Rabu, 25 Juli 2012

Deforestasi, satwa liar dan ancaman kemunculan zoonosis

 "With the interweaving of forests, pathogens and the development of human civilization, deforestation and other land use changes have an important part in the emergence of disease."

B.A. Wilcox and B. Ellis (2006)
Unasylva, an International Journal of forestry and forest industries Vol. 57, 224
FAO of the United Nations



Oleh: Tri Satya Putri Naipospos

Kemunculan tiba-tiba penyakit seperti severe acute respiratory syndrome (SARS), diikuti dengan timbulnya dampak penyakit yang merusak seperti Ebola baik bagi komunitas manusia dan satwa liar, serta dampak biaya sosial dan ekonomi yang besar sekali akibat virus-virus seperti human immunodeficiency virus (HIV) telah mendesak kepentingan kita untuk lebih memahami ekologi penyakit menular. [1] Kepentingan yang didorong oleh suatu kenyataan yang terjadi saat ini dimana perubahan lingkungan dapat memicu kontak yang lebih intens antara manusia dengan satwa liar dan akibatnya meningkatkan kemungkinan pertukaran penyakit menular yang merugikan baik bagi manusia maupun satwa liar itu sendiri.

Jumlah penyakit menular yang baru muncul (emerging infectious diseases) dan khususnya yang bersumber dari satwa liar menunjukkan peningkatan dalam beberapa dekade terakhir ini. [2] Perubahan iklim, introduksi spesies invasif, urbanisasi, praktek-praktek pertanian dan hilangnya biodiversitas, ke-semuanya berimplikasi terhadap peningkatan penyebaran patogen menular. Barangkali dari sekian banyak faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kemunculan penyakit menular tersebut, deforestasi dalam skala besar dianggap sebagai faktor yang paling berpengaruh secara langsung terhadap kemunculan penyakit baru terutama yang bersumber dari satwa liar. [3]

Dalam banyak hal, deforestasi menempati posisi teratas diantara kejadian-kejadian global yang potensial menimbulkan dampak langsung terhadap kemunculan penyakit di wilayah-wilayah tropis dan beriklim sedang. [3] Pada saat dimana perubahan global berlangsung sangat luar biasa, penyakit menular menjangkiti manusia dan satwa liar dengan cara-cara baru dan tidak diketahui sebelumnya. Padahal bagaimana sebenarnya dampak deforestasi terhadap penyebaran patogen pada satwa liar belum banyak dipelajari secara mendalam.

Deforestasi

Menurut Food and Agriculture Organization (2010), tingkat deforestasi global terutama hutan-hutan tropis menurun dalam 10 tahun terakhir ini, akan tetapi terus berlangsung pada tingkat yang mengkhawatirkan di banyak negara. Sekitar 13 juta hektar hutan terkonversikan ke pemanfaatan lain atau hilang melalui sebab-sebab alamiah setiap tahunnya antara 2000-2010, dibandingkan dengan sekitar 16 juta hektar per tahun selama 1990-an. [4]

Orangutan Indonesia. discover-indo-tiarranet.com
Brazil dan Indonesia merupakan dua negara dengan tingkat deforestasi tertinggi di era 1990-an,  akan tetapi lambat laun telah menunjukkan penurunan yang signifikan. Brazil kehilangan rata-rata 2,6 juta hektar hutan per tahun dalam 10 tahun terakhir dibandingkan dengan 2,9 juta hektar per tahun selama 1990-an. Sedangkan Indonesia rata-rata 0,5 hektar per tahun dalam 10 tahun terakhir dibandingkan dengan 1,9 juta hektar selama 1990-an. [4]

Pada 1950, sekitar 84,0% luas daratan Indonesia (162.290.000 hektar) tertutup hutan primer dan sekunder, termasuk seluruh tipe perkebunan. Tak berlebihan jika Indonesia adalah pemilik hutan hujan tropis terluas ketiga di dunia. [5] Pada 2005, total luas hutan di Indonesia menjadi hanya sekitar 88.495.000 hektar (48,9%). Dari total luas tersebut, sekitar 48.702.000 hektar (55,0%) diklasifikasikan sebagai hutan primer yang memiliki tingkat biodiversitas paling tinggi. [6]

Hutan di Indonesia memiliki kekayaan 3.305 spesies yang terdiri dari amfibi, burung, mamalia dan reptilia. Dari jumlah ini 31,1% adalah endemik artinya spesies ini tidak ditemukan di negara lain, dan 9,9% terancam punah akibat perburuan, pembalakan hutan dan pembukaan lahan pertanian. Hutan di Indonesia memiliki 285 jenis amfibi, 667 jenis mamalia (terbanyak di seluruh dunia), 749 jenis reptilia, dan 1.604 jenis burung. [6]

Skala diversitas yang begitu luas membuat hutan Indonesia sebagai salah satu ekosistem paling penting di dunia. Namun demikian ancaman deforestasi masih terus terjadi sampai dengan saat ini dengan laju kerusakan hutan yang tidak sebanding dengan upaya pemulihannya. Pembalakan hutan baik legal maupun ilegal telah menyebabkan penurunan luas hutan yang luar biasa besarnya terutama hutan primer di hampir semua pulau yang ada di Indonesia. [7]

Kerusakan habitat di Sumatera dan Kalimantan umumnya disebabkan oleh operasi pembalakan hutan legal dan ilegal yang ditujukan untuk bahan baku industri bubur kertas, industri kayu lapis dan lain sebagainya. Begitu juga pembalakan hutan legal dan ilegal yang dimaksudkan untuk membuka lahan pertanian seperti perkebunan kelapa sawit, coklat, karet dan lain sebagainya.

Menurut United Nations Environment Programmes (UNEP), pembalakan liar menyebabkan 73-88% deforestasi di Indonesia yang dipicu oleh permintaan konsumen di negara-negara maju. Penduduk asli dan komunitas tertinggal seringkali terusir dari kampung halamannya oleh perusahaan kayu multinasional yang menempatkan keuntungan diatas segalanya. Lebih dari 5 milyar dollar AS kekayaan kayu gelondongan dan kayu bubur diekspor ke seluruh dunia setiap tahunnya, dengan keuntungan paling besar dinikmati perusahaan daripada penduduk lokal yang menggantungkan hidupnya kepada hutan sebagai sumber pangan dan pendapatan. [7]

Dengan 700-800 ribu hektar hutan yang rusak setiap tahun, berarti juga ribuan spesies yang beragam yang menjadi kekayaan hutan semakin terancam kehidupannya. Satwa liar seperti harimau Sumatera, trenggiling hutan, orangutan, badak Jawa, badak Sumatera dan lain sebagainya semakin berkurang jumlahnya bukan hanya karena kehilangan habitat alamiahnya, akan tetapi juga akibat perburuan liar. [7]

Penyakit dan hutan

Perubahan pemanfaatan lahan dan ekspansi populasi manusia ke dalam wilayah hutan telah menghasilkan pendedahan secara imunologis populasi manusia dan hewan yang naif terhadap patogen yang hidup secara alamiah di satwa liar. Pembukaan hutan dan pengalihan pemanfaatannya menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah patogen akibat meluasnya penyebaran hospes dan vektor, yang kemudian berpengaruh pada kenaikan tingkat infeksi dan peningkatan frekuensi kontak dengan manusia. Hal yang bisa menyebabkan patogen bertahan dalam waktu tak terbatas dan penyakit cenderung menjadi endemik. [8]

Photo: D. Collins
(World Conservation Society)
Seperti diketahui, sekitar tiga perempat dari penyakit baru muncul (EID) saat ini merupakan penyakit yang ditularkan dari hewan ke manusia. [9] Sekitar 15% dari 250 penyakit yang diperkirakan baru muncul tersebut adalah patogen yang mempunyai keterkaitan langsung dengan hutan. [10] Sejumlah penyakit baru muncul pada mulanya bersumber dari siklus ‘sylvatic’, tetapi kemudian patogen keluar dari siklus tersebut dan saat ini hanya menular dari orang-ke-orang atau siklus orang-vektor-orang. Contohnya seperti HIV dan demam berdarah (dengue) yang muncul dari siklus penularan antar primata di hutan-hutan Afrika, dan kemudian menyebar secara global dimana pada kasus HIV terjadi baru dua dekade yang lalu, sedangkan pada kasus dengue sudah terjadi sejak beberapa abad yang lalu. [8]

Untuk penyakit baru muncul yang dikaitkan dengan hutan, banyak diantaranya menular di antara hospes primata atau vektor insekta dan melibatkan berbagai hospes perantara potensial termasuk hewan domestik. Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) bersumber dari hutan tropis dan kemudian setelahnya meluas terutama ke wilayah-wilayah sedang berkembang dengan infrastruktur kesehatan yang minim. [8] Kenaikan insidensi malaria di sejumlah wilayah di Afrika, Amerika Selatan dan Asia Tenggara dihubungkan dengan deforestasi. [11] Suatu bentuk malaria yang dahulunya ditemukan pada primata, baru-baru ini ditemukan pada manusia di Asia Tenggara. [12] Perburuan, penyembelihan atau perolehan satwa secara ilegal akan meningkatkan risiko munculnya penyakit. [13] Deforestasi di Afrika telah menyebabkan lahan terdedah sinar matahari dan memicu terbentuknya kolam-kolam air temporer, sehingga disukai sebagai tempat pembiakan nyamuk penyebar malaria yaitu Anopheles gambiae. [14]

Demam kuning (yellow fever) merupakan penyakit yang paling banyak dipelajari dalam kaitannya dengan hutan. [16] Virus yang menyebabkan demam kuning ini bertahan dalam suatu siklus penularan antara populasi kera dan nyamuk hutan. Pembukaan hutan seringkali menjadi sebab timbulnya wabah penyakit ini, terutama pada saat orang mengumpulkan kayu dan air di hutan atau kemungkinan pada saat berburu di hutan. Wabah yang lebih besar bisa terjadi apabila siklus penularan melebar ke wilayah-wilayah peri-urban dan urban dimana terdapat kepadatan penduduk yang jauh lebih tinggi dan nyamuk hutan menyebar sampai ke wilayah ini. [17, 15]

Kebanyakan wabah Ebola terjadi di wilayah pinggiran hutan dimana ekspansi populasi manusia membuat mereka kontak dengan patogen asing, terutama melalui kontak yang semakin sering dengan satwa liar. Hal ini mengarah pada suatu hipotesa bahwa mekanisme yang berkaitan dengan pemanfaatan lahan pertanian yang mengubah batasan hutan dan juga mengubah fauna alamiahnya kemungkinan terlibat dalam kemunculan penyakit ini. [18, 19] Akhir-akhir ini diperkirakan kelelewar juga mungkin bertindak sebagai ‘reservoir’ virus Ebola dan kera terjangkit penyakit ini sama seperti halnya manusia. [20] Kelelawar buah juga penting sebagai hospes penyakit baru muncul seperti virus Nipah dan SARS. [21, 22]

Patogen satwa liar di Indonesia

Mengingat monyet (monkeys) dan kera (apes) seringkali berbagi parasit dan patogen dengan manusia, maka pemahaman tentang ekologi penyakit menular pada satwa primata non-manusia menjadi sangat penting. [1] Diantara ‘reservoir’ satwa liar, satwa primata dianggap sangat penting oleh karena secara genetik, morfologik dan fisiologik memiliki kaitan yang dekat dengan manusia dan banyak patogen dapat menulari baik satwa primata dan orang. Ada sejumlah penyakit penting yang menular dari satwa primata ke manusia seperti infeksi virus B, monkey pox, Ebola dan Marburg. [23]

Kelelawar pemakan buah. Sumber: [37]
Wabah Ebola dan Marburg pada manusia dan primata non-manusia terjadi secara sporadik di Afrika Tengah dan Barat, akan tetapi Reston ebolavirus (REBOV) pertama kali dilaporkan antara 1989-1990 di sejumlah fasilitas karantina di Amerika Serikat pada saat monyet (Macaca fascicularis) yang diimpor dari Filippina kedapatan sakit dan beberapa diantaranya mati. Meskipun tidak dilaporkan adanya kasus manusia di negara-negara Asia, akan tetapi penemuan REBOV ini menyiratkan keberadaan virus ini pada sejumlah spesies satwa liar di Asia. [24]

Oleh karenanya menjadi suatu hal penting yang dapat kita peroleh dari studi yang dipublikasikan di PLoS ONE pada 2012 ini mengenai penemuan serologis positif Ebola virus (EBOV) dan Marburg virus (MARV) pada orangutan Borneo di Pulau Kalimantan (lihat Tabel 1 dibawah ini). Studi tersebut dilaksanakan selama periode Desember 2005 sampai dengan Desember 2006 dengan melakukan pemeriksaan terhadap 353 orangutan sehat dan ternyata 18,4% (65/353) menunjukkan sero-positif terhadap EBOV dan 1,7% (6/353) terhadap MARV. Meskipun dari penemuan ini belum diidentifikasi secara jelas ‘reservoir’ apa yang menularkan virus-virus tersebut ke populasi orangutan. [24]

Satwa mamalia yang cukup menakjubkan dan sebagian besar hidup di hutan adalah kelelewar (bats) dan kelelawar pemakan buah (flying foxes). Satwa ini barangkali merupakan hewan vertebrata yang paling melimpah jumlahnya, paling beragam dan paling terpencar secara geografis. Meskipun sudah banyak yang diketahui tentang mamalia ini, akan tetapi informasi detil tetap diperlukan untuk menerangkan keragaman yang mencengangkan dalam hal anatomi, gaya hidup, peran ekologi dalam ekosistem dan kepentingannya sebagai hospes ‘reservoir’ dari virus-virus yang telah dibuktikan atau dianggap berpengaruh secara signifikan terhadap kesehatan manusia dan hewan. [25]

Virus Nipah khususnya menjadi perhatian cukup besar di Indonesia oleh karena berpotensi mengancam industri babi dan kesehatan manusia, seperti kemunculan wabah serius di negara tetangga kita Malaysia pada 1999 yang lalu. [36] Mengingat lokasi geografis Indonesia sangat berdekatan dengan Malaysia, maka dapat terjadi kemungkinan berpindahnya penyakit tersebut ke Indonesia melalui berbagai cara seperti importasi ternak babi dan produknya, serta melalui perpindahan satwa liar, dalam hal ini kelelawar. [27] Oleh karena penyakit Nipah merupakan juga penyakit baru muncul, maka penemuan serologis positif virus Nipah pada kelelawar pemakan buah di Pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan merupakan hal penting yang menuntut kewaspadaan kita terhadap kemungkinan terjadinya infeksi virus Nipah di Indonesia (lihat Tabel 1 dibawah ini).

Tabel 1 berikut ini mengkompilasi sejumlah patogen dan parasit zoonotik yang pernah diidentifikasi pada satwa liar di Indonesia, terutama pada satwa primata non-manusia dan kelelawar.

Tabel 1. Patogen dan parasit yang diidentifikasi pada satwa liar di Indonesia

Tantangan terbesar

Deforestasi merupakan salah satu faktor yang paling potensial dalam kemunculan penyakit menular baru dan yang muncul kembali. Seperti kita ketahui, deforestasi dipicu oleh beragam kegiatan manusia mencakup pembangunan pertanian, pembukaan hutan, program transmigrasi, konstruksi jalan, pertambangan dan pembangunan pembangkit listrik tenaga air (hydropower). Melalui proses pembukaan hutan diikuti dengan pembangunan pertanian, deforestasi mengubah setiap elemen dari ekosistem lokal seperti iklim mikro, tanah dan kondisi akuatik, serta yang paling signifikan yaitu mengubah ekologi flora dan fauna, termasuk vektor penyakit. [39]

http://www.jatan.org/
Deforestasi bukan satu-satunya penyebab kemunculan penyakit-penyakit yang berkaitan dengan hutan. Pemicu kemunculan penyakit baru muncul termasuk zoonosis sesungguhnya jauh lebih komplek dari itu. Faktor pendorong utama termasuk pertumbuhan eksponensial populasi dan konsumsi serta pengeluaran limbah dalam beberapa dekade terakhir secara bersama-sama mendorong terjadinya urbanisasi, ekspansi pertanian dan intensifikasi, serta pengalihan habitat hutan yang kemudian saling bergabung menghasilkan perubahan lingkungan di suatu wilayah. [15]

Zoonosis yang ‘reservoir’-nya adalah satwa liar telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di hampir semua kontinen. Ratusan patogen dengan modus penularan yang berbeda-beda terlibat dalam penularan penyakit serta banyak faktor yang mempengaruhi pola epidemiologi penyakit. [40] Begitu juga dampak deforestasi terhadap ekosistem dan kesehatan manusia sangat beragam dan telah berlangsung sejak beberapa dekade lalu, akan tetapi yang pasti kecepatan dan selang geografis dari penyebaran penyakit menunjukkan kenaikan tajam selama 30 tahun terakhir. [39]

Kepentingan pengenalan satwa liar sebagai ‘reservoir’ penyakit baru muncul termasuk zoonosis sudah semakin meningkat belakangan ini, sehingga untuk pencegahan dan pengendalian penyakit yang efektif diperlukan pendekatan interdisipliner dan holistik serta kerjasama internasional. Dengan demikian zoonosis satwa liar bukan hanya semakin dikenal dan dipahami, akan tetapi juga memerlukan lebih banyak perhatian dari para dokter hewan terutama dalam melakukan penilaian risiko (risk assessment) dan surveilans yang berkelanjutan.

Saat ini tantangan terbesar adalah bagaimana sedapat mungkin memperkecil kesenjangan disiplin ilmu antara ahli penyakit menular, ahli satwa liar, ahli ekologi dan ahli sosial dalam meneliti dan memahami semua aspek yang terkait dengan penyakit baru muncul yang ‘reservoir’-nya adalah satwa liar. [15] Upaya untuk mengatasi zoonosis satwa liar bergantung kepada jejaring lintas sektoral dan lintas disiplin ilmu yang efisien di tingkat nasional, regional dan internasional, sehingga dapat dilakukan saling tukar menukar informasi dan dengan demikian kesiapsiagaan serta respon tepat waktu dan efektif terhadap kemungkinan kemunculan wabah dapat dilakukan. [40]

Referensi:

1. Chapman C.A., Gillespie T.R., and Goldberg T.L. (2005). Primates and the Ecology of Their Infectious Diseases: How will Anthropogenic Change Affect Host-Parasite Interactions? Evolutionary Anthropology 14:134–144.
2. Jones K.E., Patel N.G., Levy M.A., Storeygard A., Balk D., Gittleman J. L., and Daszak P. (2008). Global trends in emerging infectious diseases. Nature 451: 990-993.
3. Sehgal R.N.M. (2010). Deforestation and avian infectious diseases. The Journal of Experimental Biology 213: 955-960. doi:10.1242/jeb.037663.
4. FAO (2010). Media Centre. World deforestation decreases, but remains alarming in many countries FAO publishes key findings of global forest resources assessment. http://www.fao.org/news/story/en/item/40893/icode/
5. http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/91858
6. http://rainforests.mongabay.com/20indonesia.htm
7. http://www.onegreenplanet.org/animalsandnature/deforestation-poaching-and-the-wildlife-trade-in-indonesia/
8. Mandal F.B. (2011). The Changing Ecology of Infectious Diseases in Human. World Environment, 1(1): 14-19.
9. Taylor L.H., Latham S.M., and Woolhouse M.E. (2001). Risk factors for human disease emergence. Philosophical Transactions of the Royal Society of London, Series B, Biological Science, 356(1411): 983-989.
10. Despommier D., Ellis B.R., and Wilcox B.A. (2006). The role of ecotones in emerging infectious diseases. EcoHealth, 3(4): 281-289.
11. Vittor A.Y., Gilman R.H., Tielsch J., Glass G., Shields T., Lozano W.S., Pinedo-Cancino V., and Patz J.A. (2006). The effect of deforestation on the human-biting rate of Anopheles darling, the primary vector of falciparum malaria in the Peruvian Amazon. American Journal of Tropical Medicine and Hygiene, 74(1): 3-11.
12. Singh B., Kim Sung L., Matusop A., Radhakrishnan A., Shamsul S.S., Cox-Singh J., Thomas A., and Conway D.J. (2004). A large focus of naturally acquired Plasmodium knowlesi infections in human beings. Lancet, 363(9414): 1017-1024.
13. Wolfe N.D., Daszak P., Kilpatrick A.M. , and Burke D.S. (2005). Bushmeat hunting, deforestation, and prediction of zoonoses emergence. Emerging Infectious Diseases, 11(12): 1822-1827.
14. Coluzzi M. (1994). Malaria and the afro tropical ecosystems: Impact of man-made environmental changes. Parasitologia, 36: 223-227.
15. Wilcox B.A. and Ellis B. (2006). Forests and emerging infectious diseases of humans. Unsylva 224, Vol. 57.
16. Monath T.P. (1994). Yellow fever and dengue – the interactions of virus, vector and hosts in the re-emergence of epidemic disease. Seminars in Virology, 5(2): 133-145.
17. Sang R.C. and Dunster L.M. (2001). The growing threat of arbovirus transmission and outbreaks in Kenya: a review. East African Medical Journal, 78(12): 655-661.
18. Morvan J.M., Nakoune E., Deubel V., and Colyn M. (2000). Ebola virus and forest ecosystems. Bulletin de la Societe Pathologique Exotique, 93(3): 172-175.
19. Patz J.A, Daszak P., Tabor G.M., Aguirre A.A., Pearl M., Epstein J., Wolfe N.D., Kilpatrick A.M., Foufopoulos J., Molyneux D., and Bradley D.J. (2004). Unhealthy landscapes: policy recommendations on land use change and infectious disease emergence. Environmental Health Perspectives, 112(10): 1092-1098.
20. Leroy E.M., Kumulungui B., Pourrut X., Rouquet P., Hassanin A., Yaba P., Delicat A., Paweska J.T., Gonzales J.P. and Swanepoel R. (2005). Fruit bats as reservoirs of Ebola virus. Nature, 438(7068): 575-576.
21. Field H., Young P., Yob J.M., Mills J., Hall L., and Mackenzie J. (2001). The natural history of Hendra and Nipah viruses. Microbes and Infection, 3(4): 307-314.
22. Lau S.K., Woo P.C., Li K.S., Huang Y., Tsoi H.W., Wong B.H., Wong S.S., Leung S.Y., Chan K.H., and Yuen K.Y. (2005). Severe acute respiratory syndrome corona-like virus in Chinese horse-shoe bats. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, 102(39): 14040-14045.
23. Yoshikawa Y. (2006). Zoonoses originating from non-human primates. Proceedings of AZWMP, Chulalongkorn Uni. Fac. Of Vet. Sc., Bangkok, Thailand, 26-29 Oct 2006, pp. 67.
24. Nidom C.A., Nakayama E., Nidom R.V., Alamudi M.Y., Daulay S., Dharmayanti I.N.L.P., Dachlan Y.P., Amin M., Igarashi M., Miyamoto H., Yoshida R., and Takada A. (2012). Serological Evidence of Ebola Virus Infection in Indonesian Orangutans. PLoS ONE, Volume 7, Issue 7, e40740.
25. Calisher C.H., Childs J.E., Field H.E., Holmes K.V., and Schountz T. (2006). Bats: Important Reservoir Hosts of Emerging Viruses. Clinical Meicrobiology Reviews, 19(3): 531–545. doi:10.1128/CMR.00017-06.
26. Sanchez A., Geisbert T.W., and Feldmann H. (2007). Filoviridae: Marburg and Ebola Viruses. In: Knipe D.M., Howley P.M., Eds. Fields Virology 5th edition. Philadelphia, Lippincott-Williams & Wilkins, pp. 1409-1448.
27. Sendow I. dan Adjid R.M.A. (2005). Penyakit Nipah dan Situasinya di Indonesia. Wartazoa, 15(2): 66-71.
28. Warren K.S., Heeney J.L., Swan R.A., Heriyanto, and Verschoor E.J. (1999). A New Group of Hepadnaviruses Naturally Infecting Orangutans (Pongo pygmaeus). Journal of Virology, 73(9): 7860-7865.
29. Verschoor E.J., Warren K.S., Langenhuijzen S., Heriyanto, Swan R.A., and Heeney J.L. (2001). Analysis of two genomic variants of orang-utan hepadnavirus and their relationship to other primate hepatitis B-like viruses. Journal of General Virology, 82, 893–897.
30. Swan R.A and Warren K.S. (2000). Health, Management, and Disease Factors Affecting Orangutans in a Reintroduction Centre in Indonesia. The Apes: Challenges for the 21st Century.
Brookfield Zoo, May 10-13, 2000, Conference Proceedings, Chicago Zoological Society, Brookfield, Illinois, U.S.A. viii + 376 pp. ISBN 0-913934-28-3.
31. Jones-Engel L., Engel G.A, Schillaci M.A., Babo R., and Froehlich J. (2001). Brief Report. Detection of Antibodies to Selected Human Pathogens Among Wild and Pet Macaques (Macaca tonkeana) in Sulawesi, Indonesia. American Journal of Primatology 54:171–178.
32. Engel G.A, Jones-Engel L., Schillaci M.A., Suaryana K.G., Putra A., Fuentes A., and Henkel R. (2002). Human Exposure to Herpesvirus B-Seropositive Macaques, Bali, Indonesia. Emerging Infectious Diseases, 8(8): 789-795.
33. Jones-Engel L., Engel G.A., Schillaci M.A., Kyes K. Froehlich J., Paputungan U., and Kyes R.C. (2004). Research Article. Prevalence of Enteric Parasites in Pet Macaques in Sulawesi, Indonesia. American Journal of Primatology 62:71–82.
34. Jones-Engel L., Engel G.A., Schillaci M.A., Rompis A., Putra A., Suaryana K.G., Fuentes A., Beer B., Hicks S., White R., Wilson B., and Allan J.S. (2005). Primate-to-Human Retroviral Transmission in Asia. Emerging Infectious Diseases, 11(7): 1028-1035.
35. Reid M.J.C, Ursic R., Cooper D., Nazzari H., Griffiths M., Galdikas B.M., Garriga R.M., Skinner M., and Lowenberger C. (2006). Transmission of Human and Macaque Plasmodium spp. to Ex-Captive Orangutans in Kalimantan, Indonesia. Emerging Infectious Diseases, 12(12): 1902-1908.
36. Sendow I., Field H.E., Curran J., Darminto, Morrissy C., Meehan G., Buick T., and Daniels P. (2006). Henipavirus in Pteropus vampyrus Bats, Indonesia. Emerging Infectious Diseases, 12(4): 711-712.
37. Sendow I., Field H.E., Adjid A., Ratnawati A., Breed A.C., Darminto, Morrissy C., and Daniels P. (2009). Original Article. Screening for Nipah Virus Infection in West Kalimantan Province, Indonesia. Zoonoses Public Health, 57(7-8): 499-503.
38. Nidom C.A., Nakayama E., Nidom R.V., Alamudi M.Y., Daulay S., Dharmayanti I.N.L.P., Dachlan Y.P., Amin M., Igarashi M., Miyamoto H., Yoshida R., and Takada A. (2012). Serological Evidence of Ebola Virus Infection in Indonesian Orangutans. PLoS ONE, Volume 7, Issue 7, e40740.
39. Yasuoka J. and Levins R. (2007). Impact of Deforestation and Agricultural Development on Anopheline Ecology and Malaria Epidemiology. Am. J. Trop. Med. Hyg. 76(3): 450-460.
40. Kruse H., Kirkemo A-M., and Handeland K. (2004). Wildlife as Source of Zoonotic Infections. Emerging Infectious Diseases, 10(2): 2067-2072.

*) Penulis bekerja di Food and Agriculture Organization of the United Nations di Laos.

1 Komentar:

Unknown [Reply] mengatakan...

Sekedar info untuk kejadian Ebola pada serum orangutan di Indonesia oleh Nidom et al. di Jurnal PlosOne saat ini sedang dalam gugatan proses hukum antara Kementerian Kehutanan, Kementerian Kesehatan, BOS dan PDHI krn dianggap tidak valid kebenarannya. Sehingga kita belum dapat menyatakan kejadian Ebola di Indonesia berdasrkan referensi tersebut. Terima kasih. Salam sejawat.
Robby Wienanto (Pusat Litbang Konservasi & Rehabilitasi Bogor)