Minggu, 30 Mei 2010

Rabies, zoonosis dan anjing jalanan

Oleh: Tri Satya Putri Naipospos

Satu per satu daerah tertular rabies di Indonesia bertambah dan korban yang meninggal karena rabies di daerah padat anjing tak kunjung usai. Setelah pulau Bali, terakhir berjangkit di pulau Nias yang letaknya di samudera Hindia sebelah barat pulau Sumatera bulan Februari 2010 lalu. Penjalaran rabies tidak bisa dihentikan dengan pemberian vaksin anti rabies pada manusianya secara terus menerus, selama ancaman dari gigitan hewan penular rabies masih tetap ada.

Perubahan paradigma yang berlaku di seluruh dunia berupa pergeseran fokus dari pencegahan pasca gigitan (post-exposure prophylaxis) pada manusia kepada upaya melenyapkan rabies pada sumbernya yaitu hewan – memberikan tanggung jawab yang amat besar ke pundak dokter hewan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) mengatakan pengendalian dan vaksinasi pada anjing merupakan strategi yang paling efektif dan ekonomis untuk mencegah kejadian rabies pada manusia.

Tanggung jawab ini sungguh berat dan menjadi tantangan yang luar biasa bagi dokter hewan, mengingat pemahaman pemerintah dan masyarakat tentang nilai dan pentingnya aspek kesehatan hewan masih jauh dari yang diharapkan. Sudah banyak bukti di negara-negara lain rabies bisa diberantas, asalkan ada program jelas dengan sumber daya dan dana yang jelas. Akan tetapi seringkali dokter hewan di Indonesia menjadi tidak berdaya oleh karena kebijakan pengendalian dan pemberantasan rabies tercurah kepada penanganan situasi darurat korban, akan tetapi akar pencetus masalah kurang mendapatkan perhatian serius.

Zoonosis

Rabies adalah penyakit zoonosis yang ditularkan dari hewan penular rabies (HPR) ke manusia melalui gigitan. Lebih dari 99% kasus rabies pada manusia disebabkan gigitan anjing. Hampir separuh dari seluruh kematian manusia karena rabies terjadi pada anak-anak dibawah umur 15 tahun. Rabies dianggap sebagai penyakit terabaikan (a neglected disease) bagi kaum miskin yang hidup di pedesaan. Rasio kejadian rabies antara wilayah perkotaan dan pedesaan yaitu 20% berbanding 80%.

Jika seekor anjing menggigit seseorang, virus akan masuk ke dalam tubuh dan menyerang sistim syaraf pusat. Tanpa perlakuan khusus, peluang orang tersebut meninggal dunia adalah 100%. Oleh karena itu korban yang tergigit harus sesegera mungkin diberi vaksin anti rabies (VAR) yang biayanya lumayan tinggi. Biaya VAR yang cukup mahal tersebut seringkali menyebabkan kendala bagi masyarakat berpenghasilan rendah dan sangat rendah di pedesaan.

Rabies pada manusia menempati urutan ke-7 di antara penyakit-penyakit menular, tetapi kematian manusia sesungguhnya dapat dicegah. Rabies pada hewan dianggap tidak merugikan secara ekonomi, akan tetapi pemberantasannya justru menguntungkan bidang kesehatan yang seharusnya turut menanggung biaya pemberantasan secara bersama. Namun negara-negara berkembang termasuk Indonesia belum bisa memberantas rabies, oleh karena prioritasnya yang rendah baik dari aspek kesehatan masyarakat maupun kesehatan hewan.

Seperti halnya di negara-negara berkembang lainnya, persoalan rabies tidak bisa dilepaskan dari sejarah rabies dan upaya penanggulangannya di Indonesia, keberadaan suku-suku dengan adat istiadat dan budayanya, tingkat kemiskinan serta karakteristik hewan anjing. Rabies di Indonesia sudah berumur 123 tahun, namun demikian tanpa mempelajari semua aspek yang berkaitan satu sama lain tersebut pemahaman tentang rabies masih belum beranjak seperti yang diharapkan.

Masalah manusia

Dokter hewan menjadi kunci utama dalam penanganan zoonosis yang kejadiannya tinggi dan terus menerus seperti rabies. Setiap 10 menit orang meninggal karena rabies di seluruh dunia. Lebih dari 3 milyar penduduk di negara-negara berkembang di Asia berpotensi tertular rabies lewat gigitan anjing. Oleh karenanya menjadi tanggung jawab utama dari profesi ini untuk mengaplikasikan pengetahuan dan ketrampilannya dalam mengendalikan rabies demi menciptakan penyangga antara hewan sebagai sumber penyakit dengan manusia yang peka.

Strategi pengendalian dan pemberantasan rabies pada hewan umumnya diterapkan dengan parenteral vaksinasi terhadap anjing berpemilik yang bisa dikendalikan (accessible dog) dan pengendalian populasi anjing jalanan (stray dog). Apabila jumlah anjing yang divaksinasi cukup banyak, maka rabies bisa diberantas. Cakupan vaksinasi 70% telah dibuktikan di banyak negara berhasil mencegah terjadinya wabah pada 96,5% kasus. Sedangkan pengendalian populasi anjing hanya dapat dilakukan sampai kepada tingkat yang dapat diterima atau situasi yang dianggap sudah dapat dikendalikan tanpa menimbulkan dampak terhadap lingkungan dan hewan lainnya.

Rabies bukanlah masalah anjing semata, tetapi masalah manusia. Pada dasarnya keberhasilan pengendalian dan pemberantasan rabies bergantung kepada tingkat kesadaran masyarakat. Perlu ada perubahan perilaku yang membuat masyarakat dapat menerima dan mematuhi berbagai kewajiban sesuai aturan yang berlaku seperti mengandangkan dan mengikat anjingnya, memberi makan secara baik, merawat dan menjaga kesehatannya serta memvaksin anjingnya secara rutin. Masyarakat yang disiplin, beretika dan patuh akan membuat petugas pengendali rabies lebih mudah mengatasi keadaan.

Komunikasi risiko untuk kampanye peningkatan kesadaran masyarakat menjadi sangat penting untuk dilakukan secara rutin dan berkesinambungan. Kampanye yang sudah barang tentu membutuhkan banyak sekali waktu, dana dan tenaga serta kemauan politik. OIE merekomendasikan perlunya melakukan program-progam promosi yang pada intinya adalah bagaimana mendidik masyarakat agar menjadi pemilik anjing yang bertanggung jawab (responsible dog ownership). Sasaran pendidikan rabies amat ideal dan lebih cepat tersosialisasi apabila dilakukan melalui anak-anak sekolah.

Ketidakberhasilan membendung perluasan rabies sewaktu masih terlokalisir di kaki pulau Bali (semenanjung Bukit Jimbaran) lebih dikarenakan faktor manusia juga. Fakta penyebabnya adalah masyarakat menganggap anjing punya nilai ekonomi yang bisa diperjualbelikan sehingga pergerakan atau migrasi anjing dari satu wilayah ke wilayah lain sulit dibendung, anjing tidak boleh dibunuh tanpa upacara atau tanpa menghilangkan roh jahat yang berkeliaran terlebih dahulu dan bahkan masyarakat Bali sendiri belum dipersiapkan untuk mengenal apa itu bahaya rabies.

Anjing jalanan

Permasalahan anjing jalanan tidak bisa hanya dipahami satu sisi saja, tetapi harus dipahami dari berbagai aspek baik sosio-ekonomi, budaya, agama dan lingkungan bahkan mistik yang berkembang di masyarakat. Banyaknya anjing jalanan seperti di pulau Bali merupakan salah satu kendala dalam pemberantasan rabies.

Keberadaan anjing di pulau Bali dianggap sebagai bagian dari adat bahkan ritual masyarakat. Anjing-anjing berkeliaran di jalan-jalan, di tempat-tempat umum atau di pantai-pantai, namun sesungguhnya kebanyakan (60%-70%) dari anjing-anjing jalanan tersebut berpemilik, akan tetapi tidak dipelihara secara baik dan bahkan pemilik membiarkannya liar. Anjing-anjing jalanan itu bisa tetap hidup oleh karena makan dari sisa-sisa makanan dan sesajen yang ada dipelosok-pelosok.

Banyak sekali contoh di negara-negara lain dan juga di Indonesia sendiri bagaimana pembasmian anjing jalanan tidak menyelesaikan masalah. Pengendalian populasi dengan pemusnahan anjing dapat diterima dengan mempertimbangkan bahwa penyelamatan jiwa manusia adalah prioritas dan memperhatikan juga daya dukung (carrying capacity) lingkungan populasi anjing. Meskipun demikian pembunuhan anjing harus tetap mengikuti kaidah kesejahteraan hewan (animal welfare) yaitu dilakukan tanpa menimbulkan kesakitan atau penderitaan hewan yang tidak perlu.

Sesungguhnya persoalan rabies bukan hanya sekedar menarik garis antara anjing jalanan dan anjing peliharaan, tetapi mempelajari keseluruhan aspek kehidupan anjing meliputi demografi, tingkat kepadatan, peran, habitat, tingkatan supervisi manusia, kecepatan reproduksi, tingkah laku (dog behaviour) dan lingkungannya (dog ecology). Keberadaan anjing-anjing berubah menurut waktu dan musim sebagai fungsi dari ketersediaaan makanan, air, penampungan, perubahan alam dan lain sebagainya.

Pembasmian membabi buta sudah jelas akan mengganggu keseimbangan ekologis, praktek-praktek pertanian, kelanggengan adat istiadat serta perubahan sikap anjing terhadap tekanan manusia seperti halnya yang dialami di Flores dahulu. Pada kenyataannya pembasmian menimbulkan resistensi di masyarakat terutama pada kelompok masyarakat atau suku yang menganggap hewan anjing adalah bagian yang dekat dengan kehidupan sosio-ekonomi dan budayanya.

Dengan demikian pengendalian dan pemberantasan rabies pada hewan harus dilakukan dengan pendekatan dan cara-cara yang secara ekonomi, ekologis dan etis bisa diterima masyarakat. Rasa tidak aman dan terancam oleh karena rabies tidak harus ditambah dengan pemilihan cara-cara yang justru tidak bisa diterima sebagian besar manusia dan lingkungan. Penentangan terhadap pembasmian anjing jalanan tidak hanya dikaitkan semata-mata dengan kaidah-kaidah kesejahteraan hewan, akan tetapi jauh lebih luas dari itu yaitu mempertahankan keseimbangan dan keserasian hidup antara manusia, hewan dan lingkungan.

Kendala

Setiap wilayah di Indonesia belum tentu memiliki permasalahan dan kendala yang sama. Aspek politik, sosial, ekonomi, budaya dan ekologi antar daerah tidak persis sama. Penggunaan pendekatan lama dengan pendekatan spesifik wilayah seperti halnya dulu di provinsi-provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan beberapa kabupaten di Jawa Barat ditambah di Kalimantan Barat dan Maluku Utara dianggap berhasil memberantas rabies, tetapi ternyata tidak demikian halnya di pulau Flores dan Bali.

Belajar dari semua keberhasilan dan kegagalan tersebut, adanya faktor kesulitan tertentu ditambah antisipasi yang terlambat menyebabkan pulau Bali sulit mengatasi rabies dalam waktu singkat. Kalaupun dilakukan pengendalian anjing jalanan di pulau Bali, maka sesuai dengan standar OIE pemusnahan anjing harus dilaksanakan dengan cara-cara yang paling praktis, cepat dan manusiawi serta memastikan keselamatan operatornya. Misalnya melalui pengendalian reproduksi anjing dengan cara sterilisasi atau kastrasi, penangkapan dan penampungan, bahkan jalan terakhir yang diperbolehkan yaitu euthanasia.

Pelaksanaan euthanasia seringkali juga dianggap sebagai kendala di lapangan, oleh karena perlu banyak tenaga dan waktu. Untuk itu dibutuhkan tenaga-tenaga yang sudah terlatih secara baik dalam menangkap, memasangkan kuk pada leher anjing dan kemudian melakukan prosedur euthanasia. OIE juga memberikan pedoman tentang metoda, prosedur dan praktek yang tidak dapat diterima sama sekali berdasarkan azas kesejahteraan hewan, termasuk diantaranya pemakaian strychnine.

Mengingat kendala-kendala sebagaimana disebutkan diatas, diperlukan kerjasama yang erat antara berbagai pihak yang terlibat dalam pengendalian dan pemberantasan rabies seperti para penanggung jawab kesehatan dan kesehatan hewan yang ada di pemerintahan pusat dan daerah, dengan mitranya para dokter hewan swasta dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) lokal, nasional maupun internasional. Keterlibatan berbagai pihak tersebut akan menjadi satu kekuatan yang menentukan efektivitas dan keberhasilan dalam mengendalikan dan memberantas rabies dalam jangka panjang ke depan.

*) Bekerja di Food and Agriculture Organization of the United Nation, Vientiane, Laos.

2 Komentar:

ekads [Reply] mengatakan...

makasi udah berkunjung ke blog saya mbak, tapi kok ga ninggalin komentar ya?
ternyata ada salah satu senior yang nyasar di blog saya hehehe

btw, kebetulan saya lagi nyari2 artikel tentang rabies juga untuk referensi.

salam kenal :D

Unknown [Reply] mengatakan...

Ibu Tata, kalau bisa mohon sumbangpikir mengenai ekologi atau bioekologi anjing atau demografi

sekian
terimakasi