Senin, 22 Maret 2010

Penyakit Hewan Menular dan Dampaknya terhadap Perdagangan Global

Oleh: Tri Satya Putri Naipospos

Dalam dekade terakhir, sejumlah peristiwa wabah penyakit hewan menular berulangkali mengganggu perdagangan ternak dan daging sehingga menciptakan ketidakpastian di masa depan. Penyakit sapi gila (BSE) dan flu burung, dua penyakit yang paling menyebabkan gangguan perdagangan dan ketiga, penyakit mulut dan kuku (PMK) bahkan dianggap bagai hantu yang membayangi pasar ekspor.

Gangguan perdagangan yang berkaitan dengan penyakit hewan menular selain sangat merugikan industri ternak di negara pengekspor, juga berpotensi mempengaruhi industri pangan dan konsumen di negara pengimpor. Seringkali kebutuhan daging yang terpengaruh akibat penghentian impor tidak dapat diganti secara mendadak oleh produsen dalam negeri atau negara pengekspor lain. Begitu juga jika konsumen mengurangi pembelian, karena khawatir akan dampak bagi kesehatannya.

Dampak kerugian ekonomi akibat gangguan perdagangan tersebut dijabarkan dalam tiga kriteria. Pertama, relatif pentingnya ekspor daging bagi produsen di negara tertular. Kehilangan pasar ekspor akan lebih serius jika lebih dari 40 persen produksi negara tersebut diekspor. Sebagai contoh, wabah penyakit yang melanda industri babi di Denmark dan Taiwan atau industri unggas di Thailand, yang kesemuanya sangat bergantung kepada ekspor.

Kedua, relatif pentingnya impor daging dari negara tertular bagi konsumen di negara pengimpor. Jika suatu negara yang terjangkit mensuplai 20 persen dari kebutuhan daging negara pengimpor, penghentian impor secara mendadak dapat mengarah kepada jatuhnya tingkat konsumsi. Kecuali apabila produksi domestik atau impor dari negara lain dapat menutupi kekurangan tersebut.

Ketiga, faktor apakah penyakit hewan menjadi ancaman bagi kesehatan manusia. PMK tidak menular ke manusia secara khusus, akan tetapi avian influenza (AI) strain H5N1 dapat menular ke manusia melalui kontak dekat dengan unggas terinfeksi. Pemasakan dapat membunuh virus PMK dan AI dalam daging, tetapi tidak sama halnya dengan agen penyebab BSE. BSE menyebabkan penyakit otak yang bersifat fatal pada manusia yang mengkonsumsi jaringan berisiko tinggi dari hewan yang terinfeksi.

Satu dekade bebas PMK

Sejak lama arus perdagangan ternak dan daging di dunia ditentukan berdasarkan zona “bebas PMK” dan “tertular PMK”. Sepanjang abad ke-20 lalu, zona bebas PMK berlangsung stabil di suatu kelompok negara meliputi Amerika Serikat (AS), Kanada, Australia, Selandia Baru, Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan Denmark.

Mengingat kelompok negara tersebut dikenal bebas PMK, persyaratan kesehatan hewan tidak menghambat perdagangan diantara mereka ataupun mempengaruhi ekspor ke negara-negara yang tidak bebas PMK. Negara-negara yang tidak bebas PMK dapat mengekspor hanya dalam bentuk daging sudah diolah, seperti kornet, daging kaleng ke zona bebas PMK.

Pelaksanaan ketat dari persyaratan perdagangan tersebut merefleksikan suksesnya upaya pemberantasan PMK dekade lalu. Jepang berhasil memberantas PMK di tahun 1907 dan Taiwan serta AS di tahun 1920an. Kesemuanya dijalankan melalui kampanye pemusnahan ternak secara masal. Kampanye yang menyebabkan sekelompok negara menikmati status bebas PMK dalam 50 tahun ke depan.

Kestabilan zona bebas PMK selama lebih dari 50 tahun berakhir menjelang akhir abad ke-20. Perdagangan baik antara zona bebas PMK maupun diantara negara-negara yang belum mencapai status bebas PMK, digoncang dengan terjadinya wabah hebat di awal tahun 1997.

PMK mulai menyebar secara luas di seluruh dunia dan Taiwan mengalami wabah yang sangat parah di tahun tersebut. Ketergantungan Taiwan kepada ekspor sangat tinggi, 40 persen dikirim ke Jepang. Sampai dengan saat ini Taiwan hanya memiliki populasi babi dan ekspor yang jauh lebih kecil dari sebelum terjadinya wabah.

Pada tahun 2001, sejumlah wabah kecil terjadi di Jepang dan Korea Selatan yang bebas PMK selama satu dekade. Di tahun yang sama wabah besar juga melanda sebagian Eropa Barat yang sejak lama berjuang untuk bebas PMK. Di Amerika Selatan, Argentina dan Brazil yang berupaya keras untuk mencapai status bebas PMK juga mengalami beberapa kali wabah setelah tahun 2000.

Untuk mengurangi dampak PMK terhadap perdagangan, dalam dekade ini negara pengimpor menyetujui untuk membatasi pelarangan perdagangan hanya pada zona dimana wabah PMK terjadi. Hal ini memungkinkan impor dilakukan dari zona yang masih bebas, suatu praktek yang kemudian dikenal sebagai sistem zona atau regionalisasi.

Persepsi konsumen terhadap sapi gila

Pertama kali penyakit sapi gila (BSE) ditemukan di Inggris pada tahun 1986. Semula dikira hanya menyerang sapi, tetapi kemudian BSE dianggap berkaitan dengan penyakit pada manusia. Penemuan BSE menyebabkan kekhawatiran terhadap keamanan mengkonsumsi daging sapi di sejumlah negara.

Kasus BSE pertama di Kanada pada sapi potong ditemukan bulan Mei 2003. Pada saat itu seluruh negara mitra dagang utama termasuk AS langsung melarang impor sapi hidup dan daging sapi dari Kanada. Pada bulan Agustus 2003, AS mengizinkan impor daging tanpa tulang yang berasal dari sapi berumur dibawah 30 bulan, akan tetapi tetap melarang impor sapi hidup dari Kanada.

Kemudian pada bulan Desember 2003, penemuan pertama kasus BSE di AS menyebabkan 70 negara memberlakukan pelarangan impor (Indonesia salah satu diantaranya). Termasuk Jepang dan Korea, dua negara Asia yang sangat bergantung pada impor daging sapi AS. Ekspor daging sapi AS pada waktu itu turun lebih dari 80 persen – dari 2,5 milyar pound tahun 2003 menjadi 461 juta pound tahun 2004.

Konsumen di AS tidak melakukan penolakan makan daging sapi setelah penemuan kasus BSE. Tidak seperti halnya konsumen di Eropa dan Jepang yang menolak makan daging sapi untuk beberapa waktu lamanya. Konsumsi daging sapi di Jepang menurun sekitar 15 persen di tahun 2001, ketika BSE ditemukan di Jepang.

Restrukturisasi pasar unggas Asia

Wabah flu burung atau avian influenza (AI) strain H5N1 mulai di Asia tahun 1998. Strain ini pertama kali diidentifikasi di Hongkong yang menyebabkan sejumlah orang meninggal dunia. Sebagai respon, jutaan ekor unggas disembelih untuk menberantas penyakit ini. Kemudian pada tahun 2001, H5N1 muncul di China, dan di tahun 2003 dan 2004, penyakit ini menyerang populasi unggas di sejumlah negara di Asia Tenggara.

Di tahun 2005, AI menyebar sepanjang daratan Asia dan mencapai Eropa. Kasus dilaporkan di Eropa dan Afrika pada permulaan tahun 2006.

Gangguan perdagangan akibat AI H5N1 mempengaruhi dua negara pengekspor daging ayam utama dunia yaitu Thailand dan China. Industri ayam potong Thailand sangat bergantung pada ekspor dan terpukul sangat hebat. Sedangkan ekspor China cuma sebagian kecil dari produksi domestik, sehingga pelarangan ekspor secara nasional kurang berdampak nyata.

Dampak langsung dari wabah AI di China dan Asia Tenggara adalah peningkatan ekspor Brazil. Brazil yang tidak mengalami serangan wabah AI hampir tidak menghadapi saingan dalam merebut pasar Jepang. Ekspor daging beku Brazil ke Jepang melonjak dari 109 ribu ton di tahun 2000 menjadi 403 ribu ton di tahun 2005.

Dalam upaya untuk memulihkan ekspor, eksportir China dan Thailand memfokuskan pada peningkatan produksi daging yang telah diolah. Perlakuan pemanasan dari produk olahan tersebut mampu membunuh virus AI apabila virus tersebut ada dalam daging. Sejak itu ekspor Thailand untuk produk olahan terus meningkat dari 28 persen di tahun 2000 menjadi 88 persen di tahun 2004 dan 98 persen di tahun 2005.

Penyakit hewan tetap ancaman

Industri daging sejumlah negara di dunia menderita kerusakan serius akibat wabah penyakit hewan menular. Meskipun demikian dalam skala global, gangguan perdagangan dan reaksi ketakutan konsumen terhadap penyakit hewan tidak nampak jelas. Produksi, konsumsi dan perdagangan global daging babi dan unggas terus tumbuh selama episode wabah penyakit hewan, sedangkan produksi dan konsumsi global daging sapi relatif konstan sejak tahun 1990.

Indonesia perlu menjadikan pengalaman negara-negara lain sebagai pembelajaran dalam antisipasi ke-tiga penyakit hewan berbahaya tersebut guna melindungi industri ternak dalam negeri serta keberpihakan kepada kepentingan konsumen.

Kemampuan identifikasi titik-titik kritis sepanjang rantai suplai daging makin diperlukan, sehingga perdagangan dapat dilakukan pada tingkat risiko penularan rendah. Metoda pengambilan keputusan berdasarkan risiko telah diadopsi oleh Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) untuk diaplikasikan oleh setiap negara pengimpor. Dengan demikian perpanjangan waktu maupun lamanya masa larangan perdagangan dapat dikurangi.

Kemajuan teknologi dalam identifikasi strain penyakit, penelusuran sumber daging serta peningkatan penggunaan analisa risiko menawarkan harapan lebih baik di masa depan, bahwa wabah penyakit hewan menular dapat dicegah atau dibatasi secara lebih cepat.

*) Penulis bekerja pada World Organization for Animal Health (OIE), Regional Coordination Unit for Southeast Asia, Bangkok

1 Komentar:

Paingat P. Sipayung [Reply] mengatakan...

Salah satu hal yang menyebabkan perkembangan peternakan di Indonesia lambat yaitu adanya masalah - masalah penyakit yang menyerang peternakan dan masih sulit untuk dicegah serta ditanggulangi..
hal ini memiliki dampak yang sangat besar bagi perdagangan Global terutama di Indonesia..

untuk itu diperlukan bantuan dan perhatian yang lebih besar dari pemerintah serta peran mahasiswa peternakan yang turut membimbing dan mengarahkan peternak ke arah yang lebih baik yang memungkinkan mengurangi resiko penyebaran penyakit menular...

dengan demikian peternakan akan bebas dari penyakit, produksi dan produktivitas meningkat, perdagangan semakin lancar, dan meningkatkan kesejahteraan para peternak..