Trobos, No. 106 Juli 2008 Tahun VIII
Tri Satya Putri Naipospos
Regional Consultant, OIE RCU, Bangkok 10400, Thailand.
Era ekonomi global saat ini memerlukan industri pangan agro yang kompetitif dan juga berlaku bagi industri pangan asal unggas di Indonesia. Ini bergantung bukan hanya kepada kapasitas industri menurunkan biaya produksi, tetapi juga kemampuan menyuplai produk berkualitas tinggi guna memenuhi meningkatnya permintaan konsumen akan kualitas yang lebih baik.
Sebagai konsekuensi liberalisasi perdagangan diikuti dengan masuknya Indonesia menjadi anggota WTO, maka industri pangan agro mulai menghadapi ancaman persaingan dengan produk lebih murah dan berkualitas lebih tinggi dari luar negeri. Tentunya akan tercetus pertanyaan-pertanyaan kepada sektor pangan agro nasional kita, apakah siap bersaing dalam masalah harga, kualitas dan keamanan pangan dengan produk impor? Apakah upaya sendiri-sendiri dalam memproduksi pangan asal unggas berkualitas tinggi memungkinkan kita mempertahankan pangsa pasar domestik dan persaingan internasional? Apakah regulasi resmi, tindakan surveilans dan pengendalian penyakit terkait keamanan pangan yang dijalankan selama ini telah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam perdagangan internasional dan apakah hasilnya efektif?
Pendekatan Rantai Pangan
FAO menyatakan bahwa keamanan pangan adalah suatu isu global yang membutuhkan respons global terintegrasi. Suatu upaya diperkenalkan sejak tahun 2003 dengan istilah ”Pendekatan Rantai Pangan” (Food Chain Approach). Pendekatan untuk mencari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan diatas.
Kuncinya adalah memperkuat setiap titik dalam keseluruhan mata rantai yang merupakan proses kompleks dalam produksi pangan asal unggas. Mulai dari lokasi perternakan dimana unggas dipelihara, sampai bagaimana unggas dikumpulkan, ditransportasikan, ditampung, disembelih, dan kemudian produk unggas diproses, dikemas, dijual dan dikonsumsi.
Dahulu secara tradisional, keamanan pangan mentargetkan tahapan antara dari rantai pangan, sewaktu pangan diproses dari bahan mentah. Tetapi di zaman modern ini, perhatian justru diarahkan kepada awal atau akhir dari rantai pangan ketika produk tersebut dihasilkan atau dikonsumsi. Prinsip keamanan pangan dengan istilah “dari peternakan ke meja makan” (from stable to table).
Dalam 40 tahun sejarah perunggasan Indonesia, satu episode flu burung (Avian Influenza/AI) pernah menghancurkan kepercayaan konsumen meskipun pulih kembali secara berangsur-angsur. Dari episode ini kita bisa belajar bahwa memperkuat kesadaran konsumen merupakan satu kekuatan pendorong bisnis perunggasan untuk bisa bertahan dan memperkuat daya saing. Harus disadari juga bahaya yang ditimbulkan dari kelemahan satu titik dalam rantai pangan, khususnya di peternakan, bisa menghancurkan keseluruhan rantai pangan.
Karenanya, peranan semua pemain di industri pangan asal unggas dalam hal ini sangat penting. Yakni mulai dari perusahaan peternakan, perusahaan pengolahan pangan sampai kepada pengecer dan usaha kecil, berbagi tanggung jawab dan mempertimbangkan kerjasama sejajar dalam melaksanakan pendekatan tersebut sampai di titik akhir dari rantai pangan yaitu konsumen.
Perspektif Konsumen
Pada umumnya pandangan konsumen tentang pangan asal unggas dipengaruhi berbagai faktor, termasuk pendapatan dan daya beli, daerah tempat tinggal dan ketersediaan produk di sekitar tempat tinggal, juga sistem nilai, budaya dan etika.
Sebagian konsumen mungkin saja berkeinginan mengetahui bagaimana daging unggas tersebut dihasilkan atau bagaimana unggas tersebut dipelihara atau disembelih. Atau mungkin juga sampai kepada hal-hal rinci seperti tindakan yang dilakukan apabila terjadi wabah penyakit sampai penggunaan antibiotik.
Tetapi masih sulit untuk mengatakan tentang perspektif konsumen di Indonesia menyangkut hal ini. Karena pertama, belum pernah dilakukan survei, dan kedua, isu keamanan pangan bukanlah hal yang menjadi kepedulian utama bagi masyarakat. Dalam kehidupan masyarakat modern di kota besar sekalipun, para ibu rumah tangga suka membeli karkas ayam utuh di pasar becek meskipun tersedia pilihan lain di supermarket. Tentunya harapan konsumen adalah semua daging unggas tersebut sehat, aman dan murah.
Dalam aspek keamanan pangan, perspektif konsumen bergantung kepada produsen, badan penentu standar dan pemerintah yang dianggap bisa mewakili mereka dalam melakukan justifikasi dan memastikan bahwa pengendalian sudah berjalan sesuai persyaratan. Publik berhak mendapatkan informasi tentang daging ayam yang dijual dan standar keamanan pangan yang digunakan untuk menghasilkan produk tersebut.
Pemicu Industri
Salah satu faktor yang menghambat penanggulangan masalah flu burung di Indonesia adalah adanya interaksi langsung maupun tidak langsung dari berbagai aktivitas menyangkut budidaya, distribusi dan pemasaran antara sektor 1, 2, 3 dan 4. Sektor 4 umumnya ayam kampung yang dipelihara secara komersial dan semi-intensif.
Boleh dikatakan 70-80% daging ayam diproduksi melalui sistem budidaya modern dan sisanya dari sistem yang masih tradisional. Sebaliknya, 70-80% daging ayam kita dipasarkan dengan sistem tradisional yang ujungnya bermuara di pasar-pasar becek. Hampir sebagian besar ayam komersial sektor 2 dan 3 dipasarkan di jalur tradisional dan tidak melalui rumah potong ayam (RPA).
Episode AI secara relatif telah merubah daya saing industri. Sampai dengan saat ini, biaya produksi selalu menjadi faktor dominan dalam setiap pertimbangan daya saing dan status penyakit hanya menjadi pertimbangan sekunder.
Di masa depan, status penyakit akan menjadi jauh lebih penting. Perusahaan perunggasan yang bebas penyakit dengan biaya produksi yang lebih tinggi akan berpeluang lebih besar daripada perusahaan dengan biaya produksi yang lebih rendah akan tetapi kasus munculnya penyakit lebih tinggi.
Satu pemicu menuju ke sana adalah industri turut serta dalam mengangkat isu keamanan pangan, termasuk kemauan merubah sistem produksi itu sendiri. Maka mau tak mau harus mengandalkan sistem penyembelihan yang higienis sebagai satu titik kontrol kritis dalam rantai pangan. Untuk itu investasi bisnis perunggasan mutlak harus disertai dengan pembangunan dan pengoperasian RPA.
Peran Pemerintah
Tanggung jawab keamanan pangan yang sifatnya adalah ‘public goods’ ada di pundak pemerintah. Karena itu pengawasan keseluruhan rantai pangan harus dilaksanakan dan atau diverifikasi oleh pemerintah.
Demi memahami kompleksitas rantai pangan asal unggas, maka satu hal yang penting dan mendesak untuk dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah inventarisasi dan registrasi ulang RPA yang sudah ada. Selain itu juga perlu mendorong swasta untuk membangun RPA baru termasuk membangun jaringan rantai dingin, terutama di sentra-sentra perunggasan di luar wilayah Jabodetabek. Hal ini disamping akan memperpendek rantai pangan dengan kian berkurangnya pemain di tahapan antara sekaligus juga memperketat pengawasan sampai ke pasar becek.
Bukan itu saja, pemerintah harus memberikan perhatian lebih besar dalam hal pencetakan tenaga pengawas daging (meat inspector) dengan jumlah memadai untuk ditempatkan di setiap RPA. Seperti halnya RPA, maka persyaratan tenaga ditetapkan melalui mekanisme akreditasi dan sertifikasi. Kini sudah saatnya bagi pemerintah mengalokasikan anggaran memadai untuk memperkuat keamanan pangan dengan berpatokan kepada pentingnya mengamankan investasi bisnis perunggasan jangka panjang melalui manajemen risiko di satu titik rantai pangan yaitu RPA.
0 Komentar:
Posting Komentar