Oleh: Tri Satya Putri Naipospos*)
Di era liberalisasi perdagangan seperti sekarang sudah semestinya Indonesia mengakhiri bentuk-bentuk proteksionisme seperti hambatan penyakit mulut dan kuku (PMK) dalam importasi ternak dan produk asal ternak. Untuk memperoleh keuntungan dari suatu kemitraan perdagangan, PMK atau isu kesehatan hewan lainnya semestinya dijadikan sebagai peluang, bukan malahan sebagai hambatan perdagangan.
Sampai saat ini, Indonesia masih dinyatakan sebagai negara dengan status bebas PMK tanpa vaksinasi oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) melalui Resolusi OIE nomor XVIII tahun 2008. Sampai saat ini pula, Indonesia masih tetap mengandalkan pasokan daging impor untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri yang berasal hanya dari negara-negera yang bebas PMK tanpa vaksinasi, utamanya dari Australia dan Selandia Baru.
Kondisi Indonesia yang terproteksi dengan populasi sapi yang stabil selama lebih dari 20 tahun terakhir dan pemberlakuan pelarangan impor dari India dan Amerika Selatan akibat PMK telah menempatkan Australia dan Selandia Baru sangat dominan sebagai penyuplai pasar Indonesia melalui ekspor sapi hidup (bakalan) dan daging. Kenaikan inflasi merupakan faktor di luar kendali industri sapi potong Australia yang bisa memberikan dampak negatif terhadap penjualan sapi bakalan dan daging ke Indonesia yang seringkali berujung pada permainan harga.
Meskipun demikian, Indonesia tidak terlepas dari kemungkinan yang bisa saja terjadi dalam hal masuknya PMK kembali. Konsekuensi risiko terjangkit PMK oleh negara pengimpor dalam setiap kali importasi merupakan suatu penggabungan dari rangkaian probabilitas risiko dalam perjalanan daging impor sejak dari negara asal sampai tiba di negara tujuan.
Di satu sisi, Indonesia memerlukan pasokan baru daging impor yang dianggap bisa menjadi pesaing dari negara-negara mitra dagang yang sudah lama menguasai pasar Indonesia. Sudah jelas pertumbuhan permintaan akan daging impor dengan kualitas baik yang harganya dapat ditekan lebih murah tidak bisa dengan mudah dipenuhi mengingat sedikitnya jumlah negara-negara pengekspor yang bebas PMK di dunia.
Pertumbuhan permintaan daging
Sampai dengan 2015, penduduk Indonesia diperkirakan akan bertambah sebesar 27 juta orang. Apabila konsumsi daging per kapita dipertahankan pada tingkatnya belakangan ini yaitu rata-rata 1,71 kilogram (2004-2006), ini akan menambah kebutuhan daging sapi sebesar 45 ribu ton. Dengan asumsi rata-rata berat karkas 240 kilogram, maka tambahan khusus sebesar 190 ribu ekor sapi bakalan diperlukan untuk memenuhi pertambahan tersebut.
Begitu juga dengan pertumbuhan domestik bruto (PDB) yang terus berlanjut. PDB per kapita meningkat sebesar 6,9 persen di tahun 2008 yaitu menjadi Rp 19,51 juta. Kenaikan ini diikuti dengan pertumbuhan pendapatan konsumen yang diharapkan akan memberikan dampak lanjutan pada kenaikan konsumsi daging sapi.
Meskipun demikian peningkatan PDB tidak dapat menjamin kenaikan konsumsi daging di negara berkembang seperti Indonesia. Jumlah uang yang dibelanjakan konsumen untuk jenis-jenis barang yang tidak esensial setelah kebutuhan dasar terpenuhi seharusnya juga mendapat perhatian. Kontras dengan negara maju dimana pangan menempati hampir 15 persen dari total pengeluaran rumah tangga, di Indonesia lebih dari 53 persen seluruh pengeluaran rumah tangga ditujukan untuk pangan.
Perubahan kebijakan
Rencana Menteri Pertanian Anton Apriyantono mengubah dasar kebijakan importasi daging terkait PMK dari status ‘negara bebas’ menjadi ‘zona bebas’ untuk membuka keran impor dapat dijustifikasi sesuai ketentuan OIE dan juga mekanisme pasar internasional yang diatur melalui Perjanjian Sanitary and Phytosanitary (SPS).
Pengaturan importasi ternak dan produk asal ternak dari luar negeri selama ini mengacu kepada Keputusan Menteri Pertanian Nomor 754/1992 yang menerapkan kebijakan hanya diizinkan dari negara ‘bebas PMK’.
Dengan notifikasi perubahan tersebut, maka implikasinya adalah setiap negara di dunia yang memiliki zona bebas PMK yang statusnya diakui OIE berpeluang untuk mengimpor ternak dan produk asal ternaknya ke Indonesia. Kita mengetahui dengan pasti bahwa dengan kondisi tersebut ada dua negara produsen ternak yang memiliki potensi sangat besar untuk menyuplai permintaan kebutuhan daging sapi penduduk Indonesia yang semakin bertambah yaitu India dan Brazil. Sudah barang tentu pencabutan pelarangan daging sapi dari India dan Brazil akan menyebabkan meningkatnya persaingan pasar untuk produk-produk daging yang harganya lebih murah.
Aturan internasional menyatakan bahwa perdagangan hewan dan produk hewan dapat dilakukan dengan negara yang memiliki zona bebas PMK – regionalisasi mempunyai pengertian yang sama dengan zona. Dalam definisi OIE, zona bebas (disease free zone) adalah suatu sub-populasi yang memiliki status kesehatan hewan yang bebas dari suatu penyakit tertentu. Penetapan zona bisa berdasarkan batasan alam atau buatan akan tetapi harus memiliki landasan hukum.
Menurut OIE penerapan zona tidak bersifat wajib (mandatory). Pada dasarnya suatu negara dapat menerapkan konsep zona bebas untuk mengkonsentrasikan sumberdayanya sedemkian rupa, sehingga keberhasilan mengendalikan atau memberantas suatu penyakit akan berpeluang lebih besar. Atau juga apabila negara tersebut ingin mendapatkan atau mempertahankan akses pasar bagi komoditi tertentu, dimana pencapaian status bebas untuk seluruh wilayah negara tidak mungkin dicapai atau tidak praktis.
Status bebas
Beberapa ahli dunia mengatakan bahwa kategori OIE mengenai status ‘bebas penyakit’ (freedom of disease) yang berlaku baik untuk negara atau zona adalah suatu label yang membahayakan. Wabah PMK yang hebat muncul di Inggris tahun 2001 bisa dijadikan satu contoh peringatan bagi setiap negara di seluruh dunia bahwa ‘bebas penyakit’ bukan berarti ‘risiko nol’. Tiga negara di Uni Eropa pada waktu itu ikut terjangkit, pada saat Inggris sendiri secara resmi masih dinyatakan sebagai negara yang bebas PMK tanpa vaksinasi.
Hal ini menunjukkan satu indikasi yang kuat bahwa mengkaji status negara mitra dagang yang bebas PMK dalam kaitan dengan risiko impor acapkali sulit terdeteksi. Efektivitas sistem surveilans di negara tersebut adalah salah satunya yang terpenting untuk dipertimbangkan. Kualitas dan independensi sistem surveilas tersebut adalah faktor utama yang bisa mendemonstrasikan secara berlanjut bahwa memang PMK tidak berjangkit di negara tersebut.
Itu sebabnya OIE pada tahun 2001 mengubah kategori status ‘bebas penyakit’ (freedom of disease) menjadi ‘bebas infeksi’ (freedom of infection), mengingat bukti bebasnya suatu negara atau zona dari infeksi memerlukan sistem surveilans aktif.
Konsep ‘bebas infeksi’ secara nasional membuat hambatan yang luar biasa bagi negara-negara di Afrika, Asia dan Amerika Selatan untuk mencapai status bebas PMK – dan ini menimbulkan kekehawatiran cukup besar bagi dunia di masa depan. Pada kenyataannya tidak ada negara manapun yang letaknya di sebelah selatan Sahara dan hanya satu negara di daratan Asia yang secara utuh bebas dari PMK.
Implikasi dari perubahan aturan OIE sebenarnya meningkatkan risiko bagi hampir seluruh negara. Negara-negara endemik PMK hampir tidak memiliki kesempatan untuk ‘bebas infeksi’ mengingat kemungkinan terinfeksi kembali sangat tinggi. Dengan demikian isu ini selalu dianggap sebagai masalah yang membatasi setiap investasi nasional suatu negara untuk meraih status bebas PMK dan sekaligus juga menjadi ancaman yang terus menerus bagi negara-negara yang selama ini ‘bebas PMK”.
Tidak ada risiko nol
Pada kenyataannya perdagangan internasional tidak mungkin dilakukan dengan 'risiko nol' (zero risk), sehingga kalaupun Indonesia ingin memasukkan komoditi tertentu yang berasal dari zona bebas penyakit suatu negara tertentu, tetap harus dilakukan prosedur yang ditetapkan dalam OIE Code pasal 2.2 dan perjanjian SPS artikel 5 tentang analisa risiko (risk analysis).
Analisa risiko-lah yang digunakan sebagai alat pemerintah untuk menyetujui atau menolak suatu usulan importasi. Oleh karenanya prosedur analisa risiko harus dilakukan benar secara ilmiah dan transparan, sehingga risiko masuknya penyakit sebagai dampak dari perdagangan dapat ditekan sekecil mungkin. Pemerintah Indonesia sangat perlu meningkatkan sumberdaya manusianya dengan pemahaman sebaik mungkin tentang konsep analisa risiko dan mempraktekkannya.
Negara-negara yang bebas PMK termasuk Indonesia menerima ancaman risiko tertular kembali secara konstan, sebab kejadian penyakit ini tersebar luas di berbagai belahan dunia. Banyak kegiatan manusia dianggap atau dipertimbangkan dapat meningkatkan peluang penularan penyakit, seperti halnya perjalanan dan perdagangan. Risiko menjadi lebih tinggi apabila perdagangan harus dilakukan bagi hewan atau produk hewan yang memang sangat kritis diperlukan di dalam negeri.
Meskipun perubahan kebijakan yang dilakukan pemerintah Indonesia sah secara kaidah internasional, namun kajian yang digunakan sebagai dasar untuk mengubah kebijakan tersebut tidak sesuai dengan kesetaraan yang adil dalam percaturan perdagangan internasional. Perdagangan bebas seharusnya berlandaskan pada tingkat perlindungan yang seimbang antar negara pengimpor dan pengekspor.
Indonesia seharusnya menggunakan indikator pertimbangan perubahan kebijakan tersebut adalah meningkatnya kapasitas dan kemampuan negara dalam mengendalikan atau mengurangi risiko penularan penyakit hewan menular berbahaya yang dianggap menghambat perdagangan. Dasar yang kemudian dianggap membuat Indonesia lebih mampu dalam mengelola risiko apabila keran impor dibuka dari zona bebas PMK.
Pertahankan bebas PMK
Sebagai negara berdaulat yang berkeinginan terus mempertahankan Indonesia sebagai negara bebas PMK, maka sudah seharusnya perubahan kebijakan yang disinggung diatas harus diikuti dengan penguatan sistem dan infrastruktur kesehatan hewan nasional secara serius dan mendasar.
Pertama, harus disadari bahwa landasan umum importasi daging adalah peraturan perundangan yang menggunakan pendekatan ilmiah dan bukan pendekatan ekonomi. Pendekatan ilmiah yang mengacu kepada prinsip analisa risiko, sistem zona atau regionalisasi yang ditujukan untuk kepentingan proteksi kesehatan hewan, kesehatan masyarakat dan ekonomi nasional.
Kedua, importasi harus ditujukan pada tiga tingkatan perlindungan di negara asal yang saling menjamin satu sama lain. Tingkatan pertama adalah wilayah dan atau peternakan darimana ternak atau daging berasal keduanya harus mengikuti semua aturan mengenai kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat (termasuk dalam hal ini residu). Tingkatan ke-dua adalah rumah potong hewan (RPH) dimana impor hanya dapat dilakukan dari sumber RPH yang telah disetujui dibawah supervisi kesehatan hewan nasional dan secara regular diaudit oleh dinas berwenang setempat. Tingkatan ke-tiga adalah produk dagingnya sendiri harus tanpa tulang (deboned) dan sudah melalui proses maturasi sebelum disertifikasi untuk ekspor.
Semua tingkatan tersebut dimungkinkan untuk diverifikasi untuk melakukan tindakan koreksi apabila diperlukan, baik yang menyangkut tindakan kesehatan hewan, penelusuran (traceability) maupun sertifikasi.
*) Penulis bekerja di World Animal Health Organization (OIE), Regional Coordination Unit for South East Asia, Bangkok
0 Komentar:
Posting Komentar