Sabtu, 18 Januari 2014

Otoritas veteriner di Indonesia: (1) Pranata kesehatan hewan yang terdesentralisasi dan terfragmentasi

Tersambung ke tulisan kedua dari dua tulisan yang membahas otoritas veteriner di Indonesia

Oleh: Tri Satya Putri Naipospos

Tulisan yang cukup panjang dibawah ini dimaksudkan untuk membahas pemahaman tentang "Otoritas Veteriner" yang berbeda di Indonesia, dan juga kondisi yang menyebabkan lemahnya penegakan otoritas veteriner dalam penyelenggaraan urusan kesehatan hewan nasional. Tulisan ini juga mengulas pemikiran berbagai kalangan dokter hewan untuk mengajukan wacana memperkuat otoritas veteriner melalui pembentukan "Badan Otoritas Veteriner" (BOV).

Semua dokter hewan, apapun ras, bangsa, dan etnisnya bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan kesehatan hewan di wilayah kerjanya atau di negaranya, atau bahkan di wilayah yang lebih luas baik regional maupun internasional. Penyelenggaraan kesehatan hewan yang terkait dengan administrasi pemerintah menjadi tanggung jawab dari kelembagaan kesehatan hewan atau kelembagaan veteriner di tingkat nasional. [1]

Di Indonesia, kelembagaan veteriner dalam hal ini adalah Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian. Hampir seluruh negara di dunia memiliki kelembagaan veteriner yang berada di bawah naungan Kementerian Pertanian. Meskipun bidang kesehatan hewan atau veteriner memiliki kekhasan tersendiri dan keterkaitan yang lebih luas, tetapi pada umumnya dimanapun di dunia dianggap sebagai bidang yang terintegrasi dengan sektor pertanian. Pendekatan agribisnis (produksi, pengolahan dan pemasaran) masih menjadi fokus di sektor pertanian sampai saat ini, termasuk bidang kesehatan hewan yang diposisikan di dalamnya.

Tabel 1 di bawah ini mencontohkan beberapa kelembagaan veteriner yang bernaung di bawah Kementerian Pertanian. Sepanjang yang diketahui, hanya negara Italia saja yang kelembagaan veterinernya berada di bawah Kementerian Kesehatan.

Tabel 1. Contoh kelembagaan veteriner di bawah Kementerian Pertanian


Kelembagaan veteriner berfungsi menyediakan pelayanan kesehatan hewan berdasarkan kerangka peraturan perundangan dan di bawah naungan kewenangan Pemerintah Pusat untuk memastikan kesehatan dan kesejahteraan dari hewan, manusia dan ekosistem.

Veterinary Services

Istilah “Veterinary Services” menurut OIE Terrestrial Animal Health Code tidak mudah diterjemahkan secara tepat ke dalam bahasa Indonesia. Untuk kepentingan penulisan ini, maka digunakan istilah “Pranata Kesehatan Hewan” untuk menggambarkan keseluruhan aspek yang dicakup yaitu sistem, kelembagaan maupun sumberdaya.

Definisi “Pranata Kesehatan Hewan” (Veterinary Services = VS) menurut OIE adalah:
    “kelembagaan pemerintah dan non-pemerintah yang melaksanakan tindakan-tindakan kesehatan dan kesejahteraan hewan, serta standar dan rekomendasi lainnya yang tertuang dalam OIE Terrestrial Code dan OIE Aquatic Animal Health Code di suatu wilayah.” [2]

Definisi OIE tersebut diatas jelas menekankan bahwa pranata kesehatan hewan (VS) terdiri dari komponen pemerintah maupun komponen swasta dari kesehatan hewan. Yang dimaksud dengan komponen pemerintah di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian di tingkat pusat, beserta seluruh dinas berwenang terkait di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Komponen swasta adalah seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) termasuk perguruan tinggi, industri, asosiasi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan masyarakat. Gambar 1 memperlihatkan keterkaitan sektor publik (pemerintah) dengan sektor swasta dan pemilik ternak/produsen ternak (public-private partnership) dalam penyelenggaraan kesehatan hewan.

Gambar 1: Kemitraan sektor publik dan swasta
dalam pranata kesehatan hewan. [20]
Pranata kesehatan hewan (VS) harus berada di bawah kendali dan arahan menyeluruh dari “Otoritas Veteriner” (Veterinary Authority). Kelembagaan sektor swasta, dokter hewan, tenaga menengah veteriner (veterinary paraprofessional) atau tenaga menengah kesehatan akuatik (aquatic animal health paraprofessional) umumnya diakreditasi atau disetujui oleh otoritas veteriner dalam melakukan fungsi yang didelegasikan kepada mereka. [2]

Meskipun pada dasarnya hanya sejumlah dokter hewan yang memfokuskan kariernya dalam kelembagaan pemerintah, tapi semua dokter hewan apapun bidang yang dipraktekkannya setelah lulus dari perguruan tinggi, bertanggung jawab dalam mempromosikan kesehatan hewan, kesejahteraan hewan, kesehatan masyarakat veteriner, dan keamanan pangan. [1]

Pranata kesehatan hewan (VS) beroperasi dalam jejaring aktor yang komplek, dimana besaran organisasinya bervariasi menurut:
  • karakteristik geografis dan administratif suatu negara;
  • karakteristik produksi ternak di negara tersebut (contohnya: skala industri, skala perdagangan internasional, pengembangan akuakultur dlsbnya); dan
  • tanggung jawab yang dibebankan kepada organisasi tersebut – adanya peran tambahan selain kesehatan hewan, seperti: kesejahteraan hewan, penyembelihan ternak, keamanan pangan asal hewan, akuakultur (aquaculture), pengamanan lingkungan dlsbnya). [3]
Sebagai contoh, akuakultur khususnya yang terkait dengan kesehatan hewan akuatik bisa saja tidak berada di bawah tanggung jawab pranata kesehatan hewan (VS), melainkan berada di institusi lain tapi masih dalam kementerian yang sama, atau berada di bawah kementerian lain, atau dalam bentuk institusi tertentu. [3]

Dalam konteks Indonesia, mengingat luas wilayahnya dengan ribuan pulau yang berpenghuni, dan masyarakatnya yang kompleks dan beragam budaya (multikultural) mengakibatkan banyak tantangan bagi pranata kesehatan hewan (VS) dalam memberikan pelayanan kesehatan hewan yang memadai dan merata ke seluruh wilayah negara. Hal ini dipersulit lagi dengan adanya desentralisasi pemerintahan (otonomi daerah) yang menyebabkan derajat independensi yang tinggi dalam urusan keuangan dan operasional yang dimiliki oleh 34 provinsi, 410 kabupaten, dan 98 kota. [7]

Menurut FAO, pranata kesehatan hewan (VS) secara alamiah dibagi menjadi 4 (empat) kategori yaitu:
  • Pelayanan kesehatan hewan klinik (pengobatan hewan sakit dan pengendalian gangguan produksi dan reproduksi);
  • Pencegahan penyakit (untuk menghindari kemunculan wabah penyakit);
  • Penyediaan obat hewan, bahan biologik, vaksin dan produk lain (seperti inseminasi buatan); dan
  • Perlindungan kesehatan masyarakat (pengawasan terhadap produk hewan yang akan dipasarkan). [4]
Pranata kesehatan hewan (VS) dianggap sebagai suatu area dimana klasifikasi ekonomi dari berbagai komponen yang membentuknya berbeda-beda, sehingga terbuka peluang untuk diinterpretasikan secara berbeda pula. Pelayanan kesehatan hewan klinik dan penyediaan obat hewan, bahan biologik, vaksin dlsbnya adalah yang paling dekat dengan apa yang disebut sebagai “barang privat” (private goods). Meskipun demikian bisa saja ada faktor eksternalitas (externalities) positif terkait dengan kedua kegiatan tersebut, terutama dalam kasus penyakit hewan menular, sehingga memberikan justifikasi bagi berbagai bentuk intervensi pemerintah. [4]

Salah satu contoh pelayanan yang memiliki eksternalitas positif di Indonesia adalah Pusat Veterinaria Farma (Pusvetma) sebagai lembaga pemerintah yang memproduksi vaksin dan bahan biologik untuk kepentingan pengendalian dan pemberantasan penyakit-penyakit hewan menular strategis.

Begitu juga bisa diargumentasikan bahwa pencegahan penyakit dijustifikasi baik murni sebagai ‘barang publik’ (public goods), atau paling tidak dibiayai oleh seluruh pemilik ternak yang terkena dampak penyakit, oleh karena ada faktor eksternalitas di dalamnya dan implikasi ‘free rider’ yang mengenakan biaya kepada masing-masing individu peternak tapi keuntungannya dapat juga dinikmati oleh yang lain.

Begitu juga bisa terdapat masalah ‘moral hazard' dalam kegiatan yang terkait dengan perlindungan kesehatan masyarakat, khususnya di bidang penyediaan obat hewan dan pemeriksaan higienis produk hewan. Untuk itulah pemerintah perlu mempertahankan peran tertentu dalam menyediakan pelayanan semacam ini. [4]
                                                           

public goods" (barang publik) dalam istilah ekonomi adalah suatu barang yang memiliki ciri ‘tidak ekslusif’(non-excludable) dan ‘tidak ada rival’ (non-rivalrous), dimana semua orang tidak punya pilihan terhadap barang tersebut, tidak perlu membayar untuk menikmati barang tersebut, dan dapat digunakan secara bersama tanpa mengurangi atau meniadakan manfaatnya bagi orang lain.

private goods' (barang privat) dalam istilah ekonomi adalah suatu barang yang memiliki ciri yang ‘ekslusif’ (excludable) dan ‘ada rival’ (rivalrous), dimana semua orang dapat memilih barang tersebut, harus membayar untuk menikmati barang tersebut, dan tidak dapat digunakan secara bersama tanpa mengurangi atau meniadakan manfaatnya bagi orang lain.

externalities’ (eksternalitas) dalam istilah ekonomi adalah tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh satu pihak yang berdampak pada pihak lain, baik merugikan (negatif) atau menguntungkan (positif).

free rider' dalam istilah ekonomi adalah satu pihak yang menikmati keuntungan dari sumberdaya, barang, atau jasa tanpa membayar biaya dari keuntungan tersebut.

moral hazard' dalam istilah ekonomi adalah suatu situasi yang menunjukkan kecenderungan satu pihak untuk menanggung risiko, karena dampak biaya yang ditimbulkan tidak dirasakan oleh pihak yang menanggung risiko itu akan tetapi sebagian atau seluruhnya ditanggung oleh pihak lain.
 
Sumber: http://en.wikipedia.org/
                                                            


Veterinary Authority

Istilah “Veterinary Authority” menurut OIE Terrestrial Animal Health Code diterjemahkan menjadi “Otoritas Veteriner”.

Definisi “Otoritas Veteriner” (Veterinary Authority) menurut OIE adalah:
    kewenangan pemerintah suatu negara, terdiri dari dokter hewan, tenaga profesional lainnya, dan tenaga menengah veteriner, yang bertanggung jawab dan berkompeten dalam menjamin atau mensupervisi pelaksanaan tindakan kesehatan dan kesejahteraan hewan, sertifikasi veteriner internasional, serta standar dan rekomendasi lainnya yang tertuang dalam OIE Terrestrial Code di seluruh wilayah negara.” [2]

Dalam praktiknya, kadang-kadang dijumpai kerancuan pemahaman di kalangan dokter hewan Indonesia mengenai perbedaan "Otoritas Veteriner "dan "Otoritas Medis Veteriner" (Veterinary Medical Authority). Pada dasarnya "Otoritas Veteriner" adalah otoritas yang dimiliki pemerintah, dan "Otoritas Medis Veteriner" adalah otoritas keprofesian yang dimiliki oleh setiap individu dokter hewan yang telah melakukan sumpah kedokteran hewan. Setiap dokter hewan secara sah berhak memiliki otoritas medis veteriner, akan tetapi tidak setiap dokter hewan berhak sebagai pemegang otoritas veteriner (kecuali yang bersangkutan diberikan mandat oleh pemerintah).

Untuk membandingkan pengertian “Otoritas Veteriner” menurut Undang-Undang Nomor 18/2009 adalah:
    kelembagaan pemerintah dan/atau kelembagaan yang dibentuk pemerintah dalam pengambilan keputusan tertinggi yang bersifat teknis kesehatan hewan dengan melibatkan keprofesionalan dokter hewan dan dengan mengerahkan semua lini kemampuan profesi mulai dari mengindenfikasikan masalah, menentukan kebijakan, mengoordinasikan pelaksana kebijakan, sampai dengan mengendalikan teknis operasional di lapangan.” [5]

Tabel 2 dibawah ini membandingkan pengertian otoritas veteriner menurut OIE dan menurut UU No. 18/2009 yang berimplikasi pada timbulnya pemahaman yang berbeda-beda di kalangan dokter hewan Indonesia, dan kemudian muncul kesulitan dalam menjelaskannya kepada pihak di luar profesi dokter hewan. Bahkan memunculkan resistensi dari pihak di luar profesi dokter hewan terhadap eksistensi otoritas veteriner. Kekhawatiran bahwa otoritas veteriner akan mendominasi dan bahkan meminggirkan pihak lain yang berperan sama pentingnya dalam kontribusi teknisnya terhadap pembangunan subsektor peternakan di negara ini.

Tabel 2. Perbedaan pengertian “Otoritas Veteriner” menurut OIE dan UU No. 18/2009


Dari Tabel 2 di atas dapat diamati bahwa secara substansi terdapat perbedaan mendasar antara kedua definisi diatas. Kewenangan seperti yang dimaksud dalam definisi OIE adalah kekuasaan yang dimiliki oleh suatu pihak berdasarkan peraturan perundangan atau berdasarkan ijin/lisensi yang diterbitkan oleh suatu badan pemerintah untuk melakukan suatu tindakan atau kegiatan. Dalam hal ini pihak yang dimaksud adalah orang yang menjabat sebagai pimpinan suatu lembaga pemerintah yang diberi kekuasaan untuk melakukan suatu tindakan atau kegiatan berdasarkan tanggung jawab dan kompetensinya.

Sedangkan kelembagaan seperti yang dimaksud dalam definisi UU No. 18/2009 adalah suatu organisasi yang dibentuk berdasarkan peraturan perundangan, bisa merujuk kepada lembaga pemerintah yang sudah ada atau lembaga baru yang dibentuk pemerintah. Kewenangan tidak sama dengan kelembagaan, karena kewenangan diberikan kepada seseorang yang menduduki suatu jabatan tertentu. Sedangkan kelembagaan pemerintah sebagai suatu organisasi formal adalah sekelompok manusia yang saling berinteraksi menurut suatu pola tertentu, sehingga setiap anggota organisasi memiliki tugas dan fungsinya masing-masing dan saling berkoordinasi dalam melaksanakan kegiatan demi tercapainya tujuan organisasi tersebut.

Perbedaan cara pandang ataupun pemahaman yang tidak tuntas mengenai otoritas veteriner diatas sebenarnya tidak terlepas dari permasalahan yang boleh dikatakan muncul sejak dimulainya sistem desentralisasi pemerintahan di Indonesia. Banyak faktor yang menyebabkan kalangan dokter hewan berpendapat bahwa memang yang dibutuhkan negeri ini adalah suatu kelembagaan yang dianggap dapat menjadi wadah bagi para dokter hewan sebagai satu kesatuan untuk bisa menjalankan kompetensinya tanpa diintervensi oleh pihak lain, baik oleh pihak yang lebih tinggi kedudukannya secara birokrasi maupun pihak yang tidak memiliki kompetensi dokter hewan.

Faktor-faktor yang dianggap secara faktual memperlemah otoritas veteriner, sehingga mendorong kalangan dokter hewan menuntut suatu lembaga otoritas veteriner yang memiliki hak penuh dalam mengambil keputusan tertinggi yang bersifat teknis kesehatan hewan diuraikan sebagai berikut:
  1. Dampak dari otonomi daerah dimana tidak ada “national chain of command” (rantai komando nasional) yang bersifat resmi dari Kementerian Pertanian melalui provinsi ke kabupaten/kota, sehingga terjadi penurunan signifikan pengaruh pemerintah pusat dan kurangnya kemampuan kelola (line management) dalam melaksanakan program-program kesehatan hewan di lapangan. Hal ini berdampak bukan hanya kepada strategi perencanaan, tetapi juga menyulitkan pengorganisasian dan implementasi program-program surveilans dan pengendalian/pemberantasan penyakit secara nasional. [7]
  2. Lembaga yang ditunjuk atau diserahkan untuk menangani urusan kesehatan hewan secara resmi berbeda-beda hirarki maupun strukturnya di provinsi dan kabupaten/kota, bergantung kepada kebutuhan dan prioritas masing-masing daerah. Tidak semua provinsi/kabupaten/kota memiliki dinas peternakan dan kesehatan hewan, dan nama-nama dinas yang sangat beragam sangat menyulitkan dalam menjalankan peran dan fungsi kesehatan hewan secara maksimal dari pusat ke daerah. Sebagai implikasinya, penyelenggaraan urusan kesehatan hewan di daerah teramputasi akibat kebijakan pimpinan yang kurang kondusif dan/atau kewenangan yang rendah dalam struktur kedinasan.
  3. Jumlah dokter hewan pemerintah di provinsi dan kabupaten/kota dirasakan kurang memadai, sebab nomenklatur “dokter hewan” di beberapa provinsi/kabupaten/kota tidak dikenal dalam perekrutan Pegawai Negeri Sipil (PNS).
  4. Berdasarkan urusan desentralisasi yang dikelola pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, urusan kesehatan hewan bukan merupakan urusan wajib. Sesuai UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No. 38/2007 tentang Pembagian Kewenangan Antara Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, maka urusan pertanian (dimana didalamnya termasuk peternakan dan kesehatan hewan) hanya menjadi urusan pilihan, bukan urusan wajib.
Aspek lain yang juga turut serta mempengaruhi permasalahan menyangkut otoritas veteriner di Indonesia adalah aspek politik dan ekonomi. Pengaruh paling kuat dirasakan pada saat Indonesia  untuk pertama kalinya dilanda wabah highly pathogenic avian influenza (HPAI) atau wabah flu burung pada unggas pada tahun 2003. Pengaruh ekonomi misalnya tekanan industri perunggasan paling tidak menjadi salah satu faktor yang membuat otoritas veteriner pada waktu itu dianggap menutup-nutupi dan lamban, karena terlambat mendeklarasikan wabah flu burung (2003).

Begitu juga kasus-kasus yang menyebabkan timbulnya ketidakjelasan dalam pengambilan keputusan tertinggi teknis kesehatan hewan terkait flu burung, misalnya: kasus pemusnahan ternak babi di Kabupaten Tangerang pada tahun 2005 [8], kasus penutupan kebun binatang Ragunan pada tahun 2005 [9], kasus tidak ditetapkannya status wabah flu burung pada itik clade 2.3.2.1 pada awal 2013 yang lalu [10]. Begitu juga contoh kasus lain yang terkait importasi hewan dan produk hewan dari luar negeri, dlsbnya. Di tingkat daerah, banyak kasus dimana penanggulangan flu burung terkendala akibat pimpinan daerah kurang merespon saran-saran teknis yang diberikan dokter hewan.

Tidak sama dengan negara lain, masalah legitimasi otoritas veteriner di Indonesia menjadi suatu konstelasi yang masih terus menjadi ganjalan bagi perkembangan dan kemajuan kesehatan hewan. Dalam tulisan sejawat drh. Bachtiar Moerad di majalah Hemerazoa (2010) diulas tentang eksistensi otoritas veteriner, dimana ada pihak di kalangan dokter hewan yang menyatakan otoritas veteriner belum ada, tapi juga ada pihak lain yang menyatakan otoritas veteriner di negeri ini sudah ada, tentunya dengan argumentasi masing-masing. [11]

Pendapat sebagian kalangan dokter hewan yang menganggap otoritas veteriner tidak ada di Indonesia sesungguhnya kontraproduktif. Perlu dikaji lebih mendalam apakah memang azas “sebab akibat” (kausalitas) yang ingin diterapkan dalam hal ini, sehingga menjadi satu pertanyaan yang harus dijawab oleh kalangan dokter hewan sendiri: "apakah karena tidak ada otoritas veteriner, maka dokter hewan tidak bisa menjalankan peran dan fungsinya”? Dalam makna resiprokal, justru kadang-kadang hal ini dijadikan sebagai alasan pembenaran kenapa dokter hewan dianggap gagal dalam mengendalikan atau memberantas penyakit hewan menular, seperti flu burung, rabies dlsbnya.

Apabila kita merujuk definisi OIE di atas dan menyadari bahwa kelembagaan veteriner yang cikal bakalnya sudah dibentuk sejak zaman penjajahan dahulu, maka pada dasarnya dapat dikatakan Indonesia sudah memiliki otoritas veteriner. Masalah mendasarnya adalah belum ada pengakuan sah (official recognition) pemerintah terhadap eksistensi otoritas veteriner. Meskipun legalitas otoritas veteriner dalam UU No. 18/2009 sudah ada dan bahkan diatur dalam bab tersendiri, namun tidak secara jelas dan tegas menyebutkan posisi/jabatan mana dalam struktur pemerintahan yang memegang otoritas tersebut, baik di pusat, provinsi maupun kabupaten/kota. Selama konstruksi yuridis yang berlaku di Indonesia tidak memungkinkan hal itu untuk diatur dalam UU, maka sulit memperkuat kedudukan otoritas veteriner dari aspek hukumnya.

Usulan memperkuat otoritas veteriner

Dalam upaya memperkuat otoritas veteriner, maka Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) pada tahun 2009 lalu mengajukan uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi terhadap satu pasal dalam Bab VII mengenai otoritas veteriner (Pasal 68 ayat 4) UU No. 18/2009 yang berbunyi: 
"Dalam ikut berperan serta mewujudkan kesehatan hewan dunia melalui Siskeswannas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri dapat melimpahkan kewenangannya kepada otoritas veteriner."
Hasil keputusan Mahkamah Konstitusi No. 137/PUU-VII /2009 telah menetapkan bahwa kata “dapat” yang memberikan diskresi kepada Menteri untuk melimpahkan kewenangannya kepada pejabat yang tidak memiliki otoritas veteriner adalah kontraproduktif dengan tujuan melindungi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sehingga bertentangan dengan UUD 1945. [22]

Meskipun kata "dapat" sudah dihilangkan dari pasal tersebut karena tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, akan tetapi sampai saat ini belum terlihat adanya tindak lanjut yang konkrit dari pemerintah menyangkut eksistensi otoritas veteriner. Dari perspektif teknis, upaya hukum ini tidak berarti banyak - apakah tuntutan tersebut dikabulkan atau tidak, sesungguhnya secara umum tidak berpengaruh terhadap profesi dokter hewan sebagai salah satu 'kapital sosial' di masyarakat. Namun demikian, keputusan MK menguntungkan profesi secara politis, karena istilah otoritas veteriner mulai dikenal dan diakui dalam sistem hukum Indonesia dan sekaligus menegaskan bahwa secara sah kedudukan dan kepemimpinan dokter hewan dalam suatu kelembagaan pemerintah tidak bisa didelegasikan kepada profesi lain selain dokter hewan.

Berbagai pemikiran dan wacana yang disampaikan dalam seminar, lokakarya maupun tulisan sejawat dokter hewan mengenai otoritas veteriner dirangkum di bawah ini:
"Profesi dokter hewan secara kelembagaan di pemerintahan pusat maupun daerah masih dipandang sebelah mata. Untuk itu perlu sekali ada badan otoritas veteriner untuk menangani masalah penularan penyakit hewan ke manusia, karena tanpa badan otoritas penanganannya tidak akan optimal." [12]
"Masalah mendasar yang menyebabkan besarnya kerugian peternak dan kerisauan masyarakat akibat situasi flu burung adalah karena di Indonesia belum memiliki sistem kesehatan hewan yang utuh, menyeluruh dan berkesinambungan. Demikian pula keberadaan profesi kedokteran hewan secara kelembagaan belum dilibatkan dalam pengambilan keputusan tertinggi sejajar dengan profesi kedokteran umum maupun belum dinaungi oleh payung hukum yang memadai, sehingga perlu ada badan otoritas veteriner untuk mendukung penyelenggaraan siskeswanas secara utuh, menyeluruh dan berkesinambungan" [23]
"Rabies merupakan tragedi kemanusiaan dan kehewanan sehingga untuk menanggulanginya diperlukan suatu otoritas veteriner yang kuat dengan memberi peran dokter hewan lebih besar guna mengurusi persoalan kedokteran hewan. Untuk itu diusulkan kepada pemerintah agar otoritas veteriner diperkuat untuk menanggulangi berbagai penyakit hewan." [13]
"Penanganan kesehatan hewan saat ini baru setingkat Direktur Kesehatan Hewan, sudah saatnya disejajarkan dengan kewenangan Menteri Kesehatan atau minimal setingkat eselon satu agar dimungkinkan pengambilan keputusan tertinggi di sektor teknis kesehatan hewan. Dulu penyakit mulut dan kuku (PMK) berhasil diberantas, karena ada arahan dan kewenangan yang jelas. Pemerintah selama ini tidak pernah melakukan penataan struktur dan kewenangan dalam pengaturan otoritas veteriner. Untuk itu diperlukan Wakil Menteri Pertanian dari kalangan profesi dokter hewan, agar pertanian dari produk peternakan dan kesehatan hewan bisa dikerjakan secara baik. [17]
"Profesi dokter hewan kadang-kadang dipandang hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan peningkatan produksi peternakan, dengan kata lain peran dokter hewan dalam melindungi kesehatan masyarakat melalui pengendalian zoonosis dan keamanan pangan asal hewan hampir terabaikan. Disamping itu posisi dalam struktur dinas yang seharusnya diisi oleh tenaga profesional dokter hewan, diisi dengan tenaga yang bukan berlatar belakang dokter hewan. Kondisi yang secara langsung maupun tidak langsung memperlemah otoritas veteriner di pusat dan daerah. Untuk itu diperlukan otoritas veteriner yang kuat dan tertata dengan baik, sehingga mampu menghadapi tantangan dari dalam maupun dari luar yang semakin meningkat." [11]
"Tantangan kesehatan ke depan semakin berat karena kembali munculnya penyakit dari hewan ke manusia (zoonosis). Otoritas veteriner saat ini di pusat hanya dipegang eselon dua, sehingga keputusannya sering dibatalkan pejabat di atasnya. Untuk itu pemerintah harus memperkuat otoritas veteriner, karena penting dalam melindungi wilayah Indonesia dari penyakit hewan yang mengancam kehidupan dan kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan." [14]
"Peleburan dinas peternakan dan kesehatan hewan dengan dinas lainnya di beberapa daerah telah mengebiri otoritas dokter hewan dalam menjalankan tugasnya. Dengan pimpinan yang tidak berlatar belakang medis veteriner, menyebabkan banyak kebijakan-kebijakan dalam bidang kesehatan hewan terabaikan begitu saja. Untuk itu sudah sewajarnya pemerintah mengembalikan otoritas veteriner kepada dokter hewan dengan membentuk badan otoritas veteriner." [15]
"Profesi dokter hewan tersebar di berbagai lembaga seperti Kementerian Pertanian, Perikanan dan Kelautan, Kehutanan, dan beberapa lembaga lain. Untuk itu diperlukan penataan kembali hingga dibentuk satu lembaga otoritas veteriner. Bila Indonesia memiliki lembaga penting itu, maka dokter-dokter hewan mampu menjalankan tanggung jawabnya." [16]
Perlukah BOV?

Dalam sejarahnya tercatat beberapa kali wacana atau usulan pernah diajukan guna mencari solusi dari permasalahan yang dihadapi otoritas veteriner. Konsep otoritas veterinar pada awalnya dibahas oleh Kelompok Kerja Peduli Profesi Veteriner (Pokja PPV), suatu tim ad-hoc (2005-2006) yang diberi mandat oleh Pengurus Besar Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PB PDHI). Pokja ini sekaligus juga membahas dan mempersiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Veteriner dan Sistim Kesehatan Hewan Nasional (Siskeswannas). Untuk pertama kalinya dalam konsep yang dibuat Pokja dicetuskan istilah Badan Otoritas Veteriner (BOV).

Sejawat drh. Bachtiar Moerad dalam melihat otoritas veteriner ke depan, memproyeksikan yang ideal sesungguhnya adalah dibentuk BOV yang berada di luar Kementerian Pertanian, atau minimalnya dibentuk Direktorat Jenderal Veteriner di bawah Kementerian Pertanian. [11]

Pada peringatan hari ulang tahun ke-57 PDHI dan “Seabad Dokter Hewan Indonesia” di Jakarta pada 2010, juga dicetuskan empat alternatif penguatan otoritas veteriner oleh Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi. Namun, hanya tiga alternatif yang kelihatannya relevan dengan otoritas veteriner yaitu: pertama, dibentuk BOV di bawah Presiden; kedua, dibentuk Direktorat Jenderal Kesehatan Hewan dipimpin oleh dokter hewan; ketiga, Direktorat Jenderal Peternakan diubah menjadi Direktorat Jenderal Kesehatan Hewan dan Peternakan dipimpin oleh dokter hewan. [18]

Sebelumnya pada tahun 2007 lalu, pembentukan Direktorat Jenderal Veteriner sebenarnya sudah pernah diajukan ke Menteri Pertanian Anton Apriyantono atas desakan Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (Imakahi) melalui unjuk rasa di depan kantor Departemen Pertanian, Jakarta. Tuntutan yang didukung PDHI ini tidak berhasil, karena Menteri Pertanian menganggap pembentukannya belum mendesak. Begitu juga Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) menganggap pembentukan lembaga baru hanya akan memberatkan keuangan negara. [19]

DPR RI pada bulan Juli 2013 menyatakan bahwa penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan belum memberikan hasil yang optimal, oleh karena itu perlu ada perubahan atas UU No. 18/2009. [24] Terkait dengan hal ini, Komisi IV DPR meminta agar otoritas veteriner diperkuat dengan membentuk badan veteriner sebagai suatu lembaga non-kementerian untuk memberikan kewenangan yang lebih banyak dan bisa melakukan kerjasama internasional guna mencegah penyebaran penyakit. [25]

Paling baru rumusan dari Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gajah Mada (FKH UGM) pada akhir tahun 2013 menyatakan bahwa Indonesia memerlukan otoritas veteriner nasional yang secara kelembagaan bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Dalam masa transisi, sekurang-kurangnya kelembagaan otoritas veteriner bertanggungjawab dan berada langsung di bawah Menteri Pertanian. Sedangkan struktur kelembagaan otoritas veteriner harus konsisten mulai dari tingkat pusat sampai daerah, sehingga secara teknis mampu mendukung kebijakan pimpinan daerah dalam penyelenggaraan kesehatan hewan. [21]

Wacana pembentukan BOV seperti yang disampaikan berbagai pihak di atas, seharusnya menggugah para dokter hewan untuk bertanya kepada diri sendiri. Apakah profesi dokter hewan bisa memastikan bahwa dengan adanya suatu kelembagaan tersendiri di tingkat nasional akan memperbaiki kewenangan yang dimiliki saat ini? Apakah kebijakan yang dibuat oleh kelembagaan tersendiri di tingkat nasional dapat ditindaklanjuti dengan optimal oleh kelembagaan yang sudah mengalami devolusi dan penurunan peringkat (downgrading) di kabupaten/kota?

Jawabannya tentu tidak sederhana, karena urusan kesehatan hewan secara nasional hanya dapat terselenggara dengan baik apabila pengorganisasian dan manajeman suatu kelembagaan veteriner dapat dilakukan seefisien mungkin, dengan pembagian tanggung jawab yang dapat diterangkan secara jelas, tanpa duplikasi fungsi, dan ada pemahaman tentang mana wilayah abu-abu yang cenderung menimbulkan konflik.

Ada baiknya dicermati beberapa prasyarat yang harus dipenuhi oleh suatu kelembagaan veteriner menurut OIE [26] sebagai berikut:

Prasyarat pertama adalah suatu kelembagaan veteriner harus independen, artinya tetap otonom dalam menjalankan mandatnya, dan bebas dari tekanan-tekanan komersial, finansial, hirarhikal atau politik yang dapat mengarah kepada pengambilan keputusan yang bertentangan dengan standar-standar OIE.

Prasyarat kedua adalah suatu kelembagaan veteriner harus mampu menetapkan, melaksanakan dan mengadministrasikan kebijakan jangka panjang dan memastikan kesinambungannya.

Prasyarat ketiga adalah suatu kelembagaan veteriner harus memiliki koordinasi internal maupun eksternal. Secara internal, kelembagaan veteriner harus mampu mengkoordinasikan sumberdaya dan kegiatan yang dimiliki pemerintah dan sektor swasta melalui suatu “rantai komando” (chain of command) yang jelas, mulai dari tingkat pusat (yang disebut sebagai Chief Veterinary Officer/CVO) sampai ke tingkat lapangan. Koordinasi inilah yang memfasilitasi semua kegiatan nasional yang berkaitan dengan standar-standar OIE, seperti program-program surveilans epidemiologi, pemberantasan dan pengendalian penyakit/infeksi, keamanan pangan, serta deteksi dini dan respon cepat terhadap situasi darurat.

Secara eksternal, kelembagaan veteriner harus mampu mengkoordinasikan sumberdaya dan kegiatan dengan semua otoritas kompeten dalam upaya melaksanakan kewajiban untuk memberantas dan mengendalikan penyakit hewan secara tuntas, dengan mempertimbangkan hewannya, dan semua faktor yang berkaitan dengan onset atau perkembangan penyakit, surveilans epidemiologi, ketahanan pangan, keamanan pangan, deteksi dini, respon cepat terhadap keadaan darurat, dan kesejahteraan hewan.

Otoritas kompeten sebagaimana dimaksudkan di atas, termasuk yang paling pertama dan utama adalah otoritas-otoritas (pemerintah dan swasta) yang bertanggung jawab di bidang kesehatan masyarakat, pertanian/peternakan, perikanan, konservasi sumberdaya alam hayati, dan lingkungan, bersama dengan lembaga-lembaga penelitian dan berbagai organisasi non-pemerintah terkait.

Prasyarat ke-empat adalah pentingnya suatu kelembagaan veteriner memiliki sumberdaya finansial yang memadai. Sumberdaya finansial merupakan suatu hal yang esensial untuk keberlanjutan operasional kelembagaan veteriner, terlepas dari tekanan politik apapun, dan mampu mendapatkan sumberdaya material yang penting untuk menjalankan tugasnya, seperti laboratorium diagnostik yang kompeten dengan infrastruktur dan kapasitas yang diperlukan.

Prasyarat kelima adalah suatu kelembagaan veteriner harus mendefinisikan dan mendomentasikan kebijakan, tujuan, dan komitmennya terhadap mutu (quality) dan memastikan bahwa kebijakan itu dimengerti secara benar, dibangun dan dipatuhi oleh semua tingkatan dalam organisasi. Kelembagaan veteriner melaksanakan suatu sistem jaminan mutu (quality assurance) yang disesuaikan menurut bidang kegiatan, dan juga jenis, ruang lingkup dan volume intervensi yang diperlukan untuk melaksanakan tugasnya. [26]

Penutup

Untuk mencapai status kesehatan hewan yang optimal dan mampu memberikan perlindungan bagi kesehatan manusia, hewan dan lingkungan, sudah seharusnya pranata kesehatan hewan (VS) diarahkan dan dikendalikan secara utuh oleh otoritas veteriner. UU No. 18/2009 secara tegas menyatakan bahwa untuk penyelenggaraan kesehatan hewan di seluruh wilayah negara diperlukan otoritas veteriner.

Kelembagaan veteriner di Indonesia pada kenyataannya secara langsung maupun tidak langsung terdesentralisasi dan terfragmentasi mengikuti sistim otonomi daerah yang berimplikasi pada lemahnya penegakan otoritas veteriner di semua tingkatan mulai dari pusat sampai ke daerah.

Aspirasi kalangan dokter hewan untuk memiliki kelembagaan veteriner tersendiri (BOV langsung di bawah Presiden atau langsung di bawah Menteri Pertanian) bukan suatu solusi logis untuk menegakkan otoritas veteriner dalam sistem politik pemerintahan yang sudah terkondisikan seperti ini. Tuntutan untuk pembentukan Direktorat Jenderal Veteriner atau setingkat eselon satu mungkin lebih realistis, akan tetapi isu inipun sudah digaungkan cukup lama sejak 2007 lalu. Realitas paling rasional sesungguhnya bukan dengan membentuk kelembagaan baru, tetapi dengan memperkuat otoritas itu sendiri secara yuridis, teknis, dan politis.

Satu hal yang bisa dianggap sebagai langkah maju secara yuridis maupun politis apabila dapat diperjuangkan agar jabatan/posisi yang bertanggung jawab dan berkompeten dalam menjamin dan memsupervisi pelaksanaan kesehatan dan kesejahteraan hewan serta kesehatan masyarakat veteriner di tingkat provinsi atau kabupaten/kota wajib ditunjuk PNS yang memiliki otoritas medis veteriner (dokter hewan) oleh Kepala Daerah-nya masing-masing. Dengan demikian status otoritas veteriner di provinsi dan kabupaten/kota dapat diaktivasi secara lebih optimal untuk kepentingan tindak lanjut kerjasama teknis antara pusat dan daerah.

Otoritas veteriner yang kuat bergantung pada banyak hal, bukan hanya pada ada atau tidaknya lembaga pemerintah yang khusus menangani urusan kesehatan hewan, tetapi lebih kepada bagaimana otoritas veteriner dapat memperjuangkan terlaksananya program-program pelayanan kesehatan hewan dan pengendalian/pemberantasan penyakit hewan menular yang dibiayai secara memadai dan berkelanjutan. Begitu juga bagaimana efisiensi dan efektivitas program dapat diraih dalam suatu sistem yang sudah terdesentralisasi dan terfragmentasi, sehingga mampu meningkatkan kinerja keseluruhan dari pranata kesehatan hewan (VS).

Justru penguatan otoritas veteriner dari aspek teknis sangat mungkin dilakukan. Penguatan otoritas veteriner dapat dilakukan apabila profesionalisme, ketidakberpihakan (impartial) dan penilaian obyektif dokter hewan lebih diandalkan dalam setiap pengambilan keputusan maupun dalam pelaksanaan tindakan kesehatan hewan dan pembuatan sertifikasi veteriner. Selain itu dengan membangun ‘good veterinary governance' (kepemerintahan veteriner yang baik), berarti otoritas veteriner mampu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintah, menghindari kecurangan (fraud) dan korupsi, serta memastikan kesesuaian (conformity) dengan standar-standar nasional dan internasional.

Prinsip-prinsip dasar dari suatu pranata kesehatan hewan (VS) yang dikendalikan oleh otoritas veteriner harus mencerminkan suatu lembaga pemerintah yang:
  • mampu dengan cepat beradaptasi dalam melaksanakan upaya deteksi dini (early detection), pengenalan (recognition) dan notifikasi resmi (official notification) penyakit-penyakit hewan yang terjadi di seluruh wilayah negara;
  • mampu melakukan surveilans dan monitoring yang efektif terhadap status kesehatan hewan dan produk hewan, terutama dalam deteksi dan notifikasi yang cepat dan akurat ke OIE;
  • mampu mengamankan kesehatan manusia dari ancaman zoonosis;
  • mampu melakukan respon cepat (early response) dalam keadaan darurat penyakit hewan (animal disease emergency); dan
  • mampu menjamin kredibilitas sertifikat veteriner yang diterbitkannya.

Referensi:
  1. OIE (2012). PVS Pathway. OIE recommendations on the Competencies of graduating veterinarians (“Day 1 graduates”) to assure high-quality of National Veterinary Services. http://plaza.umin.ac.jp/~vetedu/pages/files/OIE%20Recommendations%20on%20the%20Competencies%20of%20graduating%20veterinarians.pdf.
  2. OIE Website. [terhubung berkala] 17 Januari 2014. http://www.oie.int/index.php?id=169&L=0&htmfile=glossaire.htm.
  3. FAO (2001). FAO Agricultural Policy and Economic Development Series 7 ISSN 1020-6531 by Lawrence D. Smith, FAO Consultant. http://www.fao.org/docrep/005/y2006e/y2006e0e.htm.
  4. Bellemain V. (2012). Coordination between Veterinary Services and other relevant authorities: a key component of good public governance. Rev. sci. tech. Off. int. Epiz., 31 (2), 513-518.
  5. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
  6. FAO (1997). Principles for rational delivery of public and private veterinary services with reference to Africa. Report of a technical consultation 25-27 March 1997. http://www.fao.org/docrep/w4338e/w4338e03.htm.
  7. OIE (2007). An Evaluation of the Veterinary Services of Indonesia 30 April to 18 May 2007. A Report of the Findings of the OIE Evaluation Team. PVS Indonesia.
  8. http://news.detik.com/read/2005/07/21/113243/407095/10/flu-burung-peternakan-babi-di-tangerang-akan-dimusnahkan.
  9. http://www.merdeka.com/pernik/mentan-penutupan-kebun-binatang-ragunan-bisa-diperpanjang-jqxvjvw.html.
  10. http://regional.kompas.com/read/2013/01/08/0206557/Status.Wabah.agar.Ditetapkan.
  11. Moerad B. (2010). Otoritas Veteriner di Indonesia. Hemerazoa, Majalah Ilmu Kehewanan Indonesia. Volume II Nomor I Desember 2010. pp. 49-53.
  12. http://news.detik.com/read/2007/11/16/173601/853692/10/perlu-otoritas-lembaga-veteriner-untuk-tangani-flu-burung?nd992203605.
  13. Tulisan Subur Tjahyono di Rubrik Kesehatan Masyarakat, Harian Kompas. Senin, 25 Oktober 2010. http://health.kompas.com/read/2010/10/25/03330610/Rabies.Tragedi.Manusia.dan.Hewan.
  14. http://nasional.kompas.com/read/2010/01/10/05051983/Wakil.Mentan:.Otoritas.Veteriner.di.Bawah.Presiden.
  15. Tulisan drh. Azhar A.P. di Rubrik Opini Harian Waspada. Selasa, 3 Mei 2011. http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=191509:mengembalikan-otoritas-dokter-hewan&catid=25:artikel&Itemid=44.
  16. http://www.harianjogja.com/baca/2013/12/06/indonesia-butuh-lembaga-otoritas-veteriner-471789.
  17. http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=238908.
  18. http://nasional.kompas.com/read/2010/01/10/05051983/Wakil.Mentan:.Otoritas.Veteriner.di.Bawah.Presiden.
  19. http://www.tempo.co/read/news/2007/10/04/056108980/Menteri-Anton-Sangsikan-Efektifitas-Ditjen-Veteriner.  
  20. Presentation by Schneider H. (Chairman, OIE ad-hoc Group on Veterinary Services): The Importance of Strengthening the Private Veterinary Sector and the National Veterinary Statutory Bodies (VSB). Capacity building to support strengthening of Veterinary Legislation.
  21. Kesimpulan dan Rekomendasi Kajian Otoritas Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan Uniersitas Gajah Mada, Yogyakarta, 9 Desember 2013.
  22. Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 137/PUU-VII /2009.
  23. http://www.suaramerdeka.com/cybernews/harian/0510/04/nas15.htm.  
  24. DPR RI (2013). Buletin Parlementaria Nomor 780/VII/2013. IV/JULI 2013. http://www.dpr.go.id/parlementaria/bulletin/b-780-7-2013.pdf.  
  25. http://www.jurnalparlemen.com/view/4609/komisi-iv-minta-pembentukan-badan-veteriner.html.
  26. Pastoret P.P. & Chaisemartin D. (2011). The importance of governance and reliably veterinary certification. Rev. sci. tech. Off. int. Epiz., 30 (1), 347-352.

3 Komentar:

Anonim [Reply] mengatakan...

Selamat Pagi Ibu Dokter . Saya Novendra Sitepu, alumnus FKH Udayana. Saya sering mengikuti tulisan ibu di blog ini. Sangat bagus dan menarik sekali. Banyak hal yang tidak saya dapatkan selama di bangku kuliah maupun pekerjaan, dijabarkan jelas disini. Apa yang ibu jelaskan sangat global dan holistik. Terima kasih banyak buat ilmunya. Sebagai saran, adakah ide untuk menjadikan sebuah buku semua tulisan ibu dalam blog ini ? Saya yakin pasti akan sangat berguna untuk kemajuan dunia Kedokteran Hewan di Indonesia. Salam Veteriner.

Korespondensi di : novendra.sitepu@yahoo.com

Tri Satya Putri Naipospos [Reply] mengatakan...

Selamat pagi juga sejawat Novendra. Terima kasih atas saran untuk membuat buku dari tulisan-tulisan dalam blog ini. Mudah-mudahan bisa terwujud. Salam veteriner.

Diego Simeone [Reply] mengatakan...

Blog yang sangat bermanfaat, terutama untuk kami, mahasiswa kedokterhan hewan Terimakasih Bu Dokter!