yang peka di 3 kabupaten tersebut, maka cakupan vaksinasi hanya berkisar sekitar 30-40% saja atau mungkin lebih rendah dari itu.

Kendala vaksinasi menurut Ngurah Mahardika di Bali Post Oktober 2009 disebutkan bahwa partisipasi dan pengetahuan masyarakat kurang memadai, mobilisasi tenaga dan dana yang minim. Disamping juga sulitnya melaksanakan operasionalisasi pemusnahan anjing dengan racun strychnine yang mendapatkan tentangan dari berbagai LSM dalam dan luar negeri.

Vaksin oral

Eropa dan Amerika serta beberapa negara tertentu di Amerika Selatan dan Asia sudah berhasil memberantas rabies pada anjing dengan cara vaksinasi suntik dan pengendalian anjing jalanan. Vaksin oral dengan penggunaan umpan (bait) pertama kali dikembangkan sekitar 1970an dan 1980an untuk digunakan pada satwa liar khususnya serigala. Progam vaksin oral di Kanada dan Eropa tadinya ditujukan untuk serigala merah, sedangkan di AS untuk serigala abu-abu, rakun, dan koyota.

Penggunaan vaksin oral untuk anjing sudah diterapkan di Turki, Meksiko, Tunisia, Afrika Selatan, Guatemala, Srilangka, Thailand, Zimbabwe dan Philippina.

Kalaupun vaksin oral disarankan untuk anjing jalanan di Bali, bukan berarti bahwa vaksin suntik (parenteral) untuk anjing rumahan dan mudah dikendalikan harus ditinggalkan.

Mengenai cara aplikasi vaksin oral dengan umpan dan juga harganya tentu harus dipelajari. Mengutip Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) bahwa harga vaksin oral sedikit lebih mahal dari vaksin suntik. Suatu studi aplikasi di Philipina menceritakan bahwa sebaiknya digunakan umpan buatan lokal sehingga harga bisa ditekan. Lagipula harga dapat ditekan lebih lanjut karena biaya operasional rendah. Keuntungannya diberikan masal, cepat dan efisiensi waktu. Pengalaman Philipina menyatakan bahwa dibutuhkan total waktu 13,96 menit untuk menyuntik seekor anjing, akan tetapi hanya dibutuhkan beberapa menit saja dengan pemberian oral.

Penelitian lain menunjukkan pula bahwa secara signifikan vaksin oral dapat meningkatkan cakupan vaksinasi bagi anjing-anjing yang bebas berkeliaran dan tidak mendapatkan perhatian baik diterapkan secara eksklusif maupun dikombinasikan dengan vaksinasi parenteral. Durasi titer antibodi vaksin oral dan studi tantang sudah dibuktikan di laboratorium maupun di lapangan.

Pilihan strategi vaksinasi dengan vaksin oral bergantung kepada banyak faktor. Faktor seperti proporsi anjing berpemilik dibandingkan dengan keseluruhan populasi anjing; proporsi anjing tak berpemilik dan di habitat mana populasi tersebut hidup; dan tingkat keliaran anjing tak berpemilik mulai dari liar terbatas sampai dengan liar permanen. Agung Gde Putra mengatakan 70% populasi anjing di Bali berpemilik tetapi dibiarkan berkeliaran di jalanan, 25% anjing rumahan dan 5% benar-benar liar (bisa ditemukan di hutan).

Begitu juga faktor perkembangbiakan (turn-over) populasi anjing per tahun, sehingga frekuensi vaksinasi parenteral dan/atau vaksinasi oral dapat ditentukan. Data Agung Gde Putra juga menyatakan populasi anjing betina subur (fertil) sebanyak 19% dari populasi keseluruhan atau 62% dari populasi betina.

Jadi penggunaan vaksin oral harus dipertimbangkan dengan melihat persentase populasi anjing yang dapat diakses dengan vaksinasi parenteral dibandingkan dengan vaksin oral, besaran populasi anjing dan logistik yang dikaitkan dengan kemudahan transportasi, pergerakan dan jumlah tim vaksinator, umpan dan suplai lainnya yang dibutuhkan untuk menentukan efektivitas vaksinasi, baik parenteral maupun oral atau kombinasi.

Komunikasi risiko

Perlu juga diingatkan bahwa setiap cara vaksinasi punya kelemahan sendiri, begitu juga vaksin oral. Kecelakaan akibat umpan termakan atau mencemari hewan lain atau manusia pada umumnya disebabkan oleh prosedur yang kurang benar atau lengah. Dalam hal ini diperlukan transparansi dalam pelaksanaan, sehingga setiap orang bisa menyadari dan belajar dari kecelakaan yang terjadi pada orang lain, sekecil apapun. Umpan berisi vaksin bisa membahayakan manusia kalau lengah, tapi manusia memiliki kepandaian untuk mengurangi atau meminimalkan kesalahan.

Jadi dari awal, sudah disampaikan tentang pentingnya membarengi penggunaan vaksin oral dengan komunikasi risiko. Penelitian vaksin oral di China menunjukkan dari 96 ekor anjing yang diberi umpan vaksin, 90 ekor memakannya, 79 (87,8%) diantaranya membentuk neutralisasi antibodi dan 72 (80,0%) menunjukkan antibodi protektif yang bertahan sampai 2 tahun. Kesimpulan penelitian China mengatakan bahwa vaksin oral adalah suatu cara baru, aman dan efektif, penggunaan dengan umpan mudah dan sangat berguna, serta punya masa kekebalan yang cukup lama.

*) Penulis bekerja di World Animal Health Organization (OIE), Regional Coordination Unit for South East Asia, Bangkok.

4 Komentar:

Waldi [Reply] mengatakan...

Tulisan yang menarik dan bermanfaat bagi para penggambil kebijakan demi bebasnya negeri ini dari belenggu rabies...

Waldi [Reply] mengatakan...

Artikel yang sangat bagus dan bermanfaat bagi para pengambil kebijakan demi bebasnya negeri ini dari belenggu rabies.

habybpalyoga [Reply] mengatakan...

Alhamdulillah,saya dapat pencerahan ketika membaca artikel ini....
oh iya,kenalkan saya habyb palyoga mahasiswa kedokteran hewan universitas brawijaya baru semester 2...
Kalau ibu butuh volunter...saya bersedia...

Anonim [Reply] mengatakan...

salam kenal ibu Tata, sy ana, saat ini student di Uni of Sydney, sy mendalami rabies dn sy sgt senang menemukan blog ini, sangat menambah pengetahuan saya. good work ibu Tata.. two thumbs up for you.