Rabu, 31 Agustus 2011

Bekerja untuk hewan: horizon yang berkembang

The Veterinary Profession is a Health Profession!!
Tjeerd Jorna – President of the World Veterinary Association

Oleh: Tri Satya Putri Naipospos

Sumber: OIE
Usia profesi kedokteran hewan dunia mencapai 250 tahun pada 2011 ini dan 100 tahun di Indonesia pada 2010 lalu. Mandat profesi kedokteran hewan tidak pernah segamblang seperti apa yang terlihat belakangan ini, dengan berperan sangat penting dalam mengawal kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner. Kiprah profesi di masyarakat haruslah jadi horizon yang berkembang secara konsisten, baik saat ini maupun ke depan.

Lingkungan profesi kedokteran hewan sendiri berubah mengikuti perjalanan usianya. Pengaruh demografi, politik, lingkungan, penyakit, teknologi dan ekonomi, ke-semuanya mendorong terjadinya perubahan di masyarakat. Semua perubahan ini berdampak nyata kepada masa depan profesi dan pendidikan kedokteran hewan. [1]

Sistem kesehatan hewan nasional (siskeswannas) menjadi titik berat dari pencegahan dan pengendalian penyakit-penyakit hewan, termasuk zoonosis. [2] Siskeswannas bukan hanya dijalankan pemerintah secara tunggal, akan tetapi juga oleh sektor swasta. Ke-duanya harus bekerja sama untuk menciptakan siskeswannas yang mampu mengimplementasikan standar-standar Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) yang diakui secara internasional sebagai suatu ‘global public goods'. [3]

Dampak penyakit hewan

Pada dasarnya penyakit hewan menimbulkan dua jenis masalah bagi manusia yaitu sosio-ekonomi dan kesehatan. Ancaman ekonomi dan sosio-ekonomi penyakit hewan terjadi dalam tiga kategori besar, yaitu (i) kehilangan produksi, produktivitas dan keuntungan yang disebabkan oleh agen penyakit dan biaya pengobatannya; (ii) gangguan pasar lokal, perdagangan internasional, dan ekonomi pedesaan yang ditimbulkan oleh wabah penyakit dan tindakan-tindakan pengendalian yang dimaksudkan untuk menghentikan penyebarannya, seperti: penyembelihan darurat massal (culling), karantina, dan larangan perjalanan (travel ban); dan (iii) ancaman kesejahteraan manusia terutama bagi yang berpenghasilan rendah. Ancaman terhadap kesejahteraan manusia diakibatkan oleh ke-dua ancaman sebelumnya.

Begitu juga ancaman terhadap kesehatan manusia akibat penyakit hewan terdiri dari dua bentuk, yaitu: (i) penyakit zoonosis; dan (ii) penyakit yang ditularkan lewat makanan (food borne diseases). Zoonosis adalah penyakit yang timbul di hewan, akan tetapi dapat ditularkan ke manusia. Contohnya penyakit viral berpotensi pandemi seperti influenza yang paling banyak diberitakan media massa, akan tetapi juga masih banyak lagi penyakit zoonosis lainnya seperti rabies, brucellosis, leptospirosis, dan antraks. Sedangkan penyakit-penyakit ditularkan lewat makanan, disebabkan oleh agen penyakit seperti salmonella (terutama S. enteritidis dan S. typhimurium), Campylobacter dan E. Coli atau kontaminan yang dapat memasuki rantai pangan selama proses produksi dan pengolahan pangan asal hewan. Gambar 1 mengilustrasikan alur bagaimana penyakit hewan dan risiko penyakit hewan mempengaruhi kesejahteraan manusia. [4]

Gambar 1: Dampak penyakit hewan terhadap kesejahteraan manusia

Sumber: FAO (2009). The State of Food and Agriculture. Livestock in balance.

Banyak penyakit hewan seringkali menyerang sistem peternakan tertentu, terutama pada sektor peternakan yang didominasi sistem tradisional skala kecil, sistem produksi campuran atau ekstensif. Pada umumnya keberadaan penyakit-penyakit endemik ditoleransi di negara-negara yang didominasi sistem peternakan tradisional seperti Indonesia, meskipun penyakit-penyakit tersebut menyebabkan kerugian ekonomi dan ancaman kesehatan bagi produsen maupun konsumen. Negara-negara seperti ini cenderung memiliki siskeswannas yang kurang tangguh, baik subsistem pengendalian penyakit maupun juga subsistem keamanan pangan-nya. [4]

Di negara-negara berkembang seperti juga Indonesia, umumnya menderita kontraksi dalam pelayanan dan intervensi kesehatan hewan dari yang seharusnya dilaksanakan oleh pemerintah sejak dua atau tiga dasawarsa terakhir. Kegiatan-kegiatan kesehatan hewan pemerintah tidak mendapatkan pendanaan memadai, legislasi sektor peternakan dan kesehatan hewan lemah dalam perancangan dan juga penerapannya, dan keikutsertaan sektor swasta dalam pelayanan kesehatan hewan terbatas. [4]

Sebagaimana halnya di negara berkembang lain, pemerintah tidak secara rutin memberikan pelayanan pengobatan atau pengendalian penyakit menular kepada sistem skala kecil dan tradisional, karena anggaran yang disediakan untuk keperluan tersebut rendah. Kejadian penyakit menular endemik dan parasitik secara berlanjut mempengaruhi produksi dan produktivitas, sehingga mengurangi kemampuan peternak untuk mendapatkan keuntungan sosio-ekonomi nyata dari ternak miliknya.

Contohnya penyakit-penyakit seperti Newcastle disease (ND) pada unggas, classical swine fever (CSF) pada babi, brucellosis pada ternak ruminansia (terutama sapi), haemorrhagic septicaemia (HS) pada sapi dan kerbau, surra atau trypanosomiasis pada kerbau dan termasuk juga infestasi parasit internal, ke-semuanya masih menjadi ancaman bagi aset peternak dan membuat pendapatan mereka jadi kurang aman.

Sebaliknya pada sistem peternakan industrial, biaya yang harus dikeluarkan produsen untuk pengobatan dan pengendalian penyakit hewan dipandang sebagai bagian dari biaya ekonomi produksi. Kejadian penyakit relatif rendah, akan tetapi biaya yang harus ditanggung dikaitkan dengan pemeliharaan biosekuriti fasilitas produksi dan kesehatan hewan serta obat-obatan jumlahnya cukup signifikan. Sudah barang tentu biaya ini mempengaruhi keseluruhan keuntungan yang diperoleh produsen.

Kejadian penyakit hewan yang termasuk dalam daftar harus dilaporkan menurut OIE (notifiable diseases) di suatu wilayah negara dapat menyebabkan gangguan pasar domestik bahkan juga ekspor (apabila negara tersebut bertindak sebagai pengekspor). Kerugian ekonomi umumnya disebabkan oleh syok pasar akibat dampak tindakan penanggulangan penyakit yang harus dilakukan seperti larangan pemasaran dan perdagangan, pembatasan pergerakan ternak dan pemusnahan kelompok atau flok ternak yang terjangkit.

Konsumen juga menghindari mengkonsumsi produk dari komoditi ternak tersebut apabila dirasakan ada kemungkinan implikasi pada kesehatan manusia. Penurunan tingkat konsumsi yang tajam bahkan bisa mempengaruhi produsen dan pedagang yang berlokasi di luar wilayah dimana wabah penyakit terjadi. Dampak tindakan pengendalian bisa berakibat kepada hancurnya pariwisata dan industri-industri terkait lainnya.

Pada dasarnya apabila krisis wabah penyakit sedang berlangsung, pemerintah seringkali mengalami tekanan untuk mampu merespon secara tepat, memobilisasi tenaga kesehatan hewan, serta menyediakan dan mendistribusikan peralatan, vaksin dan/atau obat-obatan secara memadai. Dengan keterbatasan sumberdaya seperti itu, pemerintah juga seringkali tidak mampu untuk fokus kepada perbaikan dan pemeliharaan infrastruktur yang dibutuhkan untuk memastikan berjalannya subsistem pengendalian penyakit dan subsistem keamanan pangan. [4] Pos-pos kesehatan hewan (poskeswan) sebagai ujung tombak layanan kesehatan hewan dan pengendalian penyakit di Indonesia bukan hanya jumlahnya masih jauh dari memadai, tapi juga memiliki fasilitas yang minim. Begitu juga rumah-rumah pemotongan hewan (RPH) di hampir seluruh kabupaten kurang memenuhi standar ditinjau dari aspek kesehatan masyarakat veteriner.

Keberadaan lembaga-lembaga swasta berbasis masyarakat dan non-pemerintah lainnya sesungguhnya bisa mengambil peran lebih kuat dalam mengisi ketidakberdayaan pemerintah dalam menyediakan pelayanan kesehatan hewan atau pengendalian penyakit. Di negara-negara berkembang di Afrika, peran serta lembaga-lembaga semacam ini sangat nyata, tetapi sayangnya keberadaan dan keikutsertaannya di Indonesia masih sangat terbatas sekali. Sudah seharusnya keberadaan mereka perlu terus didorong untuk sepenuhnya terintegrasi ke dalam siskeswannas. [4]

Peran melayani masyarakat

Dalam beberapa tahun terakhir, dunia mengalami berbagai penyakit baru muncul (emerging disease) seperti severe acute respiratory syndrome (SARS), highly pathogenic avian influenza (HPAI) atau flu burung yang disebabkan oleh virus A-H5N1, dan influenza yang disebabkan virus A-H1N1. Ke-semuanya menimbulkan kekhawatiran besar tentang risiko pandemi global. [4] Bagi Indonesia sendiri, endemisitas penyakit flu burung menjadi suatu batu sandungan yang episoda selanjutnya tidak bisa kita prediksi.

Begitu pula kita menyaksikan apa yang terjadi di beberapa belahan dunia baik yang lalu maupun masih berlangsung sampai saat ini, seperti  krisis wabah penyakit mulut dan kuku (PMK) dan bovine spongiform encephalopathy (BSE) di Eropa; antraks dan West Nile di Amerika Serikat; contagious bovine pleuropneumonia (CBPP), peste des petits ruminants (PPR), dan rift valley fever (RVF) di Afrika; classical swine fever (CSF) dan porcine respiratory and reproductive syndrom (PRRS) di Asia Tenggara dan lain sebagainya.

Dampak dari timbulnya penyakit-penyakit baru dan merebaknya wabah penyakit-penyakit menular yang sulit diatasi seperti disebutkan diatas memberikan pembelajaran bagaimana profesi kedokteran hewan memegang peranan serius terkait dengan ilmu dan kebijakan yang dimilikinya. Mengingat teknologi medik yang semakin maju dan ancaman-ancaman baru muncul tersebut baik bagi hewan maupun manusia, maka posisi dokter hewan menjadi sangat kritis dalam bertindak sebagai penasehat kebijakan publik (advisors on public policy). Bagi profesi kedokteran hewan, hal ini bukanlah hanya sekedar menyangkut ”kesehatan hewan”, tetapi menyangkut interaksi masyarakat dengan alam dan hewan. [5]

Profesi kedokteran hewan akan terus memainkan perannya dalam melayani masyarakat secara implisit maupun eksplisit. Harapan sosial masyarakat ke depan pada gilirannya adalah bagaimana dengan pendekatan profesi kita bukan hanya mampu mengelola ketahanan dan keamanan pangan, tetapi juga lingkungan dan biodiversitas. Keberhasilan profesi secara keseluruhan dideterminasi oleh bagaimana profesi ini menyesuaikan kegiatan dan kompetensinya terhadap sasaran-sasaran sosial masyarakat. Keberhasilan profesi di tingkat praktek individual bisa dikatakan jauh lebih baik, karena tujuan primernya adalah membantu pelanggan (client) mencapai sasarannya dalam konteks pelayanan medik dan peningkatan kesadaran etik, baik dari aspek kesejahteraan hewan maupun lingkungan. [6]

Tiga prinsip dasar yang konsisten dengan sumpah dokter hewan dibawah ini diharapkan bisa menjelaskan secara lebih baik peran dari profesi kedokteran hewan, dan seharusnya perlu mendapatkan penekanan berulang dalam setiap diskusi di masa depan yaitu:
• Tujuan primer profesi kedokteran hewan adalah melayani masyarakat (termasuk peranannya sebagai pengawal kesejahteraan hewan).
• Kedokteran hewan menangani secara primer kesehatan dan penyakit dari vertebrata, termasuk manusia.
• Kedokteran perbandingan (comparative medicine) secara umum adalah fondasi dasar dari semua cabang ilmu kedokteran hewan. [6]

Penilaian terhadap masa depan profesi dalam batasan tertentu bergantung kepada bagaimana kita mendefinisikan ranah-ranah utama kedokteran hewan dan harapan terhadap masing-masing ranah dalam merespon kebutuhan masyarakat. Ranah-ranah utama dimaksud seperti kesehatan hewan domestik (domestic animal health), kesehatan masyarakat (public health), keamanan pangan (food safety), kesehatan ekosistem (ecosystem health), dan sains biomedik (biomedical science). Dimensi yang luas dan kompetensi beragam ini dibutuhkan dari profesi kedokteran hewan untuk menghadapi tantangan dunia dalam mengatasi dampak penyakit hewan yang sudah disampaikan sebelumnya. [6]

Disadari bahwa pendidikan formal kedokteran hewan selama 250 tahun di dunia dan 100 tahun di Indonesia cenderung fokus menghasilkan dokter hewan klinik (veterinary clinicians), hal yang sangat nyata terutama di negara-negara maju. Di Indonesia dulu akibatnya sering timbul persepsi bahwa yang namanya "dokter hewan" haruslah seorang dokter hewan yang berpraktek klinik. Oleh karena itu profesi kedokteran hewan perlu mengarahkan ulang aras profesinya dari pendekatan klinik tradisional menuju ke pendekatan pelayanan masyarakat menyeluruh. Selain itu juga menggeser fokus saat ini dari ketrampilan klinik dengan memperluasnya ke semua spektrum yang bisa disediakan oleh profesi. Praktek kedokteran hewan adalah bagaikan langit-langit kaca dari profesi dan itu sebabnya mengapa ada banyak kesulitan dalam menjelaskan peran profesi ini di masyarakat. [7]

Suatu dilema dihadapi oleh profesi kedokteran hewan dalam memenuhi harapan masyarakat. Di satu sisi dengan kompetensi yang dimilikinya profesi harus membuktikan kemampuannya dalam menyalurkan keragaman yang luas dari keahlian dan pelayanannya seperti yang dibutuhkan saat ini maupun mendatang. Di sisi lain, ada satu tantangan besar yang harus dihadapi yaitu kesenjangan nyata dalam mutu dan pengakuan memadai terhadap pendidikan kedokteran hewan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Profesi harus bisa mengatasi masalah internalnya sendiri untuk memastikan bahwa profesinya tidak dirugikan dan begitu juga masyarakat yang dilayaninya. [7]

Belum terlambat untuk memulai suatu cara pandang baru bahwa masyarakat dan pemerintah mendambakan profesi kedokteran hewan yang memiliki kapasitas mampu menyediakan apa yang dibutuhkan masyarakat dan bukan hanya mengandalkan reputasi profesi semata. [7] Dengan demikian dokter hewan Indonesia seharusnya fokus kepada apa yang secara efektif bisa dikontribusikannya kepada pemenuhan kebutuhan masyarakat, dan bukan hanya meminta pemerintah mengembalikan otoritasnya saja. [8] Penyelesaian persoalan-persoalan flu burung, rabies, antraks dan lain sebagainya memerlukan komitmen penuh profesi untuk memenuhi cara-cara pemerintahan yang baik (good governance) sesuai standar OIE.

Suatu internalisasi bahkan introspeksi profesi dalam hal ini dibutuhkan untuk melihat peran dokter hewan di masyarakat. Kalau sebelumnya dokter hewan Indonesia merasa belum bisa menunjukkan prestasi kalau tidak diberi otoritas dan kesempatan untuk membuktikannya [9], maka seharusnya cara pandang tersebut digeser dengan membuktikan bahwa profesi telah disumpah untuk menunjukkan kewajiban sosialnya terhadap masyarakat sepanjang karier dan kepentingan masyarakat adalah diatas kepentingan profesi.

Horizon profesi

Dalam jangka panjang, tantangan profesi kedokteran hewan akan berhadapan dengan tiga hal yaitu:
• globalisasi perdagangan hewan dan produk hewan;
• hubungan antara kedokteran hewan dengan lingkungan; dan
• perubahan keterkaitan antara hewan dan manusia. [10]

Dalam globalisasi perdagangan hewan dan produk hewan, kewajiban profesi adalah mendorong peningkatan akses pasar domestik dan ekspor melalui tindakan perlindungan dan pengamanan sesuai perjanjian Sanitary and Phytosanitary (SPS) dari Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Oleh karenanya menjadi suatu hal sangat penting bagi profesi adalah memahami standar-standar internasional yang ditetapkan oleh OIE dan Codex Alimentarius dari Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO).

Peran profesi kedokteran hewan dalam pengendalian lingkungan berkaitan dengan pertanian dan lingkungan masyarakat pedesaan. Bukan hanya menyangkut upaya pengendalian yang efektif terhadap polutan lingkungan sebagai dampak intensifikasi peternakan, akan tetapi juga polutan organik yang ada dalam kotoran seperti obat-obatan, disinfektans, bakteria patogen dan lain sebagainya. Begitu juga masalah-masalah higiene yang biasanya muncul pada saat yang sama dengan transformasi hubungan manusia dan hewan-hewan yang dipelihara di wilayah perkotaan (urban areas).

Hubungan manusia, hewan dan lingkungannya pada dasarnya selalu berubah. Pendekatan etika kesejahteraan hewan sendiri sangat bervariasi dari suatu budaya ke budaya lain dan juga memiliki dimensi ekonomi dan politik. Secara umum dapat dipisahkan keterkaitan antara: (1) lingkungan, manusia dan satwa liar; (2) lingkungan, manusia dan hewan domestik; dan (3) lingkungan, manusia dan hewan peliharaan/kesayangan atau hewan olah raga. Peran profesi kedokteran hewan dalam hal ini adalah memastikan pengembangan optimum dari hewan pangan, penggunaan hewan laboratorium untuk eksperimen, penggunaan dan perlakuan terhadap hewan hidup dan lain sebagainya. [10]

Dr. Tjeerd Jorna, Presiden dari Organisasi Profesi Kedokteran Hewan Dunia (World Veterinary Association/WVA) selalu menggambarkan bahwa kedokteran hewan merupakan satu rumah yang ditopang oleh tiga pilar yaitu kesehatan hewan, kesehatan masyarakat dan kesejahteraan hewan, dan pendidikan kedokteran hewan merupakan fondasi yang kuat dari rumah tersebut (lihat Gambar 2). [4]

Gambar 2: Kedokteran hewan dan pendidikan kedokteran hewan

Sumber: Dr. Tjeerd Jorna, President of World Veterinary Association (2009) [4]

Badan akreditasi pendidikan kedokteran hewan pada umumnya berbasis di negara-negara maju seperti di Amerika Utara, Eropa, Inggris dan Australasia. Tidak dapat dielakkan bahwa standar yang tinggi diberlakukan oleh badan akreditasi tersebut dan standar ini akan menjadi dasar bagi pembentukan standar global di masa depan. Faktanya pendidikan kedokteran hewan di sejumlah besar wilayah dunia dan negara-negara berkembang tidak turut serta dalam proses akreditasi semacam ini. [7] Realitasnya para lulusan pendidikan kedokteran hewan di negara-negara berkembang termasuk Indonesia relatif mempunyai kualifikasi yang berada di bawah standar yang ditetapkan oleh badan akreditasi dimaksud.

Suatu kemajuan signifikan terjadi di Indonesia dimana universitas yang memiliki pendidikan kedokteran hewan bertambah dua kali lipat yaitu dari lima menjadi sepuluh, kemudian juga dirintisnya upaya pengembangan standar kompetensi serta registrasi dokter hewan. Hal ini menunjukkan bahwa ada upaya internal kolektif dari profesi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Namun perlu disadari juga di sisi lain pemegang kebijakan pendidikan harus senantiasa mengenali kompetensi yang dibutuhkan para dokter hewan untuk berkontribusi secara efektif dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan juga dalam konteks kesehatan global.

Lembaga pendidikan kedokteran hewan, badan akreditasi dan registrasi dokter hewan harus terus mengkaji standar-standar kompetensi yang diperlukan. Kurikulum pendidikan kedokteran hewan harus diadaptasi sedapat mungkin dengan kebutuhan sebagaimana disebutkan diatas. Begitu juga sertifikasi dokter hewan harus diarahkan untuk memenuhi standar internasional, sehingga bukan hanya mendapatkan pengakuan untuk bisa bekerja dimanapun di dunia tapi juga sekaligus meningkatkan daya saing terhadap dokter-dokter hewan asing.

Penutup

Profesi kedokteran hewan sudah pasti akan terus ada sampai kapanpun, meskipun kekuatan profesi tetap akan menjadi satu isu tertentu dan tanda tanya ke depan. Apabila para pemimpin profesi secara global maupun nasional tidak melakukan upaya-upaya yang membuat profesi kedokteran hewan mampu lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat, maka kapasitasnya sudah pasti akan semakin berkurang. [6]

Meskipun banyak persoalan dihadapi profesi, tetapi ke depan potensi profesi tidak terbatas hanya pada mengantisipasi tantangan intelektual dan imbalan psychologis saja, tetapi seharusnya juga penghasilan yang lebih memadai. Disamping itu, yang terpenting lagi mampu menyediakan lingkup keahlian beragam dengan horizon yang terus berkembang untuk melayani prioritas tinggi dari kebutuhan masyarakat. [6]

Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi profesi kedokteran hewan adalah komunikasi, baik komunikasi antar sesama profesi maupun komunikasi dengan masyarakat sekitar. Suatu strategi komunikasi yang sangat baik harus dirancang secara global, nasional dan lokal oleh semua pengemban profesi dan organisasi profesi kedokteran hewan. Posisi masa depan profesi sangat bergantung kepada kompetensi teknis dan komunikasi dimaksud dalam memastikan keamanan pangan (food safety) dan ketahanan global (global security), kesehatan dan kesejahteraan hewan, lingkungan serta biodiversitas. [7]

Referensi:
1. OIE (2009). Global Conference "Evolving veterinary education for a safer world" Global collaborative work delivers first recommendations on veterinary education. Paris, France, 12-14 October 2009. http://www.oie.int/vademecum/eng/PDF_WORD_Vademecum/SERVICES_VETERINAIRES_FINAL/Recommandations_EN.pdf
2. http://www.oie.int/support-to-oie-members/veterinary-education/
3. Jorna T. (2009). World Veterinary Association. Presentation EAEVE Hannover May 2009. http://www.eaeve.org/fileadmin/downloads/publications/Veterinary_Profession_Globalised_World.ppt
4. FAO (2009). The State of Food and Agriculture. Livestock in the balance. ISBN 978-92-5-106215-9.
5. Allard W. (2003). Agenda for Action: An Agenda for Action for the Veterinary Profession and Veterinary Education. JVME 30(2): 9. Association of American Veterinary Medical Colleges (AAVMC).
6. Nielsen N.O. (2003). Commentary: Will the Veterinary Profession Flourish in the Future? JVME 30(4): 301-307. Association of American Veterinary Medical Colleges (AAVMC).
7. Edwards J. (2004). Global Perspective of Veterinary Education: Reflections from the 27th World Veterinary Congress. JVME 31(1): 9-12. Association of American Veterinary Medical Colleges (AAVMC).
8. http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=190048:mengembalikan-otoritas-dokter-hewan&catid=25:artikel&Itemid=44
9. http://www.koranpdhi.com/buletin-edisi9/edisi9-profesidrh.html
10. Marabelli R. (2003). The role of official Veterinary Services in dealing with new social challenges: animal health and protection, food safety, and the environment.
Rev Sci Tech. 22(2): 363-371.

*) Penulis bekerja di Food and Agriculture Organization of the United Nations, Vientiane, Laos

0 Komentar: