Senin, 14 Juni 2010

Peran dokter hewan dalam pencapaian Millenium Development Goals

Oleh: Tri Satya Putri Naipospos

Sejak sepuluh tahun lalu, para pemimpin dunia sepakat bahwa akar dari seluruh ketimpangan dunia seperti perang, terorisme, penyakit, kerusakan lingkungan terletak pada satu isu utama yaitu kemiskinan. Semua pemimpin tersebut menekankan bahwa adalah hak setiap manusia yang hidup di planit bumi untuk mendapatkan kesehatan, pendidikan, penampungan dan jaminan keamanan seperti tertuang dalam Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights).

Hal ini ditegaskan kembali dalam Deklarasi Milenium Perserikatan Bangsa-bangsa (UN Millennium Declaration), dimana disepakati untuk menetapkan Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goals) untuk mengurangi kemiskinan separuh penduduk dunia pada tahun 2015. (1)

Delapan Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals) yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) seperti terbaca dalam boks 1 dibawah ini – terutama dimaksudkan untuk mendorong negara-negara berkembang agar menurunkan angka kemiskinan dan mempromosikan kesetaraan jender. Dengan memperkuat peranserta kaum perempuan dan menciptakan kesetaraan jender, diharapkan negara-negara berkembang dapat memerangi kemiskinan, penyakit, malnutrisi, kelaparan dan kerusakan lingkungan dengan lebih baik.


Pada kenyataannya, sejumlah negara menunjukkan kemajuan dalam pencapaian MDGs dibandingkan dengan yang lain, akan tetapi secara keseluruhan terlihat perubahan positif di sebagian besar negara-negara berkembang.

Penduduk dunia yang berjumlah 6 milyar saat ini akan melonjak menjadi 9 atau 10 milyar pada tahun 2050 dan seiring dengan itu permintaan terhadap pangan termasuk protein hewani juga akan meningkat. Indonesia sebagai salah satu negara ‘net importer’ daging dan susu dengan konsumsi domestik yang meningkat secara perlahan, maka kepentingan untuk memastikan keamanan pangan dan kelestarian lingkungan akan semakin bertambah pula.

MDG Indonesia

Pemerintah Indonesia bertekad memenuhi komitmen pencapaian target MDGs pada 2015 yang disepakati sejak sepuluh tahun lalu (September 2000). Kemajuan cukup penting ditunjukkan dalam beberapa tahun terakhir terutama pada pencapaian dua MDG pertama.

Jumlah penduduk miskin yang hidup dibawah garis kemiskinan ditargetkan untuk diturunkan separuhnya menjadi sekitar 7,5-12,1 persen pada 2015. Upaya penanggulangan yang dilakukan telah berhasil menurunkan angka kemiskinan dari 15,1 persen pada 1990 menjadi 14,1 persen pada 2009. (3)

Penurunan secara bertahap angka kemiskinan selama beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa Indonesia telah membuat kemajuan yang cukup berarti dalam pencapaian MDG. Namun demikian, meskipun tingkat kemiskinan secara keseluruhan telah menurun, tetapi tetap lebih tinggi dibandingkan negara-negara anggota ASEAN lainnya seperti Malaysia dan Thailand. (2)

Di bidang pendidikan, upaya yang dilakukan adalah berupa peningkatan akses, pemerataan, mutu dan sarana pendidikan selama periode 2010-2015. Target yang dicapai adalah memastikan pada tahun 2015, semua anak dimanapun, laki-laki atau perempuan dapat menyelesaikan pendidikan dasar. (3)

Sementara untuk sasaran bidang kesehatan, upaya yang dilakukan adalah menurunkan angka kematian bayi (AKB) dan balita (AKBA) berturut-turut menjadi 23 dan 32 per 1.000 kelahiran hidup (KH), penurunan prevalensi kekurangan gizi menjadi 18,8 persen, penurunan angka kematian ibu (AKI) menjadi 118 per 100.000 KH. Pada tahun 2009, target AKB dan AKBA baru dicapai 34 dan 44 per 1.000 KH serta AKI dicapai 228 per 100.000 KH. Target penurunan proporsi balita yang menderita kekurangan gizi telah tercapai yaitu 18,4 persen. (3)

Berbagai tantangan dihadapi Indonesia seperti bagaimana kemiskinan lebih cenderung mempengaruhi penduduk di pedesaan daripada yang tinggal di wilayah perkotaan. Disparitas terjadi terutama akibat dampak yang dirasakan oleh kaum perempuan yang bekerja di sektor pertanian. Pendapatan kaum perempuan yang bekerja di kota-kota besar bisa dikatakan mampu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, akan tetapi sebaliknya kaum perempuan yang hidup di pedesaan tidak terlalu beruntung dan banyak diantaranya tidak punya pilihan lain selain menjadi tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri. (2)

Dampak penyakit hewan

Subsektor peternakan di Indonesia menyumbang 12,75 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pertanian dan PDB nasional sebesar 1,80 persen (2006). Sedangkan secara keseluruhan PDB sektor pertanian menyumbang 14,1 persen terhadap PDB nasional (2008). Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB nasional dalam beberapa tahun terakhir cenderung menurun, meskipun masih menjadi penyumbang PDB terbesar. Salah satu penyebabnya adalah lahan pertanian yang terus menyusut. (5)

Kemampuan subsektor peternakan tumbuh dengan cepat disebabkan berkembangnya industri peternakan ayam ras dan sapi potong dalam 20 tahun terakhir. Perilaku industri dua komoditas tersebut berpotensi dijadikan salah satu sumber pertumbuhan baru dalam sektor pertanian. (5)

Pentingnya peranan subsektor peternakan juga dapat dilihat dari penyerapan tenaga kerja yang cukup signifikan. Menurut hasil Sensus Pertanian, selama periode 1983-1993 terjadi peningkatan rumah tangga peternak (RTP) dari 4,50 juta pada 1983 menjadi 5,62 juta pada 1993. Meskipun peningkatan tersebut makin menurun pada sepuluh tahun kedua menjadi 5,63 juta pada tahun 2003. (5)

Meski demikian pertumbuhan subsektor peternakan di Indonesia juga mengalami berbagai hambatan, termasuk penyakit hewan menular baik yang berdampak langsung terhadap kesehatan manusia, maupun juga tidak langsung melalui gangguan produksi dan reproduksi ternak. Tidak dapat dipungkiri bahwa mayoritas RTP adalah peternak subsisten yang masih hidup dibawah garis kemiskinan.

Penyebaran penyakit hewan semakin memburuk dalam beberapa tahun terakhir. Seperti halnya, avian influenza atau flu burung yang telah menjadi endemik; rabies yang muncul di daerah-daerah yang sebelumnya bebas; brucellosis yang belum bisa diberantas terutama di daerah-daerah padat ternak seperti di propinsi-propinsi Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Selatan, Jawa Timur; anthrax dan septichaemia epizooticae yang endemik di beberapa wilayah; serta Newcastle disease (ND) atau penyakit tetelo pada unggas yang secara musiman masih selalu muncul. Begitu juga penyakit-penyakit parasit yang menyerang ternak, baik itu yang disebabkan oleh parasit darah (protozoa), cacing (helminthiasis) dan arthropoda.

Dampak kesehatan manusia

Tujuan MDGs ke-enam yaitu memerangi penyakit yang menyerang manusia. Sejumlah penyakit menular masih menjadi tantangan sektor kesehatan selama beberapa dekade terakhir seperti penyakit demam berdarah (dengue hemorrhagic fever), tuberculosis, malaria, polio, human immunodeficiency virus/Acquired immunodeficiency syndrome (HIV/AIDS). (7)

Sejarah telah menunjukkan bahwa penyakit manusia seringkali bersumber dari penyakit pada hewan-hewan baik yang didomestikasi maupun liar. Kecenderungan ini akan terus berlanjut seiring dengan meningkatnya kontak antara manusia dengan hewan.

Selama 25 tahun terakhir, 38 spesies baru agen patogen penyebab penyakit pada manusia telah muncul. Dari 38 spesies baru ini, sejumlah agen patogen bersumber dari kontak dengan hewan – yang dikenal sebagai penyakit zoonosis – yang membuat 70 persen dari penyakit-penyakit yang baru muncul dan yang muncul kembali (emerging and re-emerging diseases). Penelitian terakhir juga menunjukkan bahwa HIV dan AIDS aslinya bersumber dari kontak dengan chimpanzee.

Oleh karenanya dokter hewan perlu bekerjasama secara erat dengan dokter untuk mengatasi masalah penyakit zoonosis. Bagaimanapun juga, dokter hewan dibutuhkan pada saat dimana kontak manusia dan satwa liar berlangsung secara regular dan memunculkan risiko penyakit. Sedangkan pada hewan domestik yang dikhawatirkan adalah penyakit-penyakit zoonosis baru, termasuk bovine spongiform encephalopathy (BSE) dan kaitannya dengan varian Creutzfeld Jakob Disease (vCJD), oleh karena keduanya sulit didiagnosa dan belum dapat diobati. Juga belakangan ini munculnya avian influenza dan flu H1N1 yang sampai sekarang masih menjadi kekhawatiran utama dunia.

Ada dua jalur penularan penyakit zoonosis dari hewan ke manusia. Jalur pertama, hewan adalah sumber infeksi langsung seperti rabies, West Nile, brucellosis dan vCJD. Jalur ke-dua, sumber awal adalah hewan, tetapi kemudian terjadi penularan dari manusia ke manusia seperti HIV/AIDS, Ebola, virus Marburg dan demam kuning (yellow fever).

Terdapat kecenderungan bahwa risiko penyakit zoonosis akan meningkat di masa depan, baik yang berasal dari hewan domestik maupun satwa liar. Dalam konteks hewan domestik, intensifikasi peternakan, sistem pemberian pakan yang buruk dan peningkatan pengangkutan hewan menambah tingkat risiko tersebut, terutama bagi para pekerja di negara-negara yang memiliki industri peternakan besar.

Urbanisasi yang semakin meningkat setiap tahun juga menyebabkan kedekatan tertentu antara manusia dengan populasi hewan domestik dan peningkatan pabrik peternakan (factory farming) di berbagai negara, sehingga meningkatkan risiko penularan penyakit zoonosis.

Di negara-negara berkembang, kontak dengan satwa liar saat ini semakin menjadi kekhawatiran utama. Pertumbuhan yang cepat perburuan satwa liar menyebabkan lebih banyak lagi manusia kontak dengan daging segar (bushmeat) yang berasal dari satwa liar seperti antelop, zebra dan satwa liar lainnya yang berpotensi tertular dan menyebarkan zoonosis. Satwa primata kemungkinan juga bisa menimbulkan risiko yang tidak dapat diabaikan. (1)

Peran pangan hewani

Bahan pangan asal hewan adalah bagian vital dari diet manusia yang sifatnya omnivora atau pemakan segala sejak dahulu kala dimana manusia mulai berburu hewan. Pada kenyataannya, aspek kesehatan dari bahan pangan asal hewan sifatnya kompleks. Umumnya masyarakat menerima bahwa protein hewani – daging, susu dan telur – harus merupakan bagian dari keseimbangan diet, terutama selama masa-masa pertumbuhan, kehamilan dan menyusui. Konsumsi susu, produk susu, daging dan telur dapat membantu mengurangi angka kematian anak, karena menyediakan protein, mineral dan energi serta juga sumber utama vitamin A. (1,6)

Penduduk Indonesia pada umumnya terutama yang hidup di wilayah pedesaan tidak memiliki akses yang berlebihan terhadap protein hewani, oleh karena kualitas dan harga yang belum bisa terjangkau. Sebaliknya kalangan masyarakat yang tinggal di wilayah urban dan peri-urban seringkali memiliki proporsi diet dengan kadar protein hewani yang terlalu tinggi dengan konsekuensi komsumsi lemak jenuh yang berlebihan. Selama ini seringkali dilakukan kampanye tentang cara makan sehat untuk mengurangi penyakit jantung, stroke dan kadar kolesterol dalam darah yang diharapkan sedapat mungkin mampu merubah sikap dan perilaku dalam mengkonsumsi pangan hewani.

Penekanan akhir-akhir ini terhadap peran pangan hewani yang lebih sehat didalam diet yang berasal dari ikan telah meningkatkan secara cepat permintaan akan bahan-bahan bersumberdaya alam, yang pada gilirannya akan menstimulasi budidaya ikan (aquaculture).

Tingkat kemiskinan di Indonesia masih tinggi dan secara absolut kekurangan kalori, protein dan mineral dan vitamin yang esensial dibutuhkan dalam diet jutaan penduduk. Meskipun laju pertumbuhan penduduk berhasil ditekan, tidak dapat disangkal bahwa penduduk Indonesia akan bertambah dalam 20-40 tahun mendatang.

Revolusi peternakan menyatakan bahwa peningkatan yang cepat dari konsumsi daging dan susu sejak 1970an diproyeksikan akan terus berlangsung dalam 20 tahun yang akan datang. Produsen daging dan susu di negara berkembang meningkat kontribusinya terhadap produksi global. Ini akan membantu mengatasi pengentasan kemiskinan di negara-negara tersebut dimana pada gilirannya harus dibarengi dengan mengurangi tingkat pertumbuhan populasi penduduk dunia.

Pertumbuhan produksi ternak di negara-negara berkembang akan mendorong permintaan yang lebih tinggi terhadap biji-bijian dari negara maju. Penting untuk diingat bahwa ternak harus dipelihara dalam sistem budidaya bersamaan dengan peningkatan produksi biji-bijian untuk mempertahankan bahan organik tanah, daur ulang nutrisi dan perbaikan sistem penyembuhan penyakit.

Di sisi lain, hewan penghasil pangan kemungkinan dapat mengandung mikro-organisme dalam tubuhnya yang berbahaya bagi kesehatan manusia. Oleh karena itu, program-program kesehatan masyarakat veteriner yang berkesinambungan harus dikembangkan untuk mengatasi permasalahan keamanan pangan, karena selalu ada kesempatan bagi munculnya penyakit-penyakit menular baru dan yang muncul kembali (emerging and re-emerging diseases).

Produksi ternak intensif seperti industri peternakan sapi perah atau sapi potong, babi atau ayam yang intensif dapat mengarah kepada penyebaran penyakit dan patogen yang lebih cepat antar kelompok atau flok, apabila tidak dikelola dengan baik.

Sama seperti bahan pangan lainnya, rantai distribusi, penyimpanan dan pengangkutan yang panjang juga bisa menciptakan risiko yang lebih tinggi bagi terjadinya multiplikasi bakteri sebelum bahan pangan hewani mencapai konsumen.

Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, dampak dari lemahnya pelayanan kesehatan masyarakat veteriner menyebabkan permasalahan keamanan pangan hewani seringkali tidak teratasi. Pada umumnya disebabkan tidak adanya pemeriksaan yang memadai atau bahkan tidak ada sama sekali di rumah-rumah pemotongan hewan, sehingga penyakit tidak mampu terdeteksi dan pelanggaran terhadap standar tidak pernah mendapatkan hukuman yang memadai. (1)

Kesetaraan jender

Hambatan utama pencapaian MDGs adalah perlakuan yang tidak setara terhadap perempuan. Partisipasi pekerja perempuan di bidang pertanian pada umumnya dan peternakan pada khususnya terus naik secara perlahan, akan tetapi ini kebanyakan terjadi di daerah urban.

Kaum perempuan di negara-negara berkembang seperti juga di Indonesia lebih banyak bekerja di sektor pertanian. Lebih dari 60% tenaga kerja tanpa upah adalah kaum perempuan, yang kurang memiliki akses terhadap keselamatan kerja dan perlindungan sosial.

Kaum perempuan memainkan peranan yang vital dalam mencapai MDGs di bidang pendidikan, peningkatan gizi dan kesehatan. Mereka seringkali memainkan peran yang tidak terhingga dan sangat penting dalam memelihara dan mengelola ternak, tetapi seringkali tidak diakui dan tidak dihargai. Seringkali mereka mempunyai akses untuk mendapatkan keuntungan dari penjualan ternaknya seperti susu dan telur. Pendapatan yang diperoleh dapat membantu mereka untuk mendapatkan uang tunai secara cepat dan meningkatkan status mereka dalam rumah tangga dan juga di masyarakat. (1,6)

Perlu ada kesempatan yang lebih besar bagi kaum perempuan untuk mendapatkan advis dan pelatihan langsung mengenai cara-cara pemeliharaan ternak dan peningkatan produksi. Sejalan dengan ini, pelayanan dokter hewan juga harus menemukan jalan untuk memastikan bahwa kaum perempuan mendapatkan keuntungan secara ekonomi maupun juga dalam bentuk lain dari upaya mereka memberikan perhatian kepada ternak. Begitu juga kesempatan bagi kaum perempuan untuk bisa lebih berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan tentang bagaimana mengelola peternakan.

Hal ini bukan hanya dilaksanakan pada jaringan masyarakat sipil dimana peranserta kaum perempuan harus terus didorong. Dokter hewan harus mendukung pendekatan ini sampai ke tingkat akar rumput, sehingga berbagai kegiatan pelayanan kesehatan hewan dapat lebih berhasil apabila mengikutsertakan kaum perempuan di pedesaan. (1)

Kelestarian lingkungan

Dalam hal kelestarian lingkungan harus dipertimbangkan berbagai isu, termasuk dampak peternakan terhadap lingkungan, dampak perubahan lingkungan terhadap kesehatan ternak dan cara bagaimana penyakit manusia dapat menyebar ke spesies terancam punah yang dilindungi (endangered species).

Perubahan lingkungan yang diakibatkan ulah manusia telah menyebabkan dampak serius terhadap pola dan kesehatan ternak. Sejumlah wilayah di negara maju dilaporkan tidak cocok lagi untuk penggembalaan ternak dan secara perlahan harus ditinggalkan. Begitu juga di negara-negara berkembang, dampak lebih serius terjadi bagi pencapaian MDGs dimana para peladang berpindah yang umumnya adalah skala kecil dan miskin semakin tidak memiliki alternatif untuk migrasi.

Suatu siklus kepadatan populasi ternak yang berlebihan, kekeringan, desertifikasi dan degradasi tanah telah memiskinkan masyarakat yang hidup di pertanahan yang marginal. Pada saat yang sama, curah hujan tinggi dan banjir dapat mempengaruhi kesehatan ternak, terutama apabila perubahan iklim memfasilitasi penyebaran pes seperti caplak yang dapat membawa protozoa darah dan nyamuk, contohnya Rift Valley Fever dan West Nile.

Pada peternakan skala kecil, limbah ternak adalah bagian dari siklus alamiah, tetapi dalam situasi yang lebih intensif dapat menyebabkan polusi yang serius. Limbah padat, baik kotoran ternak dan karkas, dapat membuat polusi air apabila cara-cara praktek memurnikan air dengan baik tidak dijalankan. Emisi seperti gas metan dari sejumlah besar hewan ruminansia berkontribusi nyata terhadap perubahan iklim dan penelitian untuk mengurangi polusi dengan bibit ternak khusus atau perbaikan bahan pakan masih terus berlangsung.

Dokter hewan juga mempunyai keahlian untuk berperan dalam perlindungan dan pelestarian berkelanjutan dari biodiversitas alam. Meskipun jangkauan isu-isu yang berkaitan dengan ini sangat lebar dan rumit. Sebagai contoh, dokter hewan dapat memberikan advis bagi suatu areal yang dapat dijadikan konservasi bagi hewan primata apabila alternatif domestikasi sumber pakan mampu disediakan. Apabila tidak, habitat hewan primata tersebut harus dipertimbangkan untuk tidak digunakan lagi dan mungkin saja digunakan bagi tujuan lain. (1)

Peran dokter hewan

Perlu disadari bahwa MDGs secara nyata relevan dengan kesehatan hewan (veterinary science). Pada dasarnya semua tujuan tersebut memiliki relevansi tertentu, akan tetapi dapat dikatakan bahwa empat dari delapan tujuan memiliki kaitan langsung dengan profesi dokter hewan, akan tetapi bisa juga dikatakan secara tidak langsung dengan tujuan ke-lima (lihat boks 2).


Dokter hewan memiliki peran langsung dalam berkontribusi terhadap pendapatan petani dan status gizi masyarakat miskin, terutama dalam memperbaiki status kesehatan hewan, nutrisi, reproduksi dan efisiensi produksi. Tentu hal ini memerlukan dukungan memadai dari pemerintah untuk memastikan bahwa obat-obatan, vaksin dan informasi tersedia dengan harga terjangkau. Sudah barang tentu, dokter hewan harus bekerjasama secara erat dengan sektor swasta dan pihak penyedia layanan (service-providers) yang relevan, contohnya seperti kesehatan dan pendidikan.

Manfaat dari pelayanan kesehatan hewan yang efektif menyangkut tujuan MDGs yang pertama yaitu pengentasan kemiskinan, termasuk didalamnya pembangunan aset ternak sebagai modal, peningkatan produktivitas dan ketahanan suplai pangan hewani. Begitu juga terhadap pembangunan ekonomi dimana pencapaian pasar baik itu lokal, regional maupun internasional, kesehatan masyarakat dan keamanan pangan.

Pada kenyataannya, pelayanan kesehatan hewan untuk petani peternak semakin tidak terperhatikan di banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Suatu hal yang disebabkan karena keterbatasan anggaran, penyediaan layanan kesehatan hewan yang kurang memadai dan kurangnya tenaga dokter hewan di sebagian besar wilayah pedesaan.

Dokter hewan melalui Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) sebaiknya secara artikulatif, vokal dan fokus pada upaya-upaya advokasi terhadap pemegang kebijakan tentang kebutuhan kegiatan dan pelayanan kesehatan hewan untuk masyarakat di pedesaan. Mereka harus mendapatkan transfer teknologi, dukungan penguatan kapasitas dan bahkan kemungkinan dukungan finansial dari lembaga-lembaga perbankan maupun koperasi yang sifatnya tidak memberatkan peternak.

Tidak bisa juga dilupakan bagaimana peran dokter hewan di bidang perikanan. Kesempatan utama untuk kesehatan budidaya ikan (aquaculture health) akan semakin berkembang. Suatu bidang dimana dokter hewan cukup memegang peranan penting dalam mengkontribusikan keahlian dan pengetahuannya dalam memerangi kemiskinan. (1)

Penutup

Sebagai kesimpulan dapat dikatakan bahwa MDG merupakan suatu tantangan nyata yang harus dicapai pada 2015. Biar bagaimanapun untuk mencapai hal ini diperlukan suatu komitmen nasional dan kemauan politik yang kuat. Tingkat kemiskinan di Indonesia masih cukup tinggi, diperkirakan jumlah penduduk miskin pada tahun 2009 masih 40 juta orang (16,82%).

Ternak mewakili suatu aset yang besar bagi masyarakat miskin di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Profesi dokter hewan harus diletakkan secara benar untuk menunjukkan kontribusinya terhadap pencapaian tersebut. Melalui perannya, dokter hewan dapat melakukan advokasi, memberikan dan meningkatkan pelayanan kesehatan hewan kepada masyarakat miskin, mendemonstrasikan teknologi dan metodologi yang cocok serta mendorong penelitian dan pengembangan yang ditujukan khusus bagi masyarakat miskin pedesaan yang paling membutuhkan.

Referensi:
(1) Collins M. (2007). The Millennium Development Goals at half-time: challenges for the Commonwealth Veterinary Association. Director, Commonwealth Foundation. Address given on the Pan Commonwealth Vet Conference in Barbados, 1 November 2007.
(2) Long, K. (2008). Millennium Development Goals in Indonesia.
(3) Wrihatnolo, R.R. (2009). Status Ringkas Millennium Development Goals Indonesia 2009. Direktorat Evaluasi Kinerja Pembangunan Sektoral.
http://www.slideshare.net/wrihatnolo/status-ringkas-millennium-development-goals-indonesia-2009
(4) Nyak Ilham (2007). Alternatif Kebijakan Peningkatan Pertumbuhan PDB Subsektor Peternakan di Indonesia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Analisis Kebijakan Pertanian. Volume 5 No. 4, Desember 2007: 335-357.
(5) Scott-Orr, H. (2007). Food from animals – ecological and health implications. The role of animal food in human nutrition. Conference Proceedings Food - for Healthy People and a Healthy Planet. http://www.natsoc.org.au/html/papers/scott-orr.pdf
(6) LivestockNet (2006). Livestock Production and the Millennium Development Goals. The Role of livestock for pro-poor growth. http://livestocknet.ethz.ch/news/mdg_Paper
(7) Kandun, N.I. (2006). Emerging Diseases in Indonesia: Control and Challenges. The Japanese Society of Tropical Medicine. Tropical Medicine and Health. Vol. 34 No. 4, pp. 141-147.

1 Komentar:

Unknown [Reply] mengatakan...

Nice..
Check this out http://aliyyam95.student.ipb.ac.id